Saatnya Mengevaluasi Presiden
Oleh: Tamsil Linrung *)
Jakarta, FNN - Dalam perjalanan sejarah pergolakan negeri, gerakan mahasiswa yang bersifat masif-politis terbukti menjadi katalisator bagi sejumlah momentum perubahan. Tradisi kritis intelektual muda ini harusnya dirawat, bukan dikerdilkan, apalagi dibunuh. Mereka masa depan kita.
Kini, mahasiswa kembali menunjukkan jati dirinya. Momentum perubahan mereka tabuh, melalui satire pemberian gelar The King of Lip Service dari BEM Universitas Indonesia kepada Presiden Joko Widodo. Reaksinya mengundang aksi mahasiswa yang lebih meluas.
Ketika Rektor UI memanggil, dosen Ade Armando mencela, dan para pendengung menyudutkan mahasiswa UI dengan bunyi-bunyian khilafah. Mahasiswa di berbagai belahan negeri justru menyatakan dukungannya kepada BEM UI.
Presiden mencoba mendinginkan situasi. Jokowi bilang, kritik itu bagian dari kebebasan berekspresi sehingga tidak perlu dihalangi. Namun, lagi-lagi pernyataan ini seolah bagian dari lip service. Dewan Penasihat Kaukus untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang P. Wiratraman menilai represi terhadap mahasiswa justru semakin ofensif di periode kedua Jokowi.
Itu pula sebabnya mahasiswa menanggapi dingin pernyataan Jokowi. The King of Pura-pura, begitu BEM Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menanggapi pernyataan presiden. Jauh sebelumnya, Aliansi Mahasiswa UGM telah menggelari presiden dengan juara ketidak sesuaian antara kata dan perbuatan.
Dibuai Optimisme
The King of Lip Service. April 2020 lalu, dalam pengantar rapat terbatas mitigasi dampak COVID-19 terhadap sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, Presiden Jokowi berkata, "Saya meyakini ini (Covid-19) hanya sampai akhir tahun (2020). Tahun depan booming di pariwisata." Media lalu gegap gempita. CNBCIndonesia misalnya, menulis judul "Jokowi yakin corona kelar di akhir 2020: semua akan liburan!"
Jelang pergantian tahun, nyatanya Corona tidak kelar. Ketimbang liburan, masyarakat lebih fokus bertahan hidup. Tapi tidak pernah ada klarifikasi istana tentang pernyataan presiden yang terbukti keliru itu. Sebaliknya, yang muncul malah sebuah pernyataan baru. "Memasuki 2021, Jokowi Yakin Indonesia Bisa Bangkit Dari Pandemi Covid-19," tulis kompas.com.
Bangkitkah kita? Tidak. Di 2021 yang bangkit justru Covid-19. Pagebluk semakin menjadi, jumlah penderita dan orang meninggal memecahkan rekor. Pertengahan 2021 justru menjadi masa paling ganas Covid-19.
Lagi-lagi, istana tidak mengklarifikasi pernyataan presiden yang terbukti tidak terbukti itu. Dan seperti yang sudah-sudah, yang muncul justru sebuah pernyataan baru. "Jokowi yakin PPKM darurat bisa pulihkan pandemi Covid-19 dengan cepat," tulis Kompas.com.
Kita lelah menanti, kapan ucapan Jokowi terbukti. Barangkali ada betulnya aliansi mahasiswa UGM ketika menggelari Jokowi juara ketidaksesuaian antara kata dan perbuatan. Memang nyeleneh dan satir. Tapi juga tidak asal bunyi.
Saking seringnya pernyataan presiden meleset, di media sosial, acapkali muncul guyonan tersendiri menyikapi fenomena itu. Cara terjitu memprediksi kondisi negara: dengarkan apa yang dikatakan Jokowi, lalu lihat sebaliknya, begitu mojok.co berseloroh, menyikapi cuitan-cuitan netizen.
Sebagai pemimpin, membangun optimisme warga negara memang penting. Tetapi, optimisme itu harus terukur. Optimisme yang berlebihan bisa sangat berbahaya karena menggerus sikap hati-hati. Optimisme yang dibangun secara berlebihan jangan-jangan membuai dan menghanyutkan kita sehingga luput waspada atas lonjakan kasus Covid-19 varian delta di India.
Kini, bangsa kita terimbas Covid-19 varian delta yang membabi-buta. Akibatnya, pemerintah memberlakukan PPKM Darurat. Presiden meminta semua warga negara berdisiplin mematuhi pengaturan PPKM Darurat demi keselamatan bersama.
