Tak Sembarang Anak Ingusan
Maka, kita tunggu saja bagaimana anak ingusan ini mendapatkan keistimewaan berikutnya, dan itu dimungkinkan jika kekuasaan masih ada dalam genggaman sang bapak.
Oleh: Ady Amar - Kolumnis
Anak ingusan lebih dimaknai sebagai anak kemarin sore. Bukan anak kecil yang meler keluar ingus dari hidungnya. Anak ingusan tidak serupa dengan anak bawang. Anak ingusan punya derajat lebih baik dari anak bawang, meski makna harfiahnya lebih jorok.
Anak ingusan bisa muncul dari mana saja. Bisa ada di setiap tempat dan waktu. Sedangkan anak bawang lebih sebagai anak dalam lingkup satu perkawanan dalam satu komunitas, yang kehadirannya tidak diperhitungkan. Mari kita bincangkan anak ingusan, yang kebetulan bermukim di Solo. Anak ingusan yang satu ini bukan seperti anak ingusan lainnya, yang seperti sering kita dengar. Tapi ini adalah Gibran Rakabuming Raka, yang dilabeli sebagai anak ingusan. Hari-hari ini jadi perbincangan hangat dan "menampar" wajah klan Jokowi.
Adalah Panda Nababan politisi senior PDIP yang menyebut-menjuluki Gibran sebagai anak ingusan. Padahal Gibran itu Wali Kota Solo, yang juga anak Presiden Joko Widodo (Jokowi). Karenanya, punya previlage tak pantas disebut anak ingusan. Semua dibuat ternganga, bagaimana saat Gibran ingin menjadi Wali Kota Solo, semua ketidakmungkinan bisa disingkirkan, dan ia terpilih sebagai Wali Kota Solo. Mengikuti jalur bapaknya dulu saat memulai langkah politiknya, yang juga dari kota Solo.
Menyebut Gibran anak ingusan, tentu tidak muncul begitu saja. Panda tidak asal ngomong. Sejatinya itu juga dirasakan banyak orang tentang Gibran, meski itu tidak dihitung bagian dari yang ikut meramaikan diskursus anak ingusan. Cukup Panda mampu mewakili suara publik yang merasakan perasaan serupa dengannya.
Panda Nababan pastilah punya dasar kuat menyebut Gibran sebagai "anak ingusan". Tentu itu bukan sikap ketidaksukaannya pada Gibran, dan atau pada Jokowi. Panda punya kedekatan dengan Jokowi teramat dekat. Panda itu bisa disebut pendukung Jokowi garis keras. Tapi kali ini Panda terpaksa mesti mengeluarkan kata yang suka tidak suka mengecilkan Gibran.
Panda seolah tak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti, bahwa ketidakmungkinan bisa menjadi mungkin jika itu menyangkut keinginan Gibran. Bahkan pasal konstitusi apa pun bisa diubah jika itu untuk kepentingannya. Mahkamah Konstitusi (MK) jadi tempat menguji, atau lebih tepat memuluskan keinginan yang menyangkut syarat menjadi presiden/wakil presiden, yang tadinya minimal 40 tahun, dibuat menjadi 35 tahun. Dibuat seolah menyesuaikan dengan usia Gibran yang baru 35 tahun.
MK memang lalu mengabulkan syarat minimal itu menjadi 35 tahun. Jangan coba-coba bertanya "nakal" tentang putusan MK tadi dengan misal, jika saat ini usia Gibran masih 30 tahun, apa MK juga akan memutuskan hal yang sama, dan itu lagi-lagi demi Gibran. Jika pertanyaan nakal itu pun mesti muncul, ya itu sah-sah saja ditanyakan. Keistimewaan (menjadi) seperti diberikan pada anak-anak Jokowi. Bukan cuma Gibran, tapi juga anak menantunya di Medan yang juga jadi Wali Kota. Sepertinya juga akan bersambung dengan anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, yang juga siap-siap maju sebagai Wali Kota Depok. Jika sudah demikian, apa yang bisa dilakukan kelompok oposan. Paling-paling cuma nesu, atau umpat caci maki di ruang hampa. Itu saja yang bisa dilakukan. Tapi setidaknya itu menjadi catatan untuk pada saatnya dimunculkan jadi akumulasi kekecewaan demi kekecewaan, dan itu sulit bisa digambarkan.
