Sekelumit Aksesoris Religiusitas Politisi di Ramadhan
Oleh: Ady Amar - Kolumnis
SIAPA saja boleh berkisah apa saja akan peristiwa masa lalunya, sekalipun yang dikisahkan bukan kisah sebenarnya alias ngibul. Itu tidak lah masalah. Banyak kisah ngibul yang dimaksudkan untuk menghibur seseorang yang mendengarnya, atau bahkan mampu menginspirasi. Bisa diri sendiri sebagai obyek untuk dikisahkan, meski itu sekadar kisah ngibul, atau mengisahkan orang lain tapi tetap dengan teknik ngibul.
Ngibul pun punya takarannya. Tidak asal ngibul yang sulit di nalar. Atau ngibul pada satu peristiwa yang obyeknya tidak ada. Jadi ngibul pun masih tetap dituntut rasional. Karenanya, ngibul menjadi tidak gampang terbaca, meski itu sebenarnya ngibul. Atau dalam makna lain, ngibul pun mesti terukur meski ngibul pada hal tidak serius, sekadar dimaksudkan untuk menghibur. Itu agar nilai surprise-nya bisa didapat.
Ngibul pun tidak memilih tempat dan waktu. Bisa dilakukan kapan saja sesukanya. Terpenting masih tetap bisa dinalar, terukur, dan tidak menipu atau ada pihak lain yang dirugikan karena ngibulnya. Ramadhan memang bulan suci, tapi pada sebagian orang, kebiasaan ngibul tetap jalan. Puasa ya puasa, tapi ngibul jalan terus. Lalu, bolehkah ngibul di Ramadhan, meski hanya diniatkan untuk menghibur? Jawabannya bisa debatable.
Ngibul pun bisa dilakukan dengan model tidak biasa. Tidak dengan kisah, tapi dengan penampilan personal yang tidak seperti biasanya. Ngibul model begini seperti orang latah saja, muncul hanya saat Ramadhan. Lebih-lebih lagi karena tengah memasuki tahun politik, pesta lima tahunan. Maka ngibul lebih ditampakkan, utamanya oleh seorang pejabat yang ingin nyaleg, nyagub, atau bahkan nyapres.
Maka, ngibul dengan aksesoris penampilan jadi pilihan, agar bisa tampak lebih religius. Hari-harinya tidak lepas bertengger di kepala songkok hitam, dan baju koko. Sholat pun dipastikan lima waktu di masjid, dan biasanya safari antarmasjid. Mendatangi kiai atau pemuka agama (Islam) jadi rutinitas sehari-hari. Atau mengundang kiai/ustadz tidak saja di rumahnya, bahkan kantor pun jadi tempat untuk menerima tamu. Semua itu bisa disebut sebagai ngibul aksesoris. Pansos agar disebut religius.
Bagus kalau ngibulnya itu jadi keterusan, jadi kebiasaan rutinitasnya, meski pesta lima tahunan sudah berlalu. Baik terpilih atau tidak terpilih pada jabatan yang diinginkan, tetap saja aktivitas keagamaannya jalan terus. Maka, ia sudah tidak bisa lagi disebut ngibul. Ia menjelma benar-benar menjadi pribadi muttaqien. Meraih "hidayah", meski pada awalnya ia sekadar ngibul. Memang tidak banyak yang seperti itu, jika dibanding yang memilih kembali pada watak aslinya, baik terpilih atau apalagi tidak terpilih pada hasrat yang diinginkan. Yang sedikit ini tentu manusia istimewa, karena telah dipilih diselamatkan-Nya.
Pada Kabinet Indonesia Maju, periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Yai Ma'ruf Amin, ngibul jadi makin semarak. Tampak pada lagak menteri yang ngebet dengan syahwat membuncah berlomba ingin menjadi pengganti Jokowi. Sekitar 3-4 orang menteri yang berharap bisa terpilih. Maka, gaya ngibul para menteri itu dengan bermacam varian, disesuaikan kementeriannya. Memang belum tentu mereka semua itu bisa terpilih nyapres, meski sudah nombok nominal uang tidak sedikit.
Ada gaya ngibul yang dengan menunduk-nunduk, dan tak ketinggalan memuji-muji Jokowi sebagai presiden hebat--Prabowo Subianto salah satu yang bernafsu maju lagi nyapres seolah tak kenal lelah--janji akan meneruskan pembangunan yang telah dicapai Jokowi. Janji itu tentu jika hajatnya menggantikan Jokowi terpenuhi. Bisa saja dipenuhi seluruh janjinya, atau hanya sebagian, atau bahkan sama sekali tidak dipenuhinya. Wong namanya juga ngibul pada awalnya, bukan pada akhirnya.
