Susahnya Negarawan Yang Masih Berpolitik
Oleh Chazali H. Situmorang - Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS
SBY adalah Presiden Indonesia ke 6 yang berkuasa selama 10 tahun (2004-2014), dan saat ini sebagai Ketua Majelis Tinggi (MT) Partai Demokrat. Dalam struktur kepartaian Demokrat, posisi Ketua MT, sangat berkuasa penuh. Antara lain terkait pengusungan Presiden/Wakil Presiden dan kolaborasi dengan partai lain. Sebagai Wakil Ketua MT, adalah Ketua Umum Partai Demokrat AHY yang juga anak pertama SBY.
Megawati adalah Presiden Indonesia yang digantikan SBY. Megawati Ketua Umum PDI-P dan menempatkan dua anaknya dalam pengurus inti PDI-P. Seorang anaknya Puan Maharani sudah dipersiapkan betul untuk berkarier di politik dan pemerintah. Di DPR RI pernah sebagai Ketua Fraksi PDI-P. Dilanjutkan pada masa pemerintahan I Jokowi sebagai Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan. Periode kedua ini, sang Puan terpilih sebagai Ketua DPR-RI.
Megawati sebenarnya “berkeinginan” mencalonkan Mbak Puan Maharani sebagai Calon Presiden dari PDI-P tanpa berkoalisi dengan partai lain, karena suaranya cukup 20% di DPR. Tapi sang Ketum Banteng Moncong Putih itu mengurungkan niatnya, diduga elektabilitasnya tidak kunjung bertambah.
Diputuskan Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) sebagai calon Presiden. Seorang kader partai yang loyal. Ganjar elektabilitasnya lumayan bagus, dan juga awalnya digadang-gadang Jokowi.
Presiden Jokowi yang akan berakhir sebagai Presiden tahun depan, saat ini “menempatkan” anak pertamanya yang masih muda belia, Gibran, sebagai Wali Kota Solo, dan menantunya Bobby Nasution sebagai Walikota Medan. Medan sangat luas, banyak penduduknya dan mungkin baru kali ini dipimpin oleh anak muda, minim pengalaman politik dan pemerintahan, sama seperti iparnya, Gibran.
Kalau SBY dan Megawati mengawal dan memperjuangkan karier politik dan pemerintaham anaknya pada masa sudah tidak menjadi Presiden. Jokowi lebih maju selangkah lagi. Periode kedua Presiden sudah menempatkan anak dan menantu pada jabatan publik yang strategis, sebagai pusat kekuasaan di wilayah pemerintahan Kota.
Dari ketiga potret mantan Presiden dan Presiden yang diuraikan di atas, ada benang merah yang sama yakni menempatkan kepentingan keluarga, di atas kepentingan yang lain.
Posisi Presiden dan mantan Presiden itu, dalam sistem demokrasi Pancasila adalah seharusnya menjadi Negarawan, yang mampu mengarahkan dan mendorong para politisi dapat berpolitik dengan santun, egaliter, dan menjadi rujukan solusi setiap adanya gesekan antara oposisi dan pendukung pemerintah.
Kekecewaan SBY terhadap Surya Paloh dan Anies Baswedan kita dapat memahami dan memaklumi, sesuatu yang wajar dan bisa diterima akal sehat. Kekecewaan itu tentu tidak terlepas dari posisi SBY sebagai politisi yakni Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat dan juga orang tua dari Ketua Umum Partai Demokrat. Naluri seorang ayah muncul, melindungi anaknya.
Tetapi jika saat itu, SBY menempatkan dirinya sebagai Presiden ke 6 RI, negarawan yang cukup disegani pada masa pemerintahannya, tidaklah perlu sampai ke ruang publik tentang kekecewaan yang dilontarkannya. Apalagi ada lemparan isu yang akan menjadi penambah amunisi kegaduhan di ruang publik.
