Sub Holding, Pintu Oligarki Licik dan Culas Kuasai Pertamina
by Salamuddin Daeng
Jakarta FNN – Rabu (01/07). Kebijakan sub holding anak perusahaan Pertamina sebenarnya bukan rencana baru. Namun telah direncanakan sejak awal pemerintahan Jokowi. Kebijakan ini pada dasarnya adalah usaha memisahkan asset inti, atau asset yang oleh kalangan pertamina menyebutnya sebagai asset operasional dari induk perusahaan. Dengan dipisahkan, maka asset itu dapat dikuasai atau dikontrol oleh swasta yang menjadi pemegang saham di anak perusahaan Pertamina tersebut.
Rencana subholding anak perusahaan Pertamina sebelumnya telah dimulai dengan menjadikan Pertamina Persero sebagai holding companies. Sebagaimana digambarkan dalam laporan PWC, september 2019, bahwa pada tahun 2018 lalu Pertamina telah menjadi perusahaan induk untuk BUMN Minyak dan Gas Bumi. Menyusul penerbitan PP 6/2018 dan penunjukan PT Pertamina (Persero) sebagai perusahaan holding milik negara untuk minyak dan gas.
Dimulai Dari Kasus PGN
Melalui PP tersebut, kepemilikan Pemerintah Indonesia di Perusahaan Gas Negara (PGN) dialihkan ke PT Pertamina (Persero) pada April 2018. Selanjutnya, PGN mengakuisisi 51% saham PT Pertamina Gas dari PT Pertamina (Persero) pada bulan Desember 2018.
Setelah akuisisi selesai, Pertamina dan PGN sepakat untuk mengintegrasikan dan merampingkan bisnis distribusi gas, yang sebelumnya dimiliki oleh PGN PT Pertamina Gas (Pertagas) anak perusahaan Pertamina. Pada Desember 2018, PGN mengakuisisi 51% saham pengendali Pertamina di Pertagas, dan menjadi entitas sub-holding untuk operasi gas.
Dokumen konsultan hukum swasta yang dipercaya menangani pebentukan holding ini menyebutkan, bahwa terbentuknya BUMN migas Indonesia merupakan sebuah kesepakatan yang bernilai U$ 4 miliar dollar. Menghasilkan pembentukan perusahaan induk milik negara terbesar di Indonesia.
Dikatakan bahwa prosesnya dilakukan melalui skema pengalihan saham Pemerintah Indonesia goIongan saham Kelas B di Perusahaan Gas Negara (PGN) dipindahkan ke Pertamina. Pemindahan ini menghasilkan tambahan U$ 2,7 miliar dollar atau setara dengan Rp. 38 triliun modal yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia di Pertamina.
Tahap berikutnya asset PT Pertamina Gas (Pertagas) milik Pertamina dialihkan ke PGN dengan harga beli U$ 1,35 miliar atau setara dengan Rp. 20 triliun. Kementerian BUMN menyimpulkan, partisipasi modal negara terbesar dalam sejarah Pemerintah Indonesia, berjumlah total Rp 58 triliun. Proses pat gulipat asset yang belum pernah dilakukan dalam sejarah migas di tanah air.
Kasus sub holding PGN membawa pada kesimpulan bahwa asset pertamina Pertagas telah dijual. Sebagaimana diketahui bahwa PGN adalah BUMN terbuka yang sebagian sahamnya dimiliki oleh swasta. Dengan diakuisinya saham PGN oleh Pertamina, maka pihak swasta yang ada dalam PGN menikmati suntikan dana dari Pertamina. Selanjutnya dengan beralihnya Pertagas, anak perusahaan Pertamina kepada PGN, maka ini swasta dalam PGN telah mengontrol dan menguasai asset distribusi gas terbesar di tanah air. Asset yang sangat vital karena menyangkut hajat hidup rakyat banyak.
Menular ke Anak Perusahaan Lainnya
Tidak banyak yang menyadari bahwa Pertamina holding compnies telah terbentuk sejak April 2018 lalu. Ketika Pertamina milik negara menerima 56,96% saham PGN senilai Rp. 38,1 triliun rupiah atau U$ 2,7 miliar dollar. Transaksi ini terjadi ketika Menteri BUMN masih dijabat Rini Soemarno. Sebab Rini yang menandatangani akta pengalihan kepemilikan.
“Dengan penandatanganan akta tersebut, berarti perusahaan induk minyak dan gas sekarang telah didirikan secara hukum," ujar Fajar Harry Sampurno, Deputi Menteri BUMBN bidang Industri Pertambangan dan Strategis kepada wartawan di Jakarta. Menjadikan Pertamina sebagai induk Holding, didasari diterbitkannya PP No. 6 Tahun 2018.
Pemerintah meresmikan pendirian sebuah perusahaan induk BUMN di sektor minyak dan gas. Menggabungkan bisnis PGN dengan Pertamina dan menunjuk Pertamina sebagai perusahaan induk BUMN yang melayani industri minyak dan gas. Pada bulan Februari 2018, Pertamina menjadi pemegang saham utama PGN, dengan mengakuisisi 56,97% saham Pemerintah yang dikuasai sementara, dengan PGN tetap menjadi perusahaan publik.
Berdasarkan peraturan tersebut, pemerintah mengintegrasikan perusahaan gas melalui skema penyerahan aset (inbreng). Tidak ada transfer tunai yang terlibat. Akibatnya, pemerintah dikecualikan dari proses tender untuk saham PT. PGN yang dimiliki oleh public. Padahal proses ternder dipersyaratkan oleh Peraturan Pasar Modal.
