Siapapun Capres, Jangan AHY Jadi Cawapres (Bag-1)
Oleh Kisman Latumakulita - Wartawan Senior FNN
TEMAN wartawan namanya Tariman mengirim puisi yang baitnya begini “Apapun makanannya, minumannya teh botol sosro. Saya jawab “cakep”. Dilanjutkan, “Siapapun Capresnya, asal jangan Mayor TNI Purnawirawan Agus Harimurti Yudhoyono MSc. MPA, MA yang menjadi Calon Wakil Presidennya”. Saya jawab lagi “cakep”.
Partai Demokrat dan mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) diperkirakan sedang bekerja keras hari-hari ini. Kerja keras untuk apa? Tentu sedang berusaha dengan segala cara untuk meyakinkan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh agar sudi menerima Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai calon Wakil Presiden untuk Capres dari Partai Nasdem Anies Rasyid Baswedan.
Kerja keras SBY juga dilakukan untuk meyakinkan Mas Anies Baswedan. Namun hasilnya sampai sekarang masih mentok atau kandas di gedung Nasdem Tower. Malah teman aktivis ’98 yang kini menjadi menjadi Ketua DPP Partai Nasdem menyatakan “AHY lagi direject di Nasdem Bang Kisman”. Masa harus dipaksakan AHY sih Bang? Kalau begitu di mana tempat untuk kita-kita para aktivis ’98 kakanda?
“Kalau cuma AHY sih, kenapa bukan Bang Andi Arief, Bang Herman Khaeron atau Pak Syarif Hasan saja? Rekam jejak Bang Andi Arief dan Bang Herman Khaeron sebagai pejuang reformasi jelas. Bahkan sangat terang-benderang kedua abang ini. Adinda sangat yakin tidak ada yang meragukan eksistensi Bang Andi Arief dan Bang Herman Khaeron, “ujar teman yang sekarang menjadi anggota DPR RI tersebut.
Saya bilang kepada mantan aktivis yang memanggil saya dengan “Bang Kisman” itu bahwa saya sependapat dengan adinda. Kayaknya untuk menjadi menteri saja, AHY belum pantas deh. Apalagi kalau dipaksakan menjadi Cawapres. Jauh panggang dari api. Kalau pangkat terakhir AHY di TNI adalah Mayor Punawirawan, maka Mayor dan Kapten itu level koordinasinya masih tingkat kecamatan. Tentu saja koordinasinya dengan Camat dan Kapolsek atau eselon dua di kantor Bupati dan Walikota.
Mayor dan Kapten belum bisa untuk disetarakan dengan Bupati atau Walikota. Kalau Bupati atau Walikota itu, di tentara disetarakan dengan Letnan Kolonel (Letkol) dan Kolonel. Sedangkan pangkat Brigadir Jendral (Brigjen), Mayor Jendral (Mayjen) dan Letnan Jendral (Letjen) disetarakan dengan jabatan Gubernur atau Menteri. Masa Mayor jadi Cawapres. Apa kata dunia kalau Jenderal yang melapor ke Mayor karena Wakil Presidennya berpangkat Mayor purnawirawan.
Para penghuni kebun binatang mungkin bakal tertawa terbahak-bahak melihat Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Mas Anies Baswedan sedang berjudi dengan nasib bangsanya. Mempertaruhkan nasib bangsa sebagai percobaan, karena AHY sedang dan akan belajar bagaimana mengelola negara? Belajar memimpin rapat koordinasi pengawasan antar kementerian yang menjadi tugas Wakil Presiden.
Namun para penghuni kebun binatang agak terhibur, karena mendengar kabar baik bahwa AHY sebagai Cawapres Mas Anies masih direject di Nasdem Tower. Bang Surya Paloh kelihatannya gigih tidak mau AHY menjadi Cawapresnya Mas Anies. Bisa saja Bang Surya Paloh dan Mas Anies pilih Khofifah Indar Parawansa, Jenderal Gatot Nurmantyo, Jenderal Andhika Perkasa atau Jenderal Budi Gunawan sebagai Cawapres.
