Sambo Ditahan Pelanggaran Etik, Ada Soal yang Lebih Besar dan Serius di Balik Tewasnya Yoshua

 

Jakarta, FNN - Publik sedikit lega setelah mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo digelandang ke Mako Brimob Depok guna pengusutan lebih lanjut atas tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat di rumah dinasnya.

“Yang justru harus dikritisi oleh publik adalah lembaga-lembaga yang diberi tanggung jawab etis justru merusak institusi,” kata pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Ahad, 7 Agustus 2022.

Apa dan bagaimana yang akan terjadi, berikut analisis tajam di bawah ini. Petikannya:

Bung Rocky, ini hari Ahad yang heboh, karena sejak tadi malam pusat perhatian publik ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, dan akhirnya memang sore kemarin ditetapkan Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai pelanggar kode etik, belum tersangka.

Tetapi kemudian mulai antiklimaks lo kok kode etik yang dikenakan. Padahal kan sebetulnya pasal pembunuhan. Tetapi, orang lupa bahwa Ferdy Sambo ini adalah seorang petinggi Polri yang tugasnya menegakkan kode etik, pengawas kode etik, justru dia disebut tidak profesional. Menurut saya ini kalau yang paham situasinya ini kan etika yang selalu kita sebut.

Ya saya kira kita musti terangkan pada publik bahwa ada pengadilan internal di setiap lembaga yang disebut kekuasaan Inspektur Jenderal untuk menginspeksi pelanggaran-pelanggaran internalnya.

Nah, di Propam itu sebagai ketua atau kepalanya adalah Pak Ferdy Sambo. Jadi orang menilai itu artinya kalau Pak Sambo melanggar kode etik, lalu bagaimana status lembaga itu sebagai lembaga penegakan etik. Jadi benar bahwa ini peristiwa pertama lepaskan dulu dari soal kriminalnya. Jadi, beliau, dalam kedudukan dia sebagai pemegang komando etis, dia justru menyalahgunakan kekuasaan itu, kedudukan etnisnya itu.  Jadi, itu dulu fokusnya. Dan orang memang selalu pingin cepet-cepet cari siapa yang terdakwa. Tapi memang, ada semacam prinsip dalam kepolisian atau di semua institusi pemerintah sebetulnya bahwa biarkan lebih dahulu Inspektur Jenderal bekerja untuk melihat apa yang internal di situ.

Dulu kan ada, kalau kita perluas sedikit ya, Irwasum (Inspektur Pengawasan Umum). Di semua Departemen Pemerintahan, Kementerian, ada Irjen dulu di zaman orde baru. Itu fungsinya adalah untuk meneliti pelanggaran etik kode etik atau perbuatan buruk dari aparat di Department itu atau di Kementerian itu.

Nah, sialnya, dulu itu Irjen itu di bawah menteri sehingga dia nggak mungkin periksa si menteri. Itu masalahnya sehingga kita anggap lo jadi Irjen itu justru harus berani untuk menegur menterinya bahkan. Jangan anak buahnya saja.

Tapi kalau menterinya datang Irjennya tunduk. Itu nggak boleh sebetulnya. Kan bagaimanapun, yang disebut oversite commitee, komite etis itu berdiri di atas birokrasi. Itu dulu bahkan yang memulai Sri Mulyani. Dia bilang, hai Pak Irjen, Anda harus awasi saya. Saya menteri, jangan Anda hormat-hormat saya. Saya bisa bikin sesuatu yang buruk lalu Anda merasa Anda bawahan saya. Enggak. Kedudukan etis itu lebih tinggi dari kedudukan birokrasi.

Memang, dalam kepangkatan ada hirarki pangkat. Tetapi, sekali lagi, overite commite seperti yang diduduki oleh Pak Sambo itu melampaui kedudukan dia sebagai Jenderal sebetulnya. Prinsipnya begitu. Tetapi, karena dia terlibat maka dia musti dibebas tugaskan dulu dari itu. Sebab di saat-saat terkhir bisa saja Pak Sambo mengatakan saya Inspektur Jenderal dalam kedudukan sebagai Irwasum tadi. Dan saya bisa menentukan siapa yang etis, siapa yang tidak etis. Kan itu konfliknya.

Jadi itu dilepaskan dulu sehingga Pak Sambo itu benar-benar tidak lagi punya fungsi untuk mengevaluasi etis lembaga kepolisian. Dengan cara itu, konfliks kepentingannya hilang. Tentu tahap berikutnya adalah soal pidananya. Jadi itu hal yang biasa saja. Betul tadi, yang justru harus dikritisi oleh publik adalah lembaga-lembaga yang diberi tanggung jawab etis justru merusak institusi.  Itu intinya. Kan yang mau kita selamatkan institusi kepolisian.

