Rocky Gerung: Jujur Sebenarnya dari Tujuh Tahun Lalu, Kita Tidak Merdeka

Jakarta, FNN - Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi 16 Agustus 2022, harus membicarakan soal Sambo dan reformasi Polri.

Apalagi dalam situasi menjelang 17 Agustus besok ini, semua lembaga dan atau pemimpin tinggi lembaga negara itu, KPK, Mahkamah Konstitusi, dan segala macam itu memberikan public address supaya rakyat paham bahwa mereka mengerti persoalan.

Tetapi, dalam konteks yang normatif itu justru orang menuntut hal yang deskriptif, yaitu ada Sambo, ada keadaan ekonomi yang buruk, ada potensi perang, dan macam-macam.

Demikian analisis pengamat politik Rocky Gerung dalam perbincangan dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Selasa, 16 Agustus 2022.

“Jadi kalau tidak ada isu strategis yang presiden pidatokan, orang anggap presiden tahu masalah tapi menyembunyikan juga, atau memang presiden tidak tahu masalah, sehingga selama kira-kira 2 tahun ini atau kalau mau jujur sebenarnya dari tujuh tahun lalu, kita tidak merdeka," paparnya.

Berikut kutipan lengkap wawancaranya:

Halo Bung Rocky, apa kabar ini tanggal 16 Agustus, sehari menjelang kemerdekaan Indonesia yang ke-77.  Dan hari ini Presiden Jokowi direncanakan akan menyampaikan seperti biasa tradisi tahunan. Pak SBY katanya ada di Malaysia sehingga tidak bisa hadir. Tapi banyak orang berharap sebenarnya ini momentum yang penting juga Pak Jokowi menyinggung soal dan peristiwa apa yang terjadi di kepolisian, karena ini luar biasa.

Saya membaca sekarang ini sudah ada 63 orang anggota Polri yang diperiksa dan sekarang bertambah yang dikenakan sanksi etik, ada 36 orang. Kemarin kan hanya 31 orang, sekarang naik menjadi 36 orang. Jadi terus bertambah. Jadi menurut saya memang ada soal yang serius dan saya akan heran kalau Pak Jokowi tidak membicarakan soal itu.

Ya, selalu ada hal yang disebut pidato yang normatif dan ada yang sebaliknya yaitu deskriptif. Artinya, mengungkapkan hal yang memang menjadi problem. Yang normatif tentu nyanyi Indonesia Raya, lalu mengingat jasa-jasa pahlawan, menyebutkan bahwa isi konstitusi itu memelihara perdamaian dunia, mencerdaskan bangsa, dan segala macam. Tetapi, dalam konteks yang normatif itu justru orang menuntut hal yang deskriptif, yaitu ada Sambo, ada keadaan ekonomi yang buruk, ada potensi perang, ada macam-macamlah.

Nah,  kita mau tahu sebetulnya Pak Jokowi punya perspektif nggak dalam soal itu.  Jadi, sekali lagi, dalam soal perspektif, pemimpin itu diminta untuk memberi perspektif. Menteri-menterinya yang akan menerjemahkan secara teknis.

Tetapi, selama kira-kira 2 tahun ini atau kalau mau jujur sebenarnya dari tujuh tahun lalu, kita tidak merdeka. Kita tidak merdeka karena masih ada penguasaan aset oleh segelintir orang. Kita tidak merdeka karena masih ada ketegangan sosial antara etnis. Kita tidak merdeka karena pers tetap hati-hati untuk membuat headline.

Jadi itu yang mustinya didengar oleh publik melalui analisa perspektif dari Pak Jokowi. Kenapa? Kan nggak bisa Pak Jokowi bilang ya karena ada kelompok-kelompok yang tidak menginginkan NKRI. Lo itu Anda yang memimpin, kenapa ada kelompok yang tidak pro NKRI? Jangan-jangan kompak itu tidak menginginkan Anda sebetulnya.

