Sensasi Marah-marah Si Ratu Drama
Oleh Ady Amar *)
MEMPERMALUKAN anak buah di depan khalayak, tampaknya itu jadi passion buatnya. Atau sebenarnya ia ingin menyampaikan pesan pada publik, bahwa ia sudah bekerja keras, dan itu tidak diikuti oleh bawahannya. Maka ia memantaskan bahwa kemarahan itu perlu disampaikan.
Gaya mempermalukan anak buah di depan umum, itu memang kebiasaan Tri Rismaharini, Menteri Sosial RI. Biasa dipanggil dengan Risma. Kebiasaan itu dilakukan sejak ia menjabat sebagai Wali kota Surabaya.
Suatu pemandangan yang biasa jika anak buah di bentak-bentak didepan umum, dan lalu awak media yang mengikuti kegiatannya mempublikasikannya. Bisa jadi itu keinginannya, setidaknya ada berita tentang "marah-marahnya" itu sampai pada publik.
Risma tumbuh menjadi pribadi yang tidak punya empati pada bawahannya
Jika ditemuinya telah buat kesalahan, maka kalimat dengan nada marah menghambur dari mulutnya, dengan diiringi mata melotot-lotot, seolah ia sedang memainkan lakon di panggung yang ditonton banyak orang.
Pada awal mula Risma marah-marah, dan itu dimuat di televisi nasional, orang menyebut ia pemimpin tegas. Banyak yang terkagum melihat sikapnya, yang tidak menolerir sedikitpun kesalahan. Ia digadang berharap bisa sebagai pemimpin nasional.
Tapi tampil dengan gaya yang berulang dan berulang, maka orang anggap ia tengah berakting. Akting dengan skenario yang diulang-ulang pastilah membosankan. Aneh jika hal itu tidak disadari Risma dan team pengarah lakunya. Norak kesan yang ditimbulkan. Seolah ia hanya bisa memerankan peran antagonis dengan mengandalkan anak buah yang diumpan untuk "dihajar" di depan publik.
Berulangnya itu, seperti ada kepuasan dari diri Risma, jika ia bisa marah-marah. Kebiasaan yang diulang yang tanpa melihat orang lain suka, atau justru sebaliknya, malah muak. Risma seolah ingin jadi bagian yang terus diberitakan, dan sayang jika mengandalkan "akting" marah-marah.
Gagal Kelola Emosi
Orang lalu menyebut Risma itu bagai Ratu Drama (Drama Queen), karena kriteria untuk disebut demikian ada padanya.
Disebut Ratu Drama, tentu jika memenuhi kriteria yang melekat pada diri seseorang. Pada Risma, itu tampak pada sikap marah-marah pada persoalan yang tidak semestinya ia harus marah besar. Ini sih sikap membesar-besarkan persoalan.
Di samping tentu ada kriteria lainnya yang melekat pada diri seseorang untuk bisa disebut Ratu Drama. Setidaknya ada lebih dari lima kriteria menjadikan seseorang pantas disebut Ratu Drama. Sikap marah meledak-ledak tidak pada tempatnya, itu salah satunya.
Padahal sikap andalan itu mencederai harkat seseorang, yang seolah dijadikan samsak hidup, dipermalukan dihadapan publik. Keluarga pun ikut menanggung beban malu.
Risma tanpa sadar sebenarnya telah membangun suasana tidak kondusif pada bawahannya, yang bekerja dengan tekanan psikis. Maka jika Risma mengadakan kunjungan kerja ke daerah-daerah, akan disikapi dengan ketegangan suasana yang ditimbulkan. Ada ketakutan seolah tinggal terima giliran saja untuk dipermalukan, dan itu akan viral ke pelosok negeri.
Entah sudah berapa kali Risma melakukan adegan marah-marah itu. Sebuah media menyebut tidak kurang dari 7 kali, ia melakukan adegan marah-marah. Tapi ada yang menghitung lebih dari itu.
Tapi memang dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, ada intensitas narasi tidak wajar yang disampaikan Risma, dan terkesan intonasinya makin menaik dan sangat berlebihan. Terakhir saat di Gorontalo, beredar video si Ratu Drama, yang marah-marah sambil mendatangi bawahannya di kementerian Sosial, dan meluncur kalimat tidak sewajarnya, "Tak tembak kamu ya, kamu tak tembak ya."
Pada video itu Risma juga menyampaikan, bahwa pihaknya tak pernah mencoret data penerima bansos dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Pihaknya justru memperbaiki dan menambah data tersebut secara berkala.
Bisa jadi apa yang disampaikan Risma itu hal benar, tetapi mengapa mesti pakai narasi kasar dan dengan marah-marah segala. Risma sebagai pejabat tampak kurang mampu mengelola emosi dengan baik. Gampang tersulut dan meledak. Hal sama terus berulang, tidak salah jika orang menyebut itu bagian dari aktingnya.
Dan jika akting marah-marah ini jadi andalan Risma, maka tidak mustahil kalimat marah-marah yang dibangunnya ke depan bisa jadi akan lebih kasar lagi. Risma seolah mengingatkan pejabat zaman kompeni dulu kala, yang wajib menebar teror dengan marah-marah guna menimbulkan ketakutan tersendiri pada rakyat negeri jajahan... Muak bagi mereka yang tidak suka melihat adegan demikian. (*)
*) Kolumnis