Stabilitas Terjaga, Civil Society Terlena!

Oleh Sutrisno Pangaribuan - Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) 

SALAH satu keberhasilan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jelang sepuluh (10) tahun memimpin Indonesia adalah terciptanya stabilitas sosial dan politik. Aksi kritik organisasi mahasiswa (ormawa) maupun kelompok civil society lainnya seperti organisasi kemasyarakatan (ormas), organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP), dan organisasi non pemerintah (ornop) kini sepi. Tidak ada lagi aksi sebesar aksi massa berseri dan berjilid seperti 411 dan 212 yang cukup merepotkan istana saat itu.

Sementara aksi massa terhadap revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja, meski cukup besar dan ramai, namun tidak bertahan lama, selebihnya hanya aksi biasa yang rutin, sekedar mempertahankan eksistensi organisasi. Ormawa dan kelompok civil society kini lebih asyik dengan agenda internal, dengan menggelar perhelatan seremonial berupa kongres, munas, rakernas dengan target maksimal: dihadiri presiden. Istana pun menyambutnya dengan menyesuaikan agenda presiden dengan berbagai agenda organisasi tersebut. Kehadiran presiden dalam kegiatan seremonial kelompok civil society pun dijadikan indikator keberhasilan menciptakan sejarah baru: dihadiri presiden.

Akhirnya kelompok civil society yang diharapkan sebagai "social control” terhadap kekuasaan pun berubah. Pergeseran nilai dari “pressure group” menjadi paduan suara memuja dan memuji penguasa, tidak dapat dihindari, laiknya relawan pemenangan. Sambutan maupun pidato yang sejatinya sebagai pernyataan sikap organisasi, berubah menjadi narasi puja puji plus deklarasi kesetiaan dan tegak lurus kepada presiden. Kekuasaan menjadi absolut karena para aktivis mahasiswa dan kelompok civil society cukup puas dengan berbagai fasilitasi kegiatan organisasi, dengan bonus remah- remah kekuasaan berupa komisaris BUMN dan komisaris anak maupun cucu BUMN. 

Demokrasi Berjalan Mundur 

Kondisi tersebut semakin ironis karena partai politik (Parpol) pun tidak mampu menawarkan ide, gagasan, dan program politik yang menarik. Parpol yang memiliki suprastruktur dan infrastruktur semakin mirip dengan organisasi relawan yang hanya manut kepada Jokowi. Pimpinan Parpol berlomba mendapat "endorse" dari Jokowi, termasuk para bakal calon presiden (bacapres) baik yang simetris maupun yang antitesa, ternyata tidak mampu "menjaga jarak" dengan Jokowi. 

Tagline keberlanjutan dan kesinambungan atau perubahan dan perbaikan sama sekali kering dari ide, gagasan, dan program politik yang jelas. Program politik sejumlah Parpol malah jadi lelucon, seperti program BPJS gratis, BBM Gratis, makan gratis, hingga himbauan segera menikah dan hamil, karena akan ada tunjangan bagi ibu hamil. Para elit Parpol yang frustrasi tersebut akhirnya menawarkan program- program yang tidak masuk akal demi meraih simpati dan dukungan publik. 

Gejala buruk juga terjadi pada proses rekrutmen penyelenggara Pemilu yang berlangsung secara nasional. Meski penyelenggara Pemilu tersebut dirancang sebagai lembaga yang bersifat nasional dan mandiri, namun pengaruh dan intervensi Parpol dan ormas sangat vulgar. Para komisioner penyelenggara Pemilu dari pusat hingga daerah harus memiliki afiliasi terhadap Parpol. Selain afiliasi terhadap Parpol, para penyelenggara Pemilu tersebut juga harus memiliki identitas atau afiliasi terhadap ormawa maupun ormas. Para komisioner harus melalui "screening dan mendapat cap dari Kalibata" dan Komisi II. 

Rekrutmen yang sejatinya independen, transparan, dan terbuka, sebagai salah satu buah reformasi yang diperjuangkan mahasiswa, menjadi eksklusif hanya untuk kalangan sendiri. Para tim/ panitia seleksi yang semula independen, melibatkan para akademisi dan praktisi murni, pun berubah sesuai selera Jakarta demi mengamankan kepentingan Parpol dan Ormas. Maka tidak berlebihan kalau proses rekrutmen penyelenggara Pemilu tahun 2024 menjadi yang terburuk pasca reformasi. 

Partisipasi Politik Rakyat Menurun 

Seratus empat puluh sembilan (149) hari jelang Pemilu, Rabu (14/2/2024) geliat pesta demokrasi rakyat belum terasa. Meskipun para elit politik berlomba menggelar akrobat dan dansa dansi politik, rakyat tidak antusias. Berbeda jauh dengan sepuluh (10) tahun yang lalu, saat Jokowi muncul sebagai bacapres. Rakyat secara partisipatif mengorganisir diri, membentuk relawan dan simpatisan. Bergerak secara kreatif dan mandiri dengan biaya sendiri, tanpa dikanalisasi dan dikomando Parpol. Bahkan saat itu, Parpol tidak berdaya menghadapi tekanan dan permintaan relawan untuk segera memberi kepastian terhadap pencalonan Jokowi. 