Kasus akuisi saham PT. PGN menjadi pintu masuk terbentuknya sub holding holding anak perusahaan Pertamina lainnya. Pertamina akan bertindak sebagai entitas induk dari perusahaan minyak & gas milik negara. Selanjutnya berdasarkan analisis para pengamat, sejak tahun 2018 lalu, Perusahaan induk akan terdiri dari empat sub kepemilikan (sub holding), yaitu, Hulu, Pemrosesan, Ritel dan Gas. Dengan demikian bukan hanya PT. PGN yang akan menjadi sub holding. Namun juga anak perusaan inti dalam seluruh rantai pasokan pertamina.
Jadi jelas, ini telah direncakan secara matang. Terbentuknya sub holding PGN+pertagas merupakan sukses story pemindahan asset yang sebelumnya dikontrol 100 persen oleh pertamina yakni Pertagas. Kini berada dibawah kontrol swasta yang menjadi pemegang saham di PT. PGN. Suksestory ini juga berarti pemerintah sukses menjual asset pertamina kepada pemegang saham swasta di PGN atau dapat dikatakan sukses menjual asset pertamina kepada swasta.
Benar Pertamina Dijual ?
Meskipun terjadi reshuffle Kabinet, dan menteri BUMN yang baru dalam Kabinet Jokowi jilid II, namun tampaknya rencana untuk memisahkan asset inti pertamina melalui sub holding terus saja berlanjut. Rencana ini tampaknya menjadi prioritas dari oligarki yang berkuasa saat ini. Asset pertamina diharapkan akan menjadi tempat bagi permainan para oligarki mengeruk keuantungan.
Rencana tersebut menjadi motivasi utama Menteri BUMN selaku penguasa Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan PT Pertamina (Persero) menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SK-198/MBU/06/2020 tanggal 12 Juni 2020 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas, dan Pengangkatan Anggota-anggota Direksi Perusahaan.
Melalui SK tersebut diatas ditetapkan beberapa hal. Misalnya, mengubah nomenklatur jabatan anggota-anggota Direksi PT Pertamina (Persero). Delapan direktur dalam organisasi pertamina sebelumnya dibubarkan. Selanjutnya digabungkan ke dalam tiga direktorat yakni, Direktur Penunjang Bisnis, Direktur Logistik & lnfrastruktur dan Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha.
Kebijakan Menteri BUMN ditindaklanjuti SK Direktur Utama Pertamina nomor Kpts-18/C00000/2020-S0, yang salah satu keputusanya adalah membentuk dan menetapkan bub holding anak perusahaan PT pertamina Persero yang terdiri dari sub holding upstream, sub holding refining dan petrochemical, subholding commercial and trading, sub holding gas, sub holding power and NRE, dan shipping co.
Pembentukan sub holding anak perusahaan inilah yang mejadi tujuan sebenarnya dari perubahan susunan organisasi Pertamina. Karena dengan terbentuknya sub holding, maka terbukalah peluang perusahaan untuk melantai di bursa saham, sebagaimana yang telah terjadi dengan PT. PGN.
Secara terbuka Menteri BUMN Erick Thohir melalui berbagai media menyatakan, target khusus yang dibebankan pada jajaran direksi baru Pertamina yaitu satu atau dua anak usaha Pertamina harus mampu melakukan Initial Public Offering (IPO) dalam dua tahun ke depan. "Ini ada KPI-nya, salah satunya dalam dua tahun harus go public. Harus ada yang IPO," ungkap Eric dalam Konferensi Pers, Jumat (12/6). Sehingga anak perusahaan lainnya sama seperti PGN sekarang.
Pernyataan menteri BUMN disambut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, yang mengatakan, nanti dua anak usaha dari dua sub holding akan dilepas ke lantai bursa. Dua anak usaha sub-holding ini nantinya membantu operasional sub-holding Pertamina. (Senin 15 Juni 2020 ).
Jadi, dalam periode kedua pemerintahan Jokowi ini akan terjadi perubahan yang yang mendasar. Tidak sebatas perubahan bentuk dan susunan organisasi Tertamina saja. Namun akan mengubah seluruh haluan usaha perminyakan di tanah air. Pertamina cepat atau lambat akan berbagai kekuasaan dengan swasta dalam seluruh rantai usaha mereka. Mulai dari hulu, pengolahan, ritel, hingga pasar keuangan.
Bukan hanya itu. Ini adalah memutar jarum sejarah kembali kepada pemisahaan atau unbundling usaha usaha migas. Padahal sejarah usaha migas Indonesia dan sejarah Pertamina adalah sejarah penyatuan dari serpihan- serpihan perusahaan minyak yang direbut dari tangan penjajah. Lebih dari itu, ini adalah sejarah perjuangan kemerdekaan yang berhasil merebut ladang ladang minyak, kilang-kilang minyak milik kolonial.
Sejarah ini tampaknya hanya akan tinggal kenangan. Karena aset asset tersebut akan segara jatuh ke tangan oligarki licik dan culas. Akan diabadikan bagi sebesar besarnya keuntungan, yang akan dibagikan pada pribadi dan golongan. Jika rencana ini terus berlanjut, maka akan menjadi proyek penjarahan asset negara yang paling bernilai. Yang nantinya akan menjadi sandaran keuangan bagi supremasi oligarki Indonesia. Paling tidak hingga Pemilu 2024 mendatang.
Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).