Ada pula ngibul menteri yang wajahnya terpampang di perusahaan-perusahaan di bawah Kementerian BUMN, khususnya yang langsung konek dengan rakyat. Maka di mana mata memandang, tampak wajah sang menteri nongol. Erick Thohir nama menterinya. Di ATM Bank Pemerintah, di bandara, di pelabuhan, di stasiun kereta.
Pada Ramadhan kali ini sang menteri mengenalkan wajahnya dengan tidak sungkan-sungkan. Wajah sang menteri tampil pada bungkus sembako, yang sepertinya untuk dibagikan pada rakyat. Ada beras dan lainnya. Tampak wajah sang menteri sambil senyum simpul. Tak ketinggalan logo BUMN disematkan di sana, cukup kecil saja tidak menonjol dibanding wajah sang menteri. Pastilah itu memakai anggaran BUMN untuk menampilkan wajahnya. Kampanye dengan menumpang kementerian yang dipimpinnya.
Masih banyak lagi ngibul-ngibul yang dimainkan para pembantu presiden dengan corak varian yang dipilihnya. Presiden Jokowi sendiri sepertinya membiarkan saja, bahkan tampak menikmati. Terkadang meng-endorse menteri yang satu, tapi pada momen lain endorse itu diberikan pada menteri lainnya. Para menteri itu diberi ngibul model Jokowi, yang seperti dibuat tidak menentu, isuk dele sore tempe.
Ngibul di atas itu boleh disebut Ngibul Aksesoris Religius. Ngibul artifisial. Di samping itu ada pula ngibul model lainnya, yang daya jangkaunya dijamin luas. Tidak cukup ngibul dicukupkan untuk konsumsi dalam negeri, tapi bisa sampai manca negara. Media sosial dipakai jadi alatnya. Twitter diantaranya jadi alat komunikasi untuk saling menyapa, dan tentu bisa sebagai alat ngibul yang punya daya jangkau luas.
Adalah Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah, yang juga digadang-gadang akan nyapres, sangat aktif bermain media sosial, utamanya Twitter. Namun hari-hari ini, Ganjar jadi bahan perbincangan, lebih tepat olok-olok. Itu karena salah satu twitnya di Ramadhan ini, dijamin ngibul 100 persen. Tentu hal tidak mengenakkannya.
Sebenarnya yang disampaikan Ganjar, itu hal sederhana. Ganjar berkisah bahwa saat mahasiswa dulu, ia punya kenangan pada Masjid UGM. Ia acap berbuka puasa mencari takjil di masjid itu. Jika mencermati apa yang dikisahkannya, itu sebenarnya bukanlah hal sesuatu, hal biasa saja. Tapi menjadi luar biasa, karena Ganjar tidak cermat memakai obyek ngibul pada tempat di mana ia biasa takjil. Masjid UGM yang dikisahkan itu belum ada pada saat Ganjar kuliah, bahkan sampai ia lulus di tahun 1995. Itu kesaksian Refly Harun, pakar Hukum Tata Negara.
Refly membaca twitan Ganjar itu terkekeh. Refly dua tingkat di bawah Ganjar, saat sama-sama kuliah di Fakultas Hukum UGM. Ganjar angkatan 87, dan Refly angkatan 89. Tapi keduanya lulus pada tahun yang sama, 95. Kesaksian Refly itu disampaikan di kanal YouTube nya.
Ngibul Ganjar itu bukan pada persoalan takjilnya, tapi pada Masjid UGM yang ia kisahkan penuh kenangan, utamanya pada bulan Ramadhan. Padahal kata Refly, sampai ia lulus tahun 95, lokasi masjid yang disebut Ganjar itu masih berupa tanah kuburàn. Tepatnya, kuburan Cina, yang memang berdekatan dengan Fakultas Hukum. Baru beberapa tahun kemudian Masjid UGM itu berdiri di tanah itu.
Ngibul Ganjar ini seperti tanpa dipikir. Ia ingin menampakkan diri, bahwa sejak mahasiswa pun ia sudah religius. Soboh masjid. Maka dibuatlah kisah kenangan takjil di Masjid UGM. Namun berujung jadi bahan ketawaan yang menyakitkan. Ngibul Ganjar itu pastilah diniatkan menaikkan citra religiusitasnya, justru menemui kegagalan.
Sebenarnya kisah yang dibangun Ganjar, bahwa ia memang sholeh sejak dulu kala, momennya sudah tepat. Tapi ya itu tadi, masjid yang disebutnya itu belum berdiri, masih berupa tanah pekuburan. Ngibul pun tetap dituntut cermat. Ngibul yang dikisahkan dan sekaligus diperankan Ganjar itu menemui kegagalan, bahkan gagal total. Maksud hati berkisah tentang kebaikan diri, tapi hasil yang didapat justru berujung olok-olok menyakitkan.**