Euforia kerelawanan berubah pada Pemilu 2019, saat para elit relawan "telah ikut" menikmati remah- remah kekuasaan. Relawan bukan lagi gerakan rakyat, yang lahir dan tumbuh secara partisipatif, dari kerinduan dan harapan rakyat. Organisasi relawan kini tidak ada bedanya dengan Parpol yang ingin ambil bagian dalam kekuasaan. Kalkulator politik dihidupkan sejak organisasi relawan dideklarasikan. Peran dan partisipasi rakyat tidak lagi dibutuhkan untuk memenangkan pertarungan. Para pengusaha pun berhasil membangun tembok yang menjauhkan Jokowi dari rakyat. Akibatnya, kemenangan Jokowi di Pemilu 2019, tidak signifikan, meski telah berkuasa lima (5) tahun.

Pemilu 2014 menarik saat rakyat bergerak untuk memenangkan Jokowi, dimana rakyat menjadi sutradara sekaligus menjadi aktornya. Parpol dan relawan bergerak bersama rakyat memenangkan pertarungan. Sementara jelang Pemilu 2024, Parpol dan relawan hanya sibuk mencari muka kepada Jokowi dan keluarganya demi memenangkan pertarungan. Pemilu 2014, semua tentang rakyat, sedang Pemilu 2024 seakan semua tentang Jokowi dan keluarganya. Akhirnya rakyat tidak memiliki peran apapun, selain jadi penonton akrobat politik para elit. 

Rakyat Penentu Kemenangan

Meskipun para elit politik lebih memilih memunggungi rakyat, namun penentu kemenangan dalam Pemilu 2024 tetap rakyat. Maka siapapun yang meninggalkan rakyat, pasti akan ditinggalkan rakyat juga. Rakyat akan menghukum Parpol dan para calon yang mengabaikan partisipasi dan peran politik rakyat. Berdasarkan data KPU RI, partisipasi pemilih pada Pemilu 2014, sebesar tujuh puluh persen (70%), dan pada Pemilu 2019 sebesar delapan puluh satu persen (81%). Meski secara persentase naik, namun dari jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih justru bertambah. 

Jika mengacu pada data KPU RI, jumlah pemilih pada Pemilu 2019 mencapai 199.987.870 pemilih. Sementara yang menggunakan hak pilihnya 158.012.506 pemilih. Maka jumlah pemilih pada Pemilu 2019 yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 41.975.364 pemilih. Hampir 42juta pemilih yang tidak berpartisipasi. Jumlah tersebut akan sangat menentukan jika akhirnya ikut dalam Pemilu 2024. Maka Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:

Pertama, bahwa Pemilu sebagai pesta demokrasi akan sukses jika rakyat terlibat secara partisipatif, hadir dan menggunakan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Maka kedaulatan rakyat harus menjadi alasan dan tujuan dari Pemilu. 

Kedua, bahwa Parpol dan para calon (presiden, legislatif, senator) harus menyampaikan secara terbuka terkait ide, gagasan, dan program politik kepada rakyat. Hal tersebut harus menjadi syarat utama dalam mewujudkan Pemilu yang berkualitas. 

Ketiga, bahwa Parpol dan para calon (presiden, legislatif, senator) harus menghindari semua praktik curang dalam Pemilu berupa pemberian hadiah atau janji dalam bentuk uang, sembako, atau bentuk lain yang dilarang. Jika ada Parpol dan para calon yang melakukan kecurangan harus didiskualifikasi dan kemenangannya harus dibatalkan. 

Keempat, bahwa KPU RI, BAWASLU RI, DKPP RI sebagai penyelenggara Pemilu harus bersikap dan bertindak netral dalam Pemilu. Penyelenggara Pemilu harus memastikan bahwa pertarungan politik dalam Pemilu sebagai pertandingan yang fair dan adil bagi semua peserta Pemilu dan rakyat sebagai pemilik hak pilih. 

Kelima, bahwa pemerintah beserta seluruh jajarannya, baik ASN, TNI, Polri harus fasilitator Pemilu yang netral terhadap semua Parpol dan calon. Pemerintah harus memastikan bahwa Pemilu sebagai pesta demokrasi yang menghadirkan kegembiraan bagi seluruh rakyat. 

Pemilu 2024 akan sebagai pesta demokrasi yang berkualitas yang menghadirkan sukacita dan kegembiraan jika semua pihak menjunjung tinggi prinsip demokrasi, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. (*)

312

Related Post