Sekitar dua minggu lebih, sejak awal 2023 lalu, saya mencoba merenung-renungkan kembali informasi yang saya dengar dari adinda Ketua DPP Partai Nasdem. Akhirnya saya putuskan membuat tulisan. Sebagai wartawan dan aktivis di dua orde yang berbeda (Orde Baru dan Orde Reformasi) saya merasa terpanggil untuk ikut merasakan suasana kebatinan (keresahan) yang menimpa adinda Ketua DPP Nasdem soal AHY. Keresahan itu saya tulis di tulisan berseri dengan judul “Siapapun Capresnya, Asal Jangan AHY Yang Menjadi Cawapres”.
Keresahan dari seorang aktivis yang sangat normal dan wajar. Bagaimana tidak, hingga kini masih sulit menemukan jejak digital adanya interaksi sosial yang terbangun antara AHY dengan masyarakat sipil (civil society) tentang berbagai persoalan sosial, politik dan hukum yang terjadi atas bangsa ini. Mungkin saja karena AHY bukan aktivis ’98. Mungkin juga karena AHY maunya tampil menyampaikan gagasan-gagasan besarnya di depan anggota atau simpatisan Partai Demokrat saja.
Sangat jarang menemukan AHY tampil di panggung-panggung diskusi publik yang digagas atau dilaksanakan oleh kalangan civil society. Wajar saja kalau tidak banyak yang paham atau mengerti apa gagasan besar AHY tentang penegakan rule of law? Bagaimana AHY melihat ketimpangan gini ratio di Indonesia? Apa pandangan AHY tentang demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM) dan pelestarian lingkungan? Bagaimana langkah perbaikan ke depannya, agar bisa lebih baik dan bermartabat?
Bagaimana caranya AHY memaknai kebebasan berpendapat yang telah diperjuangkan dengan susah payah oleh Bung Hatta, Profesor Soepomo, Rajiman Widyadiningrat dan Muhammad Yamin pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dari tanggal 15 dan 16 Juli 1945? Kebebasan berpendapat yang dituangkan oleh para bapak bangsa di pasal 28 UUD 1945 sebagai pasal terakhir yang disetujui PPKI. Istilah yang terkenal dari Bung Hatta untuk pasal 28 UUD 1945 ini adalah “Publieke Opinie”.
Publik juga kering mendengar suara atau keresahan AHY tentang perilaku dan sepak terjang para konglomerat hitam, busuk, tamak dan culas. Oligarki yang menyandera dan menguasai jutaan hektar hutan. Sumber daya alam mineral (batubara, nikel, tembaga, dan emas). Lautan yang telah dikapling-kapling oleh pengusaha perikanan. Dugaan ekonomi Indonesia yang digerogoti secara terencana oleh pengusaha persekongkolan dan penguasa (Peng Peng).
Jurang antara masyarakat yang kaya dengan miskin terbuka lebar. Berbagai masalah bangsa terjadi di depan mata hampir setiap saat. Ketimpangan yang bisa disaksikan publik dengan telanjang bulat. Misalnya, penegakan hukum yang hanya tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Hukum yang bisa ditransaksikan dengan mudah. Mulai dari pembuatan di DPR sampai putusan di pengadilan. Namun sangat susah untuk bisa menemukan suara keresahan yang datang dari AHY?
Paling masyarakat hanya bisa menemukan gagasan atau pemikiran besar AHY itu di website, email, twitter dan instagram milik AHY pribadi atau Partai Demokrat. Sulit untuk bisa menemukan kehebatan AHY berupa pemikiran dan gagasan besar AHY tentang bangsa di luar media sosial (medsos). Padahal masyarakat mungkin sangat ingin dan berharap agar AHY keluar untuk berteriak mengkritisi berbagai persoalan dan ketimpangan yang terjadi atas bangsa ini. (bersambung).