Penulis kutip lengkap isu dimaksud “Kita juga tahu seorang menteri, sekarang ini, menteri masih aktif dari kabinet kerja pimpinan Presiden Jokowi, secara intensif melakukan lobi, termasuk kepada Partai Demokrat dengan menawarkan mengajak membentuk koalisi yang baru, koalisi Demokrat, PKS, dan PPP. Yang bersangkutan mengatakan yang disampaikan itu, inisiatif ini sudah sepengetahuan Pak Lurah. Kata-kata sang menteri, bukan kata-kata saya," kata SBY saat memberi arahan dalam Sidang Majelis Tinggi Partai (MTP) Demokrat di kediaman pribadinya, Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat.
Apalagi mempublikasikan arahan Ketua Majelis Tinggi Partai secara terbuka kepada masyarakat, yang sebenarnya itu cukup konsumsi elite publik. Sudah dapat diduga Arahan SBY di forum Majelis Tinggi akan memicu dan memacu kondisi emosioal kader partai di tingkat akar rumput. Juga menjadi makanan empuk media televisi baik dalam berita dan forum dialog politik. Saya yakin SBY tidak bertujuan untuk itu.
Yang lebih seru lagi tudingan pengkhianat yang dialamatkan kepada Anies Baswedan. Menurut hemat penulis, tuduhan itu juga tidak santun dan tidak pantas. Riefky (fungsionaris Demokrat) menyatakan rentetan peristiwa tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kesepakatan Koalisi Perubahan. "Juga pengkhianatan terhadap apa yang telah disampaikan sendiri oleh capres Anies Baswedan, yang telah diberikan mandat untuk memimpin Koalisi Perubahan," kata Riefky.
Riefky mungkin lupa, dalam politik dan interaksi kepartaian itu tidak populer nomenklatur “pengkhianat” , “ingkar janji” atau “tidak setia”.
Di partai itu kesetiaan hanya diukur pada satu nomenklatur yakni ”kepentingan”. Partai didirikan jelas dengan satu kepentingan yakni untuk mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan didapat dalam suatu pemilihan umum. Yang menang Pemilu dialah yang memegang kekuasaan.
Demokrat seharusnya mengubah strategi. Ketua Umum AHY menjadi calon Wakil Presiden seharusnya ditempatkan pada target antara. Target utamanya adalah menaikkan suara Demokrat, menambah jumlah kursi Parlemen, dan memenangkan pemilihan Presiden. Jika mindset berpikir itu yang terbangun, maka Demokrat tidak perlu gaduh dan meradang. Lihatlah PKS, tentu mereka berpikir ke arah itu. Bergabungnya PKB dalam Koalisi Perubahan dan Persatuan akan meningkatkan lumbung suara di Jatim dan sebagian Jateng.
Jika AMIN (Anies dan Muhaimin) terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029, maka AHY akan diajak Presiden untuk mengisi kabinet dalam melaksanakan cita-cita perubahan dimaksud.
Oleh karena itu, berikan kesempatan AHY untuk menyelesaikan partainya, sebagai bentuk proses pembelajaran dalam dinamika politik. Biarkan ini menjadi urusan pengurus partai tidak sampai Majelis Tinggi turun gunung. AHY harus berani mengatakan kepada orang tuanya (SBY) "Bapak tenang saja. Persoalan ini bisa kami selesaikan di jajaran pengurus. Bagi saya tidak penting jadi atau tidak sebagai calon wapres, yang perlu kita berjuang untuk perubahan. Tidak ada gunanya kita heboh soal wapres, tapi kalah dalam Pemilu sehingga kandas untuk menuju perubahan”
Saya yakin jika AHY menyampaikan hal tersebut, SBY secara cepat atau lambat menyadarinya. Tugas AHY untuk menyediakan kanvas dan cat untuk melukis, supaya Pak SBY dapat menyalurkan dan meneruskan hobinya melukis, sehingga tetap sehat.
Cibubur, 4 September 2023. (*)