Siapa Diuntungkan IKN?
Oleh Farid Gaban - Ekspedisi Indonesia Baru
PRESIDEN Jokowi menyebut pembangunan IKN merupakan langkah menuju pemerataan ekonomi dan pembangunan. Tapi, apakah benar klaim itu?
Pemerataan pembangunan fisik tidak selalu berkorelasi dengan pemerataan ekonomi. Sebaliknya, bahkan lebih sering memicu ketimpangan yang makin besar ketika penguasaan lahan sendiri sudah sangat timpang.
Pembangunan IKN akan menguntungkan para pemilik lahan luas di lokasi itu, yang sebagian besar adalah pengusaha Jakarta, bahkan asing.
Luas ibukota baru direncanakan sekitar 180.000 hektar. Itu terbagi dalam 3 ring: kawasan inti 5.600 hektar; kawasan ibukota negara 42.000 hektar; dan kawasan perluasan ibukota negara 130.000 hektar.
Itu semua bukan lahan kosong, melainkan lahan konsesi usaha kehutanan dan tambang, serta beberapa permukiman masyarakat adat.
Kawasan inti dan ring 1 merupakan bagian dari konsesi hutan tanaman industri seluas 160.000 hektar yang dikuasai pengusaha Sukanto Tanoto. Pada ring 2, ada lahan konsesi seluas 170.000 hektar yang dikuasai Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo Subianto.
Di ring 3, ada antara lain PT Toba milik Luhut Binsar Pandjaitan dan PT Singlurus Pratama milik keluarga taipan Lim Hariyanto Wijaya Sarwono, yang menguasai konsesi tambang batubara.
Para pengusaha besar itulah yang akan mendapat "windfall" pembangunan IKN hanya dari kenaikan harga tanah saja.
Pemerintahan Jokowi mengatakan sudah berhasil mengalihkan penguasaan 40.000 hektar kawasan inti dan ring 1 dari Sukanto Tanoto. Tidak diketahui persis apa kompensasi untuk Tanoto; tapi Pemerintah mengklaim lahan itu diperoleh secara gratis (konsesi HTI toh pada dasarnya milik negara).
Tapi, bahkan jika benar gratis, Sukanto Tanoto akan sangat diuntungkan dari sisa lahan luas yang masih dia kuasai. Hal serupa terjadi pada lahan Hashim maupun Luhut.
Pemerintahan Jokowi berharap bisa menjual 30.000 hektar lahan IKN kepada investor. Jika harganya Rp 2 juta per meter2, total dana yang bisa dikumpulkan mencapai Rp 600 trilyun, yang dianggap cukup untuk menutup biaya IKN.
Demi menarik investor, khususnya pengembang real-estate, Pemerintah memberikan hak guna sampai 180 tahun dan mengizinkan lahan itu diperjual-belikan. Sebagian besar investor yang mampu adalah pengusaha besar seperti Sinar Mas dan Agung Podomoro.
Harga lahan diharapkan bisa berlipat-lipat setelah IKN jadi dan mulai dihuni. Dan kita bisa membayangkan bagaimana akumulasi harta bisa dikumpulkan oleh pengusaha seperti Hashim, Tanoto atau Luhut.
Yang super-kaya akan makin super-kaya. Dengan kekayaannya, mereka bisa menguasai lahan lebih luas lagi untuk makin kaya lagi.
Kita bisa melihat bagaimana proyek IKN yang dibiayai publik (lewat APBN) memberikan keuntungan besar bagi pengusaha-pengusaha swasta, dan memicu ketimpangan ekonomi yang makin besar.
Itu tak hanya berlaku untuk IKN, tapi juga proyek-proyek infrastruktur fisik lain seperti jalur kereta cepat, jalan tol, kawasan ekonomi khusus seperti Mandalika dan Labuan Bajo. Semua dibiayai dari dana publik, untuk memberi keuantungan besar pada pengusaha swasta.
Jika Pemerintah memang benar ingin melakukan pemerataan, hal pertama yang harus dilakukan adalah reforma agraria secara serius. Mengoreksi ketimpangan telanjang: 1% orang/perusahaan menguasai 68% lahan di Indonesia.**