Jadi satu refleksi besar justru di dalam upaya kita untuk menyongsong hari depan dan menyongsong problem-problem perubahan politik di dunia itu. Kita mau dengar juga dari Pak Jokowi khusus tentang Sambo. Kan biasa saja kan?

Presiden, justru di dalam forum yang bisa kasih public address yang lebih komprehensif, dia musti kasih sinyal bahwa kepolisian ada masalah besar. Bahwa Sambo hanyalah titik noda kecil dari problem yang maha dahsyat di kepolisian. Bahwa kekuasaan seringkali memanfaatkan aparat-aparat itu untuk memperlebar pengaruhnya.

Bahwa nanti Pak Tito mungkin akan jadi Kepala Kepolisian karena ada usul supaya kepolisian ada di bawah Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin Pak Tito. Apa masalahnya nanti kalau Pak Tito yang jadi membawahi kepolisian, misalnya. Semua itu orang ingin dengar walaupun secara tidak perlu terang-terangan. Itu yang kita sebut perspektif.

Perspektif itu samar-samar tetapi memberi semacam ketajaman pandangan, visi dari Presiden terhadap problem bangsa. Nah kita di FNN ingin dengarkan itu nanti di dalam pidato.  Ya mungkin nggak terdengar.

Ya, oke. Ini kita kan selalu, meskipun kita membahas Sambo, tapi kita membahasnya dari persoalan etik. Dan saya kira ini ramai karena Pak Jokowi pidato di depan anggota DPR di tengah isu. Ada informasi yang belum belum dikonfirmasi bahwa Sambo ternyata kemarin melakukan operasi besar-besaran dari sisi dana.

Yang jelas sudah terbukti itu ketika dia mencoba menyuap petugas LPSK, yaitu memberi dua amplop tebal, bahkan ada media yang menyebutkan tebalnya satu sentimeter, tergantung Dollar atau rupiah. Tetapi ditolak. Dan kemudian sekarang malah bergulir ke KPK.

Kemudian IPW juga mengaku dia ada informasi bahwa dana mengalir ke DPR dan sebagainya. Ini kan bener-bener bahwa kita melihat Sambo itu betul-betul kita bisa gunakan untuk memotret apa sebenarnya yang terjadi di negara kita ini. 

Betul, bahwa publik tahu ada aktivitas kepolisian, bahkan sampai beroperasi di Komisi III. Dan itu bukan karena kepolisiannya yang ingin intervensi karena memang diundang oleh Komisi III. Itu jadi pengetahuan umum bahwa Komisi III (sering) dengan kepolisian: dalam membuat regulasi, dalam memutuskan perkara; paling nggak ada sinyal dari Komisi III.

Dan Komisi III isinya adalah tentu tidak semua anggota di situ. Itu Komisi yang paling strategis yang sangat dekat dengan kekuasaan karena anggota-anggotanya datang dari faksi-faksi pendukung Jokowi. Jadi sekaligus sebetulnya Presiden Jokowi bisa mengucapkan itu, semacam sinyal bahwa permainan uang itu memang juga berlangsung di parlemen. Dia harus buka itu supaya presiden dilihat oleh publik sebagai mengerti masalah.

Jadi kalau tidak ada isu strategis yang presiden pidatokan, orang anggap presiden tahu masalah tapi menyembunyikan juga, atau memang presiden tidak tahu masalah. Jadi musti terlihat bahwa Presiden itu pidato hal yang deskriptif tadi itu, yang situasional.

Itu sebetulnya intinya kenapa mungkin masih ada beberapa waktu presiden mengucapkan hal-hal itu di luar teks yang sudah pasti dibuatkan oleh timnya dan teks itu pasti hal-hal yang normatif saja. Nanti saya minta supaya kita bersabar karena krisis ekonomi dan ada peluang kita untuk memperoleh kembali pertumbuhan itu kalau ekspor komoditas kita membaik. Itu kan normatif kalau membaik.