Nah, kalau disebutkan 25 orang melanggar etis, 3 orang ada Jenderal, itu juga problem besar dari suatu institusi, bermasalah itu. Sekali lagi, kita ingin supaya persoalan pidana itu tentu tidak akan dilupakan. Tetapi, sinyal etis ini yang hendak ditegakkan. Begitu satu lembaga kehilangan kedudukan etisnya, dia nggak lagi dipercaya oleh publik, apalagi kepolisian. Di situ bekerja prinsip noblesse oblige, semakin tinggi kedudukannya, obligasinya semakin besar. Apalagi obligasi etis, kewajiban etis.

Ya. Dan kalau kita lihat strukturnya, organisasi Polri ini bahkan lebih keras dibandingkan dengan lembaga-lembaga sipil lainnya karena tadi Pak Sambo divisi Propam, penegak etik. Tapi di atas Pak Sambo ada yang kita sebut sebagai Irwasum dan pangkatnya lebih tinggi. Itu yang sekarang sedang melakukan tugasnya.

Nah, saya kira justru seharusnya publik juga paham bahwa soal pidananya nanti akan jalan, dan bisa saja nanti kan seperti disampaikan oleh Pak Kapolri kemungkinan ada pelanggaran pidana. Karena, dalam soal etik ini misalnya menghalang-halangi para penegak hukum untuk menjalankan tugasnya. Itu juga soal pidana juga. Justru harusnya ini berlapis nanti kalau terjadi beliau sudah kena hukuman secara etik dan itu bisa konsekuensi pidana dan kalau kemudian terbukti ada keterlibatan dia dalam pembunuhan Brigadir Yosua, dia juga akan terkena hukuman pidana. Saya kira itu yang kita mesti pahami sekarang.

Ya, itu betul. Dan orang mulai paham bahwa ada keseriusan dari Pak Kapolri demi marwah institusi karena isu berkembang ke mana-mana, bola liar setiap hari kita dapat di WA grup bahkan beredar si ini lakukan ini, si ini adalah bendahara umum si itu, macam-macam istilah yang ini memang terlibat kasus affair dengan saksi.

Jadi segala macam isu itu kita mesti duga diproduksi juga dari dalam insitusi-institusi yang isinya persaingan. Itu intinya kan. Jadi sebetulnya ini sudah bagus, ditetapkan dulu sebagai pelanggaran etik. Karena itu dia mesti dilepaskan dari wilayah pengaruh dia oleh Irwasum yang memang berwenang itu dan ada tim khusus juga yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan pidananya.

Jadi betul, tentu Pak Sigit dengan hati-hati harus memisahkan itu supaya terlihat bahwa bagian pembersihan di dalam itu sudah selesai baru pengusutan pidana bisa lebih tajam. Sebab kalau bagian etisnya belum selesai, itu juga abu-abu di dalam.

Nanti bagaimana caranya? Ada ewuh pekewuh, ada senioritas segala macam. Jadi betul, kita mulai dengan langkah pertama profesionalisme Kapolri diterangkan betul-betul dengan memisahkan itu.

Nah, orang sebetulnya ingin cepat-cepat ditangkap saja. Ya nggak bisa dong. Itu soal pidana. Jadi betul, diselesaikan dulu, karena itu dibawa ke Mako Brimob. Ketegangan kemarin sore itu yang memperlihatkan itu berarti Irwasumnya juga tegang. Berarti Pak Sigit juga tegang sehingga publik merasa tegang juga karena Brimob berkeliaran di situ kan.

Jadi, keterangannya sekarang agak enak, nanti kita tunggu lagi siang ini apa keterangan lanjutannya sehingga orang tahu bahwa  jangan soal etis saja. Padahal, sebetulnya soal etis yang paling penting. Tapi orang sudah keburu merasa kok soal etis doang. Nah, kata etis itu juga lama-lama defisit nilainnya. Padahal itu adalah prinsip tertinggi dari semua organisasi, menghormsti hal-hal yang bersangkutan dengan tanggung jawab etik.

Oke. Kalau kita ngomong soal etik ini, saya memang sejak awal, publik juga terheran-heran dengan profil Sambo ini. Dia bintang dua, seorang Jenderal polisi bintang dua. Kita tahulah berapa gaji dari seorang bintang dua. Tapi gaya hidupnya luar biasa mewah. 

Kalau kita lihat misalnya bagaimana foto-foto dia bersama keluarganya, ajudannya sampai ada berapa sampai 8 orang, atau pembantunya banyak. Ini saya membayangkan kayak raja-raja kecil. Belum lagi kemudian ketika (ini ada video) misalnya ketika Yosua memberikan ucapan ulang tahun kepada adiknya itu rupanya dilakukan di ruang bawah, di dalam garasinya Pak Sambo, publik juga atau terutama emak-emak, salah fokus. Bukan lihat kuenya tapi lihat mobil-mobil mewah yang berderet di garasi Pak Sambo. Ya ini memang jauh dari profil seorang Irjen. Apalagi kalau kita membayangkan seorang Jenderal Polisi yang namanya Pak Ogen atau belakangan ada yang namanya Pak Kunarto, yang pernah merjadi ketua BPK, memang beda sekali ini.

