Runtuhnya Negara Demokrasi Konstitusional Melalui Perppu Cipta Kerja (Bag-3)

Oleh Dr. Ahmad Yani SH. MH. - Ketua Umum Partai Masyumi 

KALAU ditanya apakah keluarnya Perpu Nomor 2 tahun 2022 itu cukup alasan untuk memakzulkan presiden? Menurut saya sangat cukup alasan untuk itu. Hanya saja pemakzulan adalah lkangkah politik. Kita kembalikan kepada DPR sebagai kekuatan politik yang diberi kewenangan untuk menyatakan pendapat apabila Presiden dianggap telah melakukan pelanggaran sebagaimana maksud dari pasal 7B UUD NRI 1945. Kemauan politik partai politik di DPR lah yang menentukan.

Secara konstitusional, keluarnya Perppu 2 Tahun 2022 adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Baik dari segi filosofis, sosiologis dan historis. Setelah reformasi, paradigma pembentukan undang-undang di Indonesia tidak lagi di lembaga eksekutif sebagai pemegang otoritas. Sudah berpindah ke Legislatif. Persetujuan DPR menjadi mutlak berlakunya suatu undang- undang. Baik itu undang-undang yang diusulkan oleh Presiden, maupun undang-undang yang diusulkan oleh DPR.

Kalau kita bandingkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen), disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang- undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dikaitkan dengan pasal 20 dan pasal 21 UUD 1945, maka ada kekuasaan timbal balik, bahwa apabila rancangan undang-undang yang diusulkan oleh Presiden tidak disetujui oleh DPR, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Pasal 21 disebutkan kalau rancangan undang-undang itu diusulkan oleh anggota DPR, maka rancangan itu, meskipun disetujui oleh DPR, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan dewan.

Menurut undang-undang dasar 1945, kekuasaan membentuk undang-undang ada di Presiden dan DPR. Mempunyai kedudukan yang sama. Namun paska reformasi, terutama setelah amandemen UUD 1945 (UUD NRI 1945), maka kekuasaan untuk pembentukan undang-undang itu diserahkan di DPR.

Pasal 5 UUD 1945 juga mengalami perubahan. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang Kepada DPR. Kalau dalam UUD 1945 Presiden memegang kekuasaan “membentuk undang-undang dengan DPR ”menjadi“ mengajukan RUU kepada DPR”. Maka sentral pembuatan undang-undang itu ada di DPR.

Bunyi pasal 20 UUD 1945 pun berubah. Dimana presiden dan DPR membahas undang-undang secara bersama-sama untuk mendapatkan persetujuan bersama. Apabila rancangan undang-undang tidak disetujui bersama, maka rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam masa persidangan dewan masa itu. Jika rancangan undang-undang yang disetujui bersama tidak disahkan oleh presiden, dalam waktu 30 hari, maka RUU itu sah menjadi undang-undang.

Berdasarkan perbandingan antara konstitusi yang lama dengan yang baru, maka kewenangan membentuk undang-undang ada di DPR. Tidak lagi di presiden. Dengan demikian, setiap produk hukum yang dikeluarkan oleh Presiden dalam bentuk undang-undang maupun Perppu, wajib untuk mendapatkan persetujuan bersama dengan DPR. Tanpa adanya presetjuan bersama, tidak jadi itu undang-undang.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa produk Perppu walaupun secara norma masih terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi produk Perppu yang dikeluaarkan oleh Presiden telah kehilangan nilai-nilai filosofi, sosiologis dan historis.

Perppu tidak boleh dikeluarkan terus menerus secara serampangan. Perppu hanya dapat keluar dalam keadaan darurat dan hal-ihwal kegentingan yang memaksa dalam rangka menyelamatkan kepentingan rakyat dan negara. Sayangnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022, justru tanpa adanya alasan konstitusional, baik dari segi hukum, maupun dari segi sosial dan filosofis.

Kalau kita runut dari awal, maka UU Cipta Kerja telah menjadi produk hukum positif. Telah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Namun Mahkamah Konstitusi membatalkan keseluruhan undang-undang tersebut, karena tidak memenuhi syarat formil pembentukan sebuah undang-undang.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Presiden dan DPR memiliki tugas untuk memperbaikinya. Tetapi Presiden mengambil jalan pintas lewat Perppu Nomor 2 Tahun 2022. Kenyataan ini menjadi tragedy. Bukan hanya mengangkangi kewenangan legislasi DPR, tetapi juga tidak menghormati putusan MK sebagai penjaga konstitusi (The Guardian of the Constitution). Pelanggaran konstitusional yang dilakukan Presiden sangat fatal dan tidak bisa dibenarkan dari segi apapun.

Sebagai penutup, di penghujung periode jabatan Presiden Jokowi, banyak sekali persoalan-persoalan yang muncul. Namun tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Tidak jarang untuk menghadapi persoalan, presiden menggunakan kewenangan yang besar untuk menghadapinya, seperti mengeluarkan Perppu.

Kalau hal ini terus dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan presiden akan menjadi otoriter. Presiden di ujung dari kekuasaan, otoritarianisme akan melembaga dalam bentuk yang paling kasar. Hanya dengan cara itu konstitusi disangkal. Kekuasaan akan diperbesar. Jabatan akan diperpanjang dengan cara dan dalil pembenaran.

Bagi saya. Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja memberikan sinyal kuat otoritarianisme itu. Untuk tahun 2023, kita patut berhati-hati. Jangan sampai demokrasi terjerembab dalam lumpur tirani, dan berakhirnya egara demokrasi konstitusional. (Selesai).

285

Related Post