Padahal komoditas itu fluktuatif di dunia. Nanti korupsi harus saya pimpin ulang tuh, padahal ya di depan mata beredar lalu-lalang para koruptor. Jadi, sekali lagi point saya, atau cara pandang FNN adalah kita minta presiden perlihatkan bahwa dia paham suasana.

Paham suasan artinya raise an issue isu-isu mutakhir. Ini yang akan membuat bangsa ini pulih lagi. Masih ada satu setengah tahun. Dan orang mungkin berpikir nanti kepolisian kalau di bawah Pak Tito bagaimana? Karena ada sekarang seolah-olah disebarkan survei apakah kepolisian di bawah presiden atau di bawah Menteri Dalam Negeri. Ya tentu Pak Tito merasa kalau di bawah saya, saya juga pernah jadi Kapolri.

Tapi apa persepsi publik kalau survei itu kemudian dianggap sebagai ya memang diupayakan supaya kepolisian kembali ke wilayah istana melalui kepemimpinan Pak Tito. Kalau presiden ya nggak ada soal itu. Tetapi kan orang masih di lihat Pak Tito sebagai Kepala Kepolisian. Ini juga bisa jebakan pada Jenderal Tito sebagai Menteri Dalam Negeri.

Jadi, hal-hal semacam ini harus diumpankan pada publik, diumpankan dengan baik supaya publik bereaksi. Itu intinya. Tetapi pers pasti akan bertanya pada Pak Presiden. Jadi biasakan juga Pak Presiden, setelah pidato jangan langsung pulang ke istana lalu makan tumpeng di situ. Berhenti sebentarlah di door stop supaya pers bisa bertanya karena ini situasi yang menegangkan, 36 pejabat di kepolisian terlibat. Itu artinya bahaya betul negara ini.

Dan saya kira juga begini ya, KPK ini kan mendapat laporan soal adanya pemberian suap ke LPSK. Saya kira walaupun sekarang proses pidananya bergulir, tidak ada salahnya kalau kemudian KPK juga bergerak. Ini sebagai bentuk simbol moral. Saya kira memang ini soal serius ketika ada seorang pejabat kepolisian yang terlibat dalam perkara dan kemudian ingin menyuap lembaga negara yang lain.

Memang, itu fungsi KPK juga fungsi proaktif untuk kasih sinyal etis itu. Dan nunggu laporan juga pasti laporan sampe juga ke KPK. Tapi satu keadaan yang agak darurat, KPK ambil inisiatif untuk bikin konferensi pers dan bahkan mendorong masyarakat untuk tambahkan pada kami bukti-bukti itu.

Itu intinya. Demikian juga Mahkamah Konstitusi, ini ada soal yang lebih besar dari sekadar Sambo bahwa ini ada desain politik yang menyebabkan orang main uang dalam pemilu segala macem itu. Itu yang kita maksud dalam situasi menjelang 17 Agustus besok ini, semua lembaga dan atau pemimpin tinggi lembaga negara itu, KPK, Mahkamah Konstitusi, dan segala macam itu, kasih public address supaya rakyat paham bahwa mereka mengerti persoalan.

Jadi, jangan MK bisanya cuma menunggu-nunggu orang lapor, Presiden Threshold terus dia jawab secara kaset rusak bahwa itu adalah open legal policy. Nanti KPK juga begitu, nanti kita nunggu perkembangan kasusnya. Itu ucapan normatif semua. Jadi ini pentingnya satu momen 77 tahun dan kita bercakap-cakap sebagai bangsa. Itu itunya.

Oke. Memang kita dari kemarin selalu mengingatkan bahwa ini jadi momentum Sampo ini. Sambonya selalu kita sebut selesai, sudah selesai kasus pidananyalah. Nanti tinggal orang bicara soal motif, siapa lagi terlibat.

Tetapi, fakta bahwa kemudian orang melihat seorang Sambo bisa mengatur sampai ke mana-mana. Kalau kita lihat kan dari 36 orang ini bermacam-macam, ada yang dari Provos yang tentu jelas banyak di bawah Sambo, ada Polda, ada Puslabfor, dan sebagainya. Ini betul-betul kita melihat jadi sistematis. Dan orang kemudian teringat loh ini sudah jadi well organized crime lembaga ini.