Kita lihat saja nanti apakah Gibran "anak ingusan" satu ini akan melompat lebih tinggi dari yang dilakukan bapaknya, Jokowi. Keduanya boleh diibaratkan adu prestasi antara anak dan bapak, cepat-cepatan menaiki tangga dengan cara tidak biasa. Jokowi setelah 2 periode sebagai Wali Kota Solo, lalu menjadi Gubernur DKI Jakarta, yang dicukupkan sekitar 2,5 tahun saja. Selanjutnya mengadu peruntungan sebagai Capres bersanding dengan Jusuf Kalla. Jalan takdir membawa Jokowi jadi presiden hingga 2 periode.
Jika MK sudah memberi jalan lempang pada Gibran, dan jika rumor yang beredar, bahwa ia akan bersanding sebagai Cawapresnya Prabowo Subianto, maka lompatan Gibran bisa dinilai lebih dahsyat dari bapaknya. Gibran tidak perlu berlama-lama sebagai Wali Kota Solo, apalagi sampai 2 periode. Tidak perlu pula mesti memasuki pintu sebagai Gubernur DKI Jakarta. Gibran bablas saja melompat menjadi orang nomor dua di republik ini. Dahsyat.
Patut diakui Presiden Jokowi berhasil mendidik putra-putranya, setidaknya anak dan anak menantunya mau mengikuti jalannya, jalan mulus yang diberikan selagi ia masih menjabat sebagai presiden. Dan, sang anak pun tidak merasa jengah dengan keistimewaan yang diberikan. Merasa itu hal yang wajar sebagai anak presiden. Klop.
Kaum oposan pastilah tidak sepakat dengan "pendidikan" ala Jokowi ini. Ketidaksepakatan yang bisa dipahami, bagaimana mungkin keistimewaan tak sepantasnya itu bisa terjadi di negara yang telah menetapkan sistem demokrasi, itu bisa disulap seperti layaknya negara dengan sistem monarki.
Di era Jokowi ketidakmungkinan bisa dibuat mungkin, bahkan apa yang tadinya terlarang tapi pada saat dibutuhkan itu bisa diperbolehkan. Soal ini banyak contoh bisa diberikan. Tapi baiklah kita fokus saja pada "anak ingusan" yang disematkan pada Gibran. Banyak pihak lalu menyebutnya sebagai aji mumpung. Mumpung sang bapak sedang berkuasa, maka keinginan apa pun dimungkinkan bisa didapatnya. Setidaknya kesan itu yang muncul dan jadi rasan-rasan massal munculnya nepotisme baru, setelah '98 lalu coba ditumbangkan oleh gerakan reformasi.
Tidak ada yang salah dari apa yang disampaikan Panda Nababan, yang sampai memunculkan penyematan anak ingusan pada Gibran, yang mulai digadang-gadang sebagai Cawapres bersama Prabowo Subianto. Panda menangkap diloloskannya oleh MK usia 35 tahun sebagai syarat minimal calon presiden/wakil presiden, itu upaya memuluskan langkah Gibran menjadi Cawapres. Itu pula yang dirasakan publik luas.
"Gibran anak ingusan kok, gimana? Nanti anak itu besar kepala, masih (mesti) belajar dululah," itu komen Panda Nababan yang disampaikan tanpa tedeng aling-aling, seperti tidak berperasaan.
Panda pun perlu menegaskan, bahwa ia tak setuju jika Gibran mesti maju sebagai Cawapres mendampingi Prabowo. Menurutnya, ide itu diusulkan semata agar Prabowo dapat dukungan Jokowi. Jika benar demikian, itu masuk kategori taktik jitu Prabowo memuluskan langkahnya. Maka, kita tunggu saja bagaimana anak ingusan ini mendapatkan keistimewaan berikutnya, dan itu dimungkinkan jika kekuasaan masih ada dalam genggaman sang bapak... Wallahu a'lam.**