Semacam Pembantu Bertikai, Sang Bos Cuma Melihat Tanpa Reaksi
Oleh Ady Amar *)
JUDUL opini di atas, itu hanya ibarat semata. Ibarat melihat persoalan yang terjadi, lalu mengandaikan atau mengibaratkan dengan Sang Bos yang tanpa respons apalagi menengahi para pembantunya yang tengah berseteru, bahkan sampai ke pengadilan segala. Itu hal yang tidak wajar, tidak semestinya.
Itu yang tampak, jika kita melihat fenomena yang terjadi pada Partai Demokrat. Partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), atau setidaknya partai yang dibesarkannya, yang saat ini dipimpin anak sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), tengah "disoalkan" keabsahan partai yang dipimpinnya oleh Moeldoko, yang "merasa" memiliki partai itu, sebagai Ketua Umum lewat KLB Partai Demokrat, di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Lalu hasil KLB itu dimintakan keabsahannya pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), dan ditolak. Tetap yang dianggap sah memimpin Partai Demokrat adalah AHY, yang terpilih lewat Kongres ke-5, di Jakarta (2020). Selesai.
Ternyata belum selesai, kubu KLB mengajukan gugatan pada PTUN Jakarta, menggugat Menkumham agar menggugurkan putusan keabsahan Partai Demokrat pimpinan AHY.
Pada Moeldoko saat ini melekat jabatan sebagai kepala Kantor Staf Presiden (KSP), ia orang dekatnya Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dan yang digugat adalah anak buah lainnya di kabinetnya, yaitu Menkumham, yang dijabat Yasonna Laoly. Kok bisa? Ya, realitanya demikian. Mungkin baru terjadi ada produk hukum sang menteri, yang itu representasi Presiden, yang coba ingin digusur oleh pembantu Presiden lainnya, Moeldoko.
Tapi saat sidang PTUN akan dimulai, salah seorang penggugat dari kubu KLB Deli Serdang, Yosef Benediktus Badeoda, tiba-tiba mencabut gugatannya. Sehingga Majelis Hakim PTUN Jakarta menunda pelaksanaan sidang gugatan perkara Nomor 154/G/2021/PTUN-JKT antara pihak KLB Deli Serdang (penggugat) dan Menteri Hukum dan HAM selaku tergugat, serta DPP Partai Demokrat (tergugat II intervensi), Kamis/23 September. Entah mengapa harus dicabut gugatan itu. Bisa jadi karena lebih memilih judicial review ke Mahkamah Agung (MA).
Prof. Yusril Ihza Mahendra, yang akan melakukan judicial review terhadap AD/ART yang dihasilkan lewat Kongres ke-5 Partai Demokrat ke MA. Katanya, bukan Moeldoko yang mengajukan judicial review itu, tapi dari 4 orang yang kebetulan ada di kubu KLB Deli Serdang. Sebenarnya jika disebut kubu Moeldoko, kan sama saja, karena KLB Deli Serdang itu mengangkat Moeldoko sebagai Ketua Umum.
Judicial review itu langkah kubu Moeldoko melihat ada celah hukum untuk memenangkan, dan pula berharap ingin melepaskan stigma "pertarungan" satu kubu. Dengan judicial review AD/ART ke MA, seolah melepaskan Menkumham dalam masalah ini. Agar terkesan tidak bertengkar di rumah sendiri. Apa yang dihasilkan MA, itu tinggal diserahkan pada Kemenkumham untuk ditindaklanjuti.
Langkah Moeldoko dengan pengacaranya, Prof Yusril Ihza Mahendra, pastilah sudah diperhitungkan. Dan ini terobosan baru, menggugat AD/ART sebuah partai oleh pihak lain, yang dianggap bisa masuk melalui pintu MA. Kenapa disebut "pihak lain", karena Menkumham menolak keabsahan Partai Demokrat hasil KLB, dan menganggap yang sah atas Partai Demokrat, itu yang hasil Kongres ke-5, yang diketuai AHY.
Tapi, sekali lagi, semua kemungkinan sudah diperhitungkan oleh kubu Moeldoko, yang diwakili pengacaranya Prof. Yusril. Tinggal bagaimana MA menyikapi apakah permintaan judicial review itu diterima, dan lalu dibahas dan memutuskan sebagai produk hukum yang mengikat kedua belah pihak, atau sebaliknya menolak permintaan judicial review, itu karena tidak ada landasan hukum pada MA bisa mengujinya.
Judicial review ke MA dalam uji formil dan materil terhadap AD/ART sebuah partai, pastilah akan menemui perdebatan di kalangan para ahli hukum tata negara sendiri. Setidaknya, Dr. Agus Riwanto, ahli hukum tata negara UNS, sudah menyampaikan pandangannya. Katanya, "AD/ART bukan objek uji materi ke MA, itu karena bukan produk perundang-undangan," sebagaimana detikcom mewawancarainya, Jum'at/24 September. Artinya, MA bukan ranah untuk itu.
Semua berharap bahwa hukum tidak diseret pada masalah politik. Hukum harus berdiri tegak lurus dengan parameter hukum itu sendiri. Itu setidaknya yang diharapkan semua pihak yang berperkara. Kita lihat saja apa yang akan terjadi dengan nasib Partai Demokrat.
Pertanyaan tidak terlalu penting muncul, ada di posisi mana, atau memihak pada siapa Sang Bos dalam "pertikaian" anak buahnya itu, tidak ada yang persis tahu. Tapi setidaknya, dengan membiarkan produk hukum dari pembantunya (Menkumham) yang ditorpedo oleh pembantu lainnya, itu seperti Sang Bos secara tidak langsung mempersilahkan produk hukumnya sendiri dikoreksi oleh pembantu lainnya. Gak mudeng ya... Setidaknya itu yang bisa dilihat. Adakah endingnya menuju Pilpres 2024, tentu perlu analisa yang lebih komprehensif dalam melihatnya... Wallahu a'lam.. (*)
*) Kolumnis