Runtuhnya Negara Demokrasi Konstitusional Melalui Perppu Cipta Kerja (Bag-2)
Oleh Dr. Ahmad Yani, SH. MH. - Ketua Umum Partai Masyumi
PERATURAN Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 yang dikeluarkan oleh Presiden telah kehilangan unsur-unsur penting, yaitu filosofis, sosiologis dan historis. Secara filosofis, keluarnya Perppu tidak mempertimbangkan alasan yang menggambarkan suasana kebatinan masyarakat. Mengabaikan falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Salah satu pertimbangan hukumnya, Perppu dikeluarkan karena adanya perang Rusia dan Ukraina.
Apa landasan sehingga perang di negara lain menjadi falsafah pembentukan undang-undang di Indonesia? Secara sosiologis, pertimbangan keluarnya Perppu tersebut tidak menggambarkan bahwa Perppu yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Tidak pula menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
UU Cipta Kerja yang kemudian di Perppu-kan oleh Presiden bukan sebuah kebutuhan hukum. Terlihat hanya untuk memenuhi kebutuhan oligarki kuat di belakangnya. Sebab, buruh dan elemen masyarakat masih belum menerima materi dari undang undang Cipta Kerja, karena banyak pasal yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat secara luas. Buruh juga merasa dirugikan.
Secara historis, undang-undang Cipta Kerja mulai dari perencanaan, pembahasan, pengundangan mendapat perlawanan dari buruh, mahasiswa, pelajar, akademisi, dan elemen masyarakat lainnya. Demonstrasi penolakan secara besar-besaran terjadi di hampir seluruh tanah air. Dilanjutkan dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya cukup melegakan. Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional.
Sementara secara yuridis, alasan keluarnya Perppu untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum tidak terpenuhi. Suatu Perppu atau undang-undang harus mempertimbangkan aturan yang telah hukum yang telah berlaku. Kalau ada yang akan diubah, atau dicabut harus menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Tidak bisa semau Presiden saja.
Semua aturan formil dan yuridis tidak terpenuhi. Terkesan kalau Perppu yang dibuat Presiden adalah bentuk pemaksaan. Presiden hanya ingin memperlihatkan memberikan karpet merah kepada oligarki dengan mengangkangi hukum. Lalu untuk apa ada Perppu kalau hanya sekadar memberikan karpet merah bagi segelintir orang?
Selanjutnya, Perppu adalah kewenangan Subjektif Presiden yang keluar secara otoritatif dan tidak partisipatif. Hanya berdasarkan kewenangan subjektif yang jauh dari partisipasi publik. Tidak ada pertisipasi masyarakat. Keluarnya Perppu bukan hanya melawan putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi memperlihatkan penggunaan kewenangan prerogatif yang melampaui konstitusi.
Seharusnya Presiden menggunakan jalan konstitusional dengan pendekatan dan cara-cara yang konstitusional pula. Bukan menggunakan otoritas dan pendekatan kekuasaan semata. Sementara cara-cara yang sah dan konstitusional diabaikan. Presiden terkesan melampaui konstitusi dengan memaksakan kegentingan untuk membuat kegentingan memaksa supaya Perppu dikeluarkan.
Syarat objektif untuk keluarnya sebuah Perppu sama-sekali tidak terpenuhi. Misalnya, dalam hal-ihwal kegentingan yang memaksa Presiden dapat mengeluarkan Perppu. Nah, kegentingan yang memaksa itulah menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Tidak bisa suka-suka hati Presiden.
Syarat keluarnya Perppu juga menurut Mahkamah Konstitusi ada tiga. Pertama, adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Alasan keluarnya Perppu Ciptaker ini tidak memperlihatkan kebutuhan mendesak. Undang- undang yang ada (undang-undang yang dirangkum dalam Omnibus Law Ciptaker) masih dapat digunakan. Tidak ada kekosongan hukum. Proses perbaikan bisa dilakukan karena DPR masih dapat bersidang selama dua tahun itu.
Artinya Perppu Ciptaker keluar jauh dari tiga poin panduan Mahkamah Konstitusi yang menjadi landasan keluarnya Perppu. Perppu yang dibuat Presiden menimbulkan anggapan bahwa presiden tidak taat konstitusi. Presiden tidak mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi, karena memaksakan keluarnya Perppu tanpa alasan yang jelas untuk menjadi dasar hukum keluarnya Perppu.
Hal itu tercantum dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang sebenarnya sangat substansial. DPR dan Presiden diperintah Mahkamah Konstitusi memperbaiki proses legislasi sambil memperbaiki materi undang-undang Ciptaker. Namun setelah keluarnya Perppu tersebut Putusan MK menjadi tidak berarti dan proses perbaikan terhadap undang-undang Piptaker tidak dilakukan.
Konsekuensi dari keluarnya Perppu Ciptaker adalah, Presiden bukan tidak hanya telah melanggar hukum. Presiden juga menyangkal konstitusi secara terbuka. Pelanggaran pertama adalah tidak mentaati putusan pengadilan. Kedua, Presiden memaksakan keadaan genting, padahal tidak ada kegentingan yang memaksa. Ketiga, Presiden mengangkangi hak legislasi DPR.
Menurut saya, Perppu ini telah mewariskan kebiasaan otoritarianisme penguasa, yaitu membiasakan diri untuk mengenyampingkan hukum (state of exception). Memaksakan kondisi darurat (state of emergency). Kenyataan ini meruntuhkan negara demokrasi yang konstitusional dan melawan hukum. (bersambung).