Seakan GBK Dibuat Pindah Ke Semarang

Semua dibuat harus melihat Ganjar sedang jogging mengitari GBK yang bukan di Jakarta, tapi di Semarang. Itu agar Bawaslu tidak melihatnya sebagai sebuah pelanggaran. Bahkan politisi yang berseberangan pun dibuat tidak boleh melihatnya ada pelanggaran di sana, meski sekadar pelanggaran etik.

Oleh Ady Amar - Kolumnis

Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta mendadak pindah ke Semarang. Muncul pertanyaan susulan, bagaimana mungkin GBK bisa pindah ke Semarang. Sulit memang bisa menjelaskannya. Jika masih belum memahami, itu hal wajar. Tapi jangan sebut itu irrasional.

Soal-soal yang dianggap irrasional, itu pada waktu dan kondisi tertentu bisa diubah jadi rasional. Dan yang rasional bisa pula dirubah jadi irrasional. Semua bisa dibuat suka-sukanya, semau-maunya. Ini soal kekuasaan. Maka, nalar diminta sementara untuk memakluminya.

Kepindahan GBK ke Semarang itu bukan peristiwa luar biasa. Bukan hal mustahil, jika itu dikehendaki. Jangan bicara kesulitan memindahkannya, itu amat mudah. Bahkan lebih mudah dari (kisah) saat Pangeran Bandung Bondowoso membangun Candi Prambanan dalam semalam.

Memindahkan GBK ke Semarang, sekali lagi, itu bukanlah peristiwa irrasional. Setidaknya Minggu kemarin (30 April 2023), GBK berpindah ke Semarang, atau setidaknya serasa ada di Semarang. Cuma nalar sehat saja yang mampu melihat kepindahannya itu. Sedang nalar gelap mustahil bisa melihat apalagi merasakan.

Kepindahan GBK ke Semarang itu peristiwa biasa, meski di situ banyak hal luar bisa boleh diperdebatkan. Misal, seberapa besar dampak kerusakan yang ditimbulkan dari kepindahannya, itu perlu hitungan-hitungan tersendiri. Syukur-syukur tidak ada yang dilanggar dari kepindahannya itu. Kalau soal etika kepatutan pada mereka yang tengah berkuasa, itu mah tidak dipikirkan. Bahkan semua yang tidak patut pun boleh dianggap patut.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mampu menjadikan GBK (serasa) pindah ke Semarang. Menjadi hal biasa jika pagi itu ia jogging, yang diikuti arak-arakan massa pendukungnya. Jika GBK tidak dipindahkan sementara ke Semarang, tentu ia tidak bisa leluasa sebebasnya memakai tempat itu untuk mengundang pemberitaan. Hari-hari Ganjar memang banyak dihiasi kesibukan membuat konten.

Jika GBK tidak dipindahkan sementara ke Semarang, lalu apa kata dunia. Pastilah setidaknya rasan-rasan pun muncul mempertanyakan asas kepatutan, kok sempat-sempatnya _ngonten_ pun Ganjar sampai perlu ke GBK di Jakarta segala. Ditambah lagi, dengan dipindahkannya GBK ke Semarang, itu setidaknya bisa menyelamatkan "muka" Bawaslu di hadapan publik, yang setidaknya segan menegurnya, bahwa masa kampanye Pilpres 2024 belum dimulai.

Dengan demikian, Ganjar mampu membuat kerja Bawaslu tampak jadi lebih ringan. Sedang soal Bawaslu menegur Anies Baswedan yang melakukan kewajiban menjalankan ibadah sholat Jum'at saat ia tengah berada di suatu daerah, itu tidak dilihat sebagai suatu kewajiban lelaki muslim. Wajar jika mengundang kerumunan, tapi tetap dipersoalkan.

Soal-soal begitu dianggap bukan masuk wilayah diskriminatif, tapi menegakkan aturan irrasional menjadi rasional, begitu pula sebaliknya. Suka-sukanya Bawaslu sendiri menafsir asas rasional-irrasional, dan itu tanpa perlu malu-malu.

Buat Ganjar Pranowo, meski itu pelanggaran atau apalagi cuma pelanggaran etik, semua diharap memaklumi. Semua boleh dilakukannya, dan kekuatan di balik Ganjar nantinya yang akan meluruskan, bahwa itu hal biasa. Maka melihat Ganjar jogging di GBK, itu dibuat seakan ia tidak sedang meninggalkan wilayah kerjanya. Khusus untuknya GBK sudah dipindahkan ke Semarang, sebuah kota di wilayah kerjanya. Semua dikesankan  tidak ada yang dilanggarnya.

Semua dibuat harus melihat Ganjar sedang jogging mengitari GBK yang bukan di Jakarta, tapi di Semarang. Itu agar Bawaslu tidak melihatnya sebagai sebuah pelanggaran. Bahkan politisi lain yang berseberangan pun dibuat tidak boleh melihatnya ada pelanggaran di sana, meski sekadar pelanggaran etik.

Pokoknya manusia Ganjar ini mesti dibuat istimewa, dirawat sebenar-benarnya. Kerja-kerjanya di Provinsi Jawa Tengah pun perlu diberi penghargaan, jika mungkin sebagai provinsi terbaik, meski senyatanya berkebalikan.

Istana pun lewat Menteri Dalam Negeri lalu menetapkan Jawa Tengah sebagai Provinsi Berkinerja Terbaik. Ini lagi-lagi memang memaksa nalar publik harus bisa menerima, meski rakyat sebenarnya tidak bodoh-bodoh amat melihat itu semua. Sekali lagi, Ganjar memang sedang dipoles istana sekerasnya dengan membodohi nalar publik.

Maka kedepan bisa jadi kita akan temui  Ganjar melakukan hal-hal semacam "memindahkan" GBK ke Semarang, itu bagian dari merawat Ganjar dengan menekan nalar publik untuk bisa menerima kehendak istana. Sedang Bawaslu dan tentu nantinya Komisi Pemilihan Umum (KPU)  akan ada dalam kendali untuk terus ikut merawat Ganjar. Dibuat tidak boleh ada yang menghalangi Ganjar yang seolah sudah dipastikan sebagai pengganti Presiden Jokowi.

Pantas juga kawan Bung Asyari Usman, yang lalu menulis opini miris penuh keprihatinan, "Bagi Jokowi, Presiden Ganjar Tinggal Menunggu Tanggal Pilpres Saja". Seolah pilpres 2024 sudah dipastikan akan melantik Ganjar Pranowo sebagai Presiden RI ke-8, karena persiapan sudah dibuat begitu matangnya. Kecemasan Asyari, itu juga kecemasan yang dirasakan banyak pihak, bahwa demokrasi memang sedang dibuat sakit, diacak-acak sesukanya. Tapi Gusti mboten sare.  Maha perencana yang memutuskan dengan sebaik-baik perencanaan-Nya. Soal ini pun di luar nalar manusia. (***)

564

Related Post