Sidang Pelanggaran HAM Paniai Dipantau Lembaga Amnesty Internasional

Direktur Eksekutif Lembaga Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menjawab pertanyaan wartawan usai memantau sidang perdana kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Provinsi Papua Barat yang disidangkan di Pengadilan HAM, Pengadilan Negeri Kelas I Khusus Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (21/9/2022). (Sumber: ANTARA)

Makassar, FNN - Direktur Eksekutif Lembaga Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid memantau langsung proses sidang perdana kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Provinsi Papua Barat yang disidangkan di Pengadilan HAM, Ruangan Prof Bagir Manan, Pengadilan Negeri Kelas I Khusus Makassar, Sulawesi Selatan.

"Nampaknya persiapannya (sidang) tidak matang, bahkan tadi dari jadwal 180 hari (pelaksanaan sidang), tapi ini sudah (molor) termakan waktu 90 hari lebih," ujar Usman kepada wartawan usai memantau sidang, di Makassar, Rabu.

Hal ini berkaitan atas penetapan satu orang sebagai terdakwa yakni Mayor TNI (Purn) Isak Sattu selaku Perwira Penghubung (Pabung) Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai di Kabupaten Paniai saat itu posisinya sebagai perwira tertinggi yang dianggap bertanggung jawab dalam insiden penembakan warga.

Kejadian tersebut pada Senin, 8 Desember 2014 sekitar pukul 11.00 WIT di Lapangan Karel Gobay dan Kantor Komando Rayon Militer (Koramil) 1705-02/Enarotali di Jalan Karel Gobay, Kampung Enarotali, Distrik Paniai yang mengakibatkan 14 orang korban, 10 orang luka-luka serta empat di antaranya meninggal dunia.

Menurut dia, yang paling penting adalah substansi perkaranya, benar tidak peristiwa di Paniai itu memang terjadi akibat perbuatan terdakwa.


Ia menghormati proses hukum, walaupun menimbulkan pertanyaan publik, apa benar terdakwa pelaku sesungguhnya. Sebab, banyak hal yang meragukan bahwa pelakunya hanya satu orang.

"Dalam sidang, diduga banyak yang hilang kronologisnya terutama siapa yang melakukan penganiayaan terhadap anak-anak (korban), itu siapa. Harus dibuktikan dulu, itu menurut saya," kata mantan Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ini menekankan.

Selain itu, sebelum kejadian penembakan pada Senin, 8 Desember 2014, ada dugaan tindak kekerasan dan penganiayaan warga oleh oknum aparat pada Minggu, 7 Desember 2014 sesuai uraian dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).

Bahwa di Jalan Enarotali-Madi Kilometer 4 sempat terjadi cekcok mulut antara warga Ipakiye Tanah Merah diduga nyaris ditabrak oknum aparat saat melintas ketika mereka meminta sumbangan dari pengguna jalan untuk acara perlombaan Pondok Natal Desember 2014. Buntutnya, usai kejadian itu, diduga terjadi penganiayaan warga setempat.

"Ada penganiayaan di tanggal tujuh itu dan ada penembakan di tanggal delapan. Hari pertama itu kan mengakibatkan luka fatal, tapi tidak menyebabkan kematian, tetapi siapa pelakunya, itu tidak ada," ujar Usman pula.

Pihaknya berharap, sidang berikutnya segala celah kosong yang ada harus diisi dalam pembuktian, apalagi agendanya menghadirkan saksi fakta maupun ahli. Sedari awal, kata dia, pihak keluarga masih ragu apakah perintah sidang itu sungguh-sungguh memberikan keadilan atau hanya sebatas formalitas.

"Tentunya, kami harus menerima kenyataan bahwa sidang ini akhirnya digelar. Kami ingin melihat negara sungguh-sungguh atau sebaliknya. Ini adalah ujian bahwa PN Makassar membawa beban yang sangat berat dan tantangan berat, kalau gagal bisa disalahkan," katanya menambahkan. (Sof/ANTARA)

265

Related Post