Ya, itu juga teguran publik terhadap kehidupan para pejabat tinggi kita. Di kepolisian, di kementerian segala macam. Dan itu jadi semacam antipati terhadap cara melihat kesungguhan para pejabat kita. Kan sebetulnya kalau kita mau pakai prinsip penegakan etis dan siapa yang menduduki posisi tertinggi dalam penguasaan etis, dia harusnya justru yang paling miskin supaya terlihat bahwa dia hanya bekerja demi satu nilai yang dia percaya, yaitu integritas, kejujuran, dan keberanian untuk memberi teguran.

Jadi itu intinya. Jadi kalau misalnya terlihat atau terintip ada kemewahan, walaupun mungkin dibilang itu tamu segala macem, tetapi keburu terlihat bahwa ada sesuatu yang yang menyebabkan rasa ketidakadilan di publik. Dan kepolisian disorot, dan selama periode Pak Jokowi bahkan disorot karena seolah-olah dimanjakan itu. Dan pemanjaan itu menimbulkan kecurigaan.

Pemanjaan yang dibutuhkan untuk menarik simpati polisi pada kekuasaan. Itu pertanyaan lagi itu. Orang mulai melihat bagaimana persaingan di dalam rekrutmen itu ditentukan oleh pengaruh partai politik. Itu satu soal lagi. Jadi semua itu sekarang memang ya sangat disayangkan pada saat terakhir kekuasaan Pak Jokowi, ada isu-isu yang berantakan. Yang berantakan pertama KPK, itu udah berantakan. Sekarang kepolisian berantakan.  

Lalu orang tanya, di era siapa berantakannya itu. Oh, itu di era Gusdur. Nanti salah lagi. Padahal, itu Pak Jokowi juga harus bertanggung jawab. Keberantakan isu institusi ini karena kerakusan kekuasaan yang ingin ada di mana-mana.

Jadi kalau dibilang tadi Pak Sambo punya banyak hal, apalagi kekuasaan, dia punya macam-macam. Jadi satu paket pikiran yang kita perlukan untuk mengingatkan kepada para pendiri bangsa bahwa kita sedang mengalami krisis moral, krisis etik. Jadi coba lakukan refleksi. Dan banyak polisi yang pinter, tajam, dan hidupnya sederhana. Tentu kesederhanaan Pak Polisi nggak sama dengan kesederhanaan petani sawit. Beda. 

Tetapi, kemencolokan itu kan tidak bisa menahan untuk memamerkan kekuasaan junto kekayaan. Itu buruknya. Padahal, selalu orang anggap polisi itu pelayan rakyat maka sebetulnya harus sama sejahtera dengan rakyat. Tapi rakyatnya nggak sejahtera. Jadi itu intinya. Kita bisa pahami ini semacam gejolak evaluasi publik terhadap lembaga-lembaga kekuasaan, dalam kasus ini Polri yang terkena sorotan tajam. Itu banyak lembaga lain yang belum tersorot, Kejaksaan misalnya, Kehakiman. Sama juga kasus-kasusnya di situ.

Nah, kalau sudah mendengar penjelasan seperti Anda ini, bukan berarti kita mengecilkan ya kasus tewasnya Brigadir Yosua, justru persoalan etik ini jauh-jauh lebih besar. Ini Yosua itu symptomnya saja. Yang menjadi persoalan serius adalah penyakit etika ini kan?

Ya, itu point mendasar yang harus kita waspadai. Jangan sampai orang sekadar ingin melihat penghukuman pidana, tapi membiarkan soal etis. Kan ini bahayanya. Dia tersambung sebetulnya. Kalau seseorang secara etis tidak mampu untuk menguasai diri, menguasai menguasai ambisi pribadi, menguasai keinginan untuk memamerkan kekayaan, itu artinya dalam banyak hal dia juga akan jadi dealer. Itu poinnya.

Sehingga dia tidak punya semacam harga batin untuk menghakimi atau memanfaatkan kedudukannya untuk membersihkan lembaga itu. Ini masalahnya di situ. Karena itu, tetap kita tekankan terus FNN bahwa etika publik itu harus berlaku di mana-mana. Itu yang membuat polisi Inggris dihormati. Itu yang membuat kalau disebut sebagai Marine, Marinir, itu di Amerika itu dihormati betul.

 Karena ada etik yang tegak lurus dengan kedudukan dia sebagai militer. Nah, hal-hal ini juga harus kita pasangkan pada DPR. DPRD kita banyak betul yang pamer kekuasaan. Yang sebetulnya cuma anggota DPR tapi mesti punya banyak pengawal. Forider bisa empat. Kenapa? Soalnya dia bikin jarak dengan rakyat. Jadi hal ini berlaku ke semua institusi, bukan hanya pada polisi, termasuk juga pers. Pers juga banyak yang melanggar kode etiknya sendiri karena menjadi humas negara kan? Banyak tuh.

 

 

358

Related Post