Sidang Jin Buang Anak, Katanya Demokratis Kok Anti-Kritik?
Jakarta, FNN - Sidang lanjutan kasus Jin Buang Anak dengan terdakwa Edy Mulyadi kembali digelar pada Kamis (25/08/22) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menghadirkan saksi ahli dari Jaksa Penuntut Umum.
Muhammad Rullyandi, S.H., M.H, selaku Ahli Hukum Tata Negara dan Seorang Advokat serta Dosen dari Universitas Pancasila memberikan keterangan bahwa Ibu Kota Negara sudah diatur dalam pasal 37 mengatur tentang partisipasi masyarakat terkait proses persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengelolaan IKN.
Dalam UUD, wilayah IKN bersifat absolut. Artinya, wilayah Jakarta tidak serta merta berkuasa untuk menjadi Ibu Kota Negara. Beliau memberikan contoh pada awal mula kemerdekaan, wilayah kekuasaan pemerintah berada di Yogyakarta dan juga sempat berada di Bukittinggi sesuai dengan kepentingan atau situasi darurat.
Menyinggung hal tersebut, JPU mengaitkan kasus EM di videonya menyebut atau memberikan kritik terhadap kata "Oligarki" yang bersinggungan dengan Proyek IKN.
"Istilah oligarki, bentuk pemerintahan dilakukan oleh orang-orang penguasa dan mementingkan kelompok-kelompok tertentu (KKN). Namun, pada saat ini hanya ada bentuk pemerintahan dengan sistem demokrasi di negara. Tidak bisa dikaitkan dengan proyek IKN. Karena para penyelenggara negara demokrasi pastinya melakukan pengamatan terlebih dahulu terhadap apa yang ingin dilakukan," tutur Rullyandi.
Tetapi, tidak hanya itu, Rullyadi juga memberikan keterangan pada Pasal 28J memberikan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
"Harusnya paham sebagai apa, sebagai media, wartawan dia harus menyadari bahwa UU ITE juga berlaku dan dapat diuji kebenarannya" tambah Rullyandi.
"Video terdakwa diunggah pada tanggal 17 Januari 2022, sedangkan RUU IKN disahkan melalui rapat paripurna DPR pada 18 Januari 2022. Serta Edy Mulyadi juga memberikan pendapat berdasarkan data-data dari WAHLI," Penasihat hukum dari EM memberikan tanggapan terhadap apa yang sudah dijelaskan oleh Saksi Ahli, Rullyandi.
Hakim Ketua Adeng Abdul Kohar yang memimpin persidangan, banyak memotong pertanyaan dari JPU, karena dinilai mengulang pertanyaan dan sudah ada dalam teori-teori yang disampaikan.
Meskipun demikian, JPU tetap menanyakan sejarah keberlangsungan pemerintahan oligarki sejak Indonesia merdeka hingga saat ini.
"Ada dimensi politik yang harus dipahami, ada hukum yang berbicara. Belum ada satupun terbukti sebagai oligarki. Presiden Seoharto 32 tahun menjabat dan dia berhenti karena adanya tuntutan masyarakat, dia berhenti sebagai presiden atas keinginan sendiri, bukan oligarki. Meskipun akan ada catatan penting dalam sistem pemerintahan. Memperbaiki dalam prinsip-prinsip reformasi," tegas Rullyandi.
"Para ilmuan hanya bertengger di atas gading," Edy Mulyadi memberikan peribahasa untuk saksi ahli.
Mencermati dari persidangan yang berlangsung, kita dapat melihat bahwa saksi ahli hanya mengemukakan teori dan belum bisa melihat praktek secara langsung berdasarkan data-data dari WAHLI hal tersebut diungkapkan oleh Edy Mulyadi sebagai penutup persidangan sesi satu.
Pada akhirnya sebagai warga negara harus melakukan fungsi kontrol dalam sistem ketatanegaraan. Ruang persidangan kuat dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh masing-masing pihak yang terlibat (Jaksa penuntut, saksi ahli, terdakwa, dan penasihat hukum terdakwa). (Ind)