Namun, baru beberapa hari PPKM Darurat diberlakukan, sebanyak 20 TKA China masuk melalui bandara Sultan Hasanudi Makassar. Ekonom senior Faisal Basri bahkan mengatakan, sebanyak 1.015 orang masuk melalui Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, selama Mei 2021. Jadi, siapa sebenarnya yang tidak disiplin?
Sepanjang pemerintah tak bisa disiplin menaati ucapannya sendiri, sepanjang itu kita sulit melepaskan diri dari siksa pagebluk. Telah tujuh bulan berlalu sejak presiden menyatakan Tahun 2021 momentum kebangkitan negeri. Tetapi dalam tujuh bulan pula kita tidak merasakan denyut ke arah itu.
Saatnya Mengevaluasi
Pernyataan seorang presiden seharusnya bukan narasi ecek-ecek. Tidak sedikit tim yang berada di balik argumentasi seorang presiden. Untuk satu kalimat saja, tentu dipersiapkan dengan matang karena pengaruhnya bisa berdampak jauh. Sekadar lip service tidak boleh terjadi.
Tahun 2021 yang disebut presiden sebagai momentum kebangkitan, justru menjadi tahun yang menggelisahkan. Pandemi memuncak, rumah sakit sesak, pasien mengantre, dan tak sedikit yang berpulang karena keterbatasan layanan rumah sakit.
Sudah terlalu banyak kesalahan target yang kita biarkan. Ini baru berbicara pandemi, belum ekonomi yang tempo hari dijanjikan meroket, dan lain-lain. Kini, saatnya mengevaluasi. Apakah pandemi ini memuncak karena daya gedor covid-19 yang demikian dahsyat, atau sebagian dipicu oleh kesalahan manajemen penanggulangan wabah.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman yang juga Koordinator PPKM Mikro Darurat Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers pada 1 Juli 2021 mengatakan pemerintah (yang disebutnya sebagai kami) tidak memprediksi akan ada lonjakan setelah Juni 2021.
Padahal, menurut Pandu Riono, setelah mendengarkan masukan tim pandemi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, akhir Mei 2021 Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan segera mengusulkan kepada pemerintah agar melakukan pengetatan di Jawa dan Bali. Namun, usulan Anies ditolak. Pandu menduga kemungkinan pemerintah memprioritaskan aspek ekonomi ketimbang penanganan pandemi.
Di suatu pagi saya dihubungi mas Hocin sekretaris Gubernur Anies Baswedan. Dia menyampaikan kiranya abang berkenan mas Anies mau sarapan di rumah abang, kalau bisa sambil mengajak beberapa teman. Dengan senang hati saya menyanggupi sambil menghubungi beberapa teman untuk berdiskusi... mungkin curhat-curhatan. Hadir bang Abdullah Hehamahua, Azis Kahar, Tony Rasyid, Ubedillah Badrun, Muzakkir Jabir dan kalau tidak salah hadir juga almarhum Arief Munandar dan beberapa kawan lain, persisnya saya tidak ingat. Ketika itu kami semua terkesan dengan penjelasan mas Anies yang begitu runtut dan sangat sistematis bagaimana dengan biaya minimalis bisa menyelesaikan masalah Covid-19 ini andaikan usulan lockdown tidak dipolitisir pemerintah pusat. Sejak itulah kami berkesimpulan bahwa pemerintah bukan saja tidak cakap tapi abai dalam menjalankan amanah untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara sungguh-sungguh.
Sejak awal pandemi bermula, memang tarik menarik antara problem ekonomi dan kesehatan menjadi masalah tersendiri. Berbagai istilah bermunculan guna menghindari konsekuensi UU Kekarantinaan Kesehatan. Yang berlaku kini adalah PPKM Mikro Darurat. Sebelumnya PPKM Mikro, dan sebelumnya lagi PPKM I (11-25 Januari 2021), PPKM II (26 Januari-8 Februari 2021) dan PPKM III (9-22 Februari 2021). Itu baru istilah yang lahir pada 2021. Belum menengok tahun sebelumnya.
Tapi, apapun istilahnya, poinnya adalah pemerintah wajib melindungi dan menjaga seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana amanat konstitusi. Tidak boleh ada satu pun anak negeri yang berpulang begitu saja tanpa pelayanan maksimal dari negara. Kalau amanat ini tak lagi bisa diemban, maka sebaiknya Presiden Joko Widodo mengundurkan diri, sebagaimana tuntutan banyak pihak hari-hari belakangan.
*) Penulis Adalah Anggota DPD RI