Nah, itu yang sekarang dicurigai publik. Kalau dari pihak Sambo  mampu untuk secara percaya diri untuk menyogok, artinya memang sebelumnya banyak hal yang dia lakukan. Kan jalan pikirannya begitu. Jadi Pak Sambo mungkin menganggap ya itu mereka sudah tahu kok mentalnya. Karena itu, walaupun dia dalam keadaan terdesak secara kriminal, dia masih paham fungsi uang.

Kan itu intinya. Mereka yang menolak itu oke saya tolak, ya mungkin saja dia nolak. Tapi sangat mungkin dulu aparat yang di sekitar mereka yang menolak juga pernah menerima. Kan Pak Sambo itu dia bikin proyeksi bahwa secara psikologis dia mengendalikan suasana melalui amplop-amplop satu cm tebalnya itu.

Jadi ini sudah jadi kebiasaan sehingga aparat Pak Sambo merasa oh iya, itu memang grammar kita, SOP kita adalah itu, 1 cm amplop. Entah buat apa, entah buat siapa. Dan kebiasaan itu kemudian dianggap bakal efektif lagi sehingga dilakukan lagi cara yang sama.

Nah, dalam kasus yang lain mungkin itu sukses, tapi karena ini kasus yang sudah jadi cause selebre, sudah diselebritikan sebagai kasus, lalu semua mulai seolah-olah mulai menahan diri. Oh, enggak, kami menolak. Padahal, sebetulnya sebelum kasus ini sangat mungkin tidak ada yang menolak amplop-amplop 1 cm itu kan. Apalagi 1,5 cm. 

Iya, kan memang Pak Mahfud MD, misalnya, dia bercerita bahwa ketika peristiwa terjadi itu Pak Sambo nangis-nangis di depan Kompolnas, kemudian dia juga berusaha menghubungi sejumlah anggota DPR. Tapi kemudian banyak yang tidak bisa dikontak. Ada juga yang tidak diangkat teleponnya. Tapi artinya ini dia sudah mengerti sebenarnya jalur-jalur ke mana yang mesti dia mainkan gitu.

Ya, itu sebagai sutradara dia ngerti pemain lakon yang dia kenal dulu itu si ini, yang bagian bagian ngurus lighting si itu. Jadi di luar kepala Pak Sambo tahu itu skenario yang harus dia mainkan, karena dia tahu orang-orang yang akan dia rekrut untuk mainkan skenario itu sudah paham siapa Sambo dan apa tim di belakangnya. 

Tetapi, ini semua gejala yang tadi disebutkan, Presiden harus tahu sedetail itu bahwa konspirasi, kasak-kusuk, segala macam itu sudah jadi semacam mata pencaharian semua pejabat. Itu intinya tuh, dan itu yang musti presiden ucapkan. Tapi nanti juga ada orang yang berenang. Tapi kalau presiden ucapkan itu ya ucapkan juga potensi conflict of interest di dalam Pemilihan Walikota Solo, walikota Medan. Kan akhirnya orang akan tuntup sampai di situ.

Begitu konsekuensinya. Karena itu seringkali FNN mengatakan etik itu akan menerobos semua hal. Kalau soal hukum yang mungkin itu tidak terkena pasal ini, tapi matahati etik rakyat itu nggak bisa dicegah melalui kacamata hitam yang dipasangkan pada semua orang. Tidak semua orang harus dipasangkan kacamata hitam sehingga melihat kegelapan doang.

Selalu ada cahaya dari masyarakat sipil yang bikin orang atau bikin kekuasaan bahkan tiba-tiba karena sudah biasa pakai kacamata hitam, tiba-tiba bergelimpangan. Efek-efek dari penerangan ini yang harus membuat bangsa ini tumbuh. (ida, sof)

542

Related Post