Takdir dan Tebar Senyum Cak Imin, Kekuatan Tak Disangka-sangka

Oleh Ady Amar | Kolumnis

ANIES-Muhaimin (AMIN) pasangan serasi yang sedap dipandang mata, dan saling melengkapi. Keduanya sama-sama menonjol, tak ada yang berlebih di antara keduanya, kecuali kelebihan masing-masing yang saling menguatkan.

Muhaimin Iskandar, biasa dipanggil dengan Cak Imin, atau belakangan acap juga dipanggil dengan Gus Imin. Apa pun panggilannya, saya lebih suka memanggil dengan panggilan populernya, Cak Imin. Kepribadian Cak Imin itu unik. Asyik dinikmati untuk melihat keunikan tak biasa, tapi bisa mengundang kekaguman tersendiri.

Cak Imin menakhodai PKB, partai yang beririsan dengan Ormas Nahdlatul Ulama (NU) dalam waktu cukup lama. Boleh disebut dialah ketua umum terlama yang ada saat ini, sekitar 18 tahun. Mampu terus berselancar dengan segala problema yang dihadapi, baik internal maupun eksternal. Itu yang menjadikan Cak Imin punya kepribadian kuat dan teruji.

Cak Imin itu ketua umum partai yang bukan produk kaleng-kaleng, yang dihadirkan karena warisan orangtua. Atau sekadar menggantikan sang bapak yang uzur, seperti layaknya dinasti. Atau dilirik jadi ketua umum karena jabatan orangtua menempel, menjadikan sang anak mulus terpilih sebagai ketua umum, meski hanya lewat forum tidak biasa. Cukup dengan pertemuan kopi darat (kopdar) beberapa elit partai, dan lalu mengumumkan ketua umum barunya.

Cak Imin tampil selalu hangat. Tak lupa sambil tebar senyum saban waktu, bahkan kerap ngakak dengan mulut menganga lebar acap ia hadirkan. Sebuah sikap ekspresif hadir apa adanya. Tak lagi perdulikan imej yang mesti dijaga, khas kebanyakan pejabat yang hari-harinya dirawat untuk jaga imej (jaim) berlebihan, yang seperti jadi satu keharusan. Senyum pun mesti dikulum manis agar tampak berwibawa. Cak Imin membangun imej yang jauh dari sikap jaim. Memunculkan perangai humble , tampil dalam peran tak berjarak dengan siapa saja.

Sikap Cak Imin yang demikian, itu justru disalahpahami sebagai tampilan cengegesan tak menjual. Karenanya, tak dilirik ditempatkan di tempat terhormat. Bahkan hanya harapan "palsu" yang didapatnya. Adalah Prabowo Subianto, yang seakan memberi janji pada Cak Imin meski tersirat, sebagai cawapres dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya. Namun lebih dari setahun harapan itu tak berujung, sebagaimana yang diharap. Elektabilitas Cak Imin, memang jika mengacu pada rilis lembaga survei, itu rendah. Karenanya, dianggap tak layak bersanding dengan Prabowo. Meski awalnya sekadar ditimang-timang, karena bagaimana pun PKB-lah yang bisa membuat Prabowo mengikuti kontestasi Pilpres 2024.

Tapi setelah Prabowo seolah di- endