Sahkan Revisi UU KPK, DPR Tak Mau Korupsi Dibasmi
Saya tak menemukan kata lain yang lebih pas untuk menggambarkan manuver orang-orang yang ingin mengebiri KPK: kurang ajar.
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior)
Jakarta, FNN - Waspadai manuver para koruptor. Sekarang, wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dipangkas habis. Tidak ada gunanya lagi. Yang berkuasa nantinya adalah Dewan Pengawas (DP) KPK. Ada semacam “board of directors” (dewas direktur) yang akan mengendalikan kerja KPK.
Hampir pasti, para koruptor atau siapa saja yang berkepentingan akan bisa menyusup ke DP. Mereka bisa ‘order’ apa yang mereka inginkan. Bisa ‘order’ agar kasus si anu dihentikan, agar kasus ini dikaburkan, agar kasus itu didiamkan.
Satu kata: kurang ajar.
Saya tak menemukan kata lain yang lebih pas untuk menggambarkan manuver orang-orang yang ingin mengebiri KPK.
Proses pengebirian ini berlangsung di DPR. Atas inisiatif lembaga wakil rakyat ini. Hebatnya, semua fraksi setuju. Yang mereka sepakati itu adalah revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, kemarin (Kamis, 5/9/2019)
Ini poin-poin penting yang akan membuat KPK menjadi singa ompong. Pertama, KPK akan dilengkapi Dewan Pengawas (DP). Kekuasaan DP ini sangat besar. Kedua, komisioner KPK harus minta izin ke DP untuk melakukan penyadapan telefon dan penggeledahan. Kalau DP tak setuju, tidak bisa dilaksanakan. Ini tentu celah yang berbahaya. Oknum DP bisa saja nanti memberitahukan operasi penyadapan kepada terduga yang mau disadap.
Ketiga, KPK boleh menghentikan penyidikan atas sesuatu kasus. Bisa diterbitkan semacam SP3. Ini juga bisa membuka peluang untuk ‘deal’. Nantinya bisa saja oknum DP mengarahkan agar kasus seseorang dihentikan saja oleh KPK.
Yang tak kalah penting adalah status karyawan KPK akan disamakan seperti ASN. Mereka akan menjadi pegawai negeri biasa. Tunduk pada semua aturan tentang ASN.
Revisi ini sangat berbahaya. KPK tidak punya keistimewaan lagi. Hampir pasti OTT tidak akan semudah dan seseru sekarang. Sebab, OTT hanya bisa dilakukan dengan penyadapan telefon. Ini yang justeru dipangkas oleh DPR.
Siapa yang berkepentingan dengan revisi ini?
Semua fraksi setuju. Itu artinya, semua fraksi merasa OTT KPK mengancam kader mereka, baik yang duduk di DPR maupun yang duduk sebagai kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota).
Selama ini, para gubernur dan bupati-walikota yang kena OTT berasal dari hampir semua fraksi di DPR. Yang paling banyak adalah dari fraksi PDIP. Dan di DPR-RI, fraksi PDIP-lah yang terbesar.
Itu artinya, revisi ini menjadi tanggung jawab PDIP. Mereka inilah yang menjadi penentu di DPR. Kalau mereka tak setuju, pasti revisi tidak akan terjadi.
Fraksi yang kedua adalah Golkar. Partai ini juga mencatat sekian banyak kadernya dijaring KPK lewat OTT. Begitu juga Partai Nasdem, Partai Demorkrat, Partai Gerindra, dll.
Jadi, publik sekarang tahu bahwa DPR tidak menghendaki korupsi diberantas dan dicegah di Indonesia ini. Mereka sebaliknya menginginkan agar kader-kader mereka tetap bisa bebas mencuri uang negara atau memperkaya diri sendiri melalui wewenang yang mereka miliki di jajaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Ketua KPK Agus Rahardjo menggelar jumpa pers, kemarin (5/9/2019). Dia mengatakan KPK sedang beradada di ujung tanduk. Agus tidak menjelaskan apakah itu tanduk banteng PDIP atau tanduk-tanduk yang sedang bermunculan di kepala para anggota DPR yang sangat bersemangat dengan revisi ini.
Diberitakan bahwa DPR akan memburu pengesahan revisi sebelum masa jabatan mereka berakhir bulan depan.***
6 September 2019