Sentilan Jusuf Hamka Betul Sekali
Oleh Jon A. Masli, MBA - Diaspora LA & Corporate Advisor
TAYANGAN layar kaca TV dan YouTube kunjungan Ketum Perindo, Hary Tanoe, dan Ketua Umum PSMT Wilianto Tanta usai bertemu dengan Presiden Jokowi di istana, lalu menggelar konferensi pers yang menyatakan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) siap mendukung siapapun capres pilihan presiden. Hal ini membuat heboh para netizen di medsos dengan berbagai komentar kontoversial. Komentar dan kritikan tajam bukan saja oleh para pemuka tokoh masyarakat Tionghoa di Indonesia, tapi juga oleh para Diaspora WNI etnis Tionghoa di Amerika Serikat, yang masih berstatus WNI, aktif, dan berhak ikut Pemilu walau sudah puluhan tahun bermukim di sini.
Adalah teguran Jusuf Hamka, salah seorang tokoh masyarakat Tionghoa mualaf yang memotivasi penulis membuat artikel ini dengan tujuan menetralisir bola liar yang berkembang dan berpotensi menyulut kesalahpahaman di antara sesama anak bangsa (antisipasi salah tanggap). Kita yakin Pak HT dan WT tidak bermaksud memamerkan kedekatan mereka dengan Pak Jokowi via konferensi pers tersebut. Tapi ditambah gesture bahasa tubuh dari kedua tokoh Tionghoa ini tercermin dari kecaman - kecaman netizen, terutama antara lain dari tokoh Tionghoa Jusuf Hamka yang dihormati oleh kalangan masyarakat Indonesia karena kesederhanaannya, walau kaya raya,tapi rendah hati.
Komentar Jusuf Hamka begini: "Sebagai masyarakat Tionghoa, saya tidak pernah memberikan kuasa ke HT atau PSMTI untuk mendukung capres pilihan seseorang. Ini ngawur bla bla..."
Ada juga komen liar bernada rasis dari netizen: "Ah dasar Cina, mentang-mentang tajir, nempel dengan pejabat berkuasa, sok pamer, arogan lho, bla bla bla.....".
Komentar ini sempat membuat seorang Diaspora Tionghoa di WAG kami naik pitam. Diapun sontak membalas komen rasis tadi dengan memposting balik: "Eh elu dasar KADRUN gurun RASIS! Tidak semua Cina itu tajir dan pamer dengan penguasa tau?! bla bla bla...".
Inilah yang dimaksud salah tanggap di tengah krisis perpecahan bangsa ini sejak Pemilu 2019, dimana istilah Cebong dan Kadrun lahir.
Hary Tanoe sebagai ketum partai politik Perindo memang tidak menyebut siapa orang yang dimaksud pilihan presiden. Jadi beliau tidak salah. Tapi sebagai Pembina Ormas Tionghoa PSMTI dia sebut PSMTI mendukung siapapun pilihan Jokowi. Inilah sumber kemelut yang membuat Jusuf Hamka dan para netizen bereaksi.
Kita tahu persis, bahwa ormas seperti PSMTI, kalau bermanuver politik praktis, itu tidak etis. Sayangnya masyarakat berpersepsi Hary Tanoe seakan membenarkan PSMTI berpolitik praktis, inilah yang dikecam para netizen. Namun nada umum kecaman ke HT dan PSMTI adalah potensi implikasi salah paham seakan akan etnis dan pengusaha-pengusaha elite Tionghoa mengekor apapun keputusan penguasa mendukung siapapun pilihan capresnya. Sebagai WNI etnis Tionghoa di manapun berada, mereka tentu pasti punya pilihan capres dan partai politik. Mengapa harus PSMTI yang mewakili mereka? WNI etnis Tionghoa di Amerika Serikat pada umumnya tidak begitu kenal dengan ormas PSMTI. Di sini para WNI Tionghoa sudah membaur dengan saudara-saudara Diaspora Indonesia yang etnis Jawa, Batak, Sunda, Padang, Manado, Bugis, dll umumnya mereka sudah punya partai politik pilihan masing-masing.
Betul menurut HT, para anggota PSMTI itu adalah paguyuban warga dan pengusaha etnis Tionghoa. Tapi ingat, PSMTI tidak boleh begitu saja mengklaim sikap politik mewakili masyarakat Tionghoa. Pernyataan ini tidaklah etis, berpotensi menyulut kesalahpahaman seakan-akan etnis Tionghoa elite ini punya power berperan ikut menentukan capres 2024.
Sementara jutaan etnis Tionghoa adalah juga "rakyat biasa" alias " bukan orang elite atau the have atau pengusaha kaya seperti stereo type etnis Tionghoa selama ini. Mereka adalah juga rakyat biasa seperti para profesional, karyawan, buruh, bahkan di TNI, Polri dan lainnya yang status sosial dan rezekinya jauh dari elite. Namun mereka juga ikut berperan dan berkontribusi membangun NKRI.
Dalam konteks fenomena ini, kita berharap semoga orang-orang Tionghoa yang berpendidikan tinggi dan pengusaha sukses seperti HT dan WT dapat lebih bermawas diri untuk mengubur stereo type negatif yang sempat terbangun selama ini oleh ulah sekelompok kecil pengusaha-pengusaha sukses "sengkek kampungan" seakan-akan orang Tionghoa itu selalu dekat dengan para pejabat penguasa dan memamerkannya dengan arogan dan feodalistik untuk kepentingan bisnis. Padahal banyak juga para profesional dan pengusaha sukses etnis Tionghoa yang tidak berprilaku demikian. Terutama mereka yang biasanya paham apa itu Good Corporate Governance, Conflict of Interest dan beretika. Contoh misalnya tokoh pengusaha Tionghoa Jusuf Hamka, dan beberapa dari "9 naga" lain yang kerap low profile. The nine dragons know how to play the game right!
Tapi please do not get me wrong, dengan segala hormat kepada Pak HT sebagai tokoh nasional, beliau sudah sukses membangun business empire-nya dan Partai Perindo. Itu suatu achievement yang luar biasa, yang diberkati Tuhan. Namun kali ini mungkin beliau khilaf, sebagai manusia tentu terkadang tidak sadar kita melanggar nilai atau etika bermasyarakat.
Semoga lessons learned ini memberi pelajaran kepada kita, dari etnis apapun untuk perlu lebih mawas diri dalam mendukung rezim penguasa tanpa harus memamerkan kedekatan dengan penguasa dengan vulgar, sembari memahami arti efek conflict of enterest dan etika berpolitik ataupun bernegara tanpa merusak tatanan demokrasi yang berkeadilan. Sehingga kita dapat memberikan kontribusi yang lebih positif bagi NKRI yang kita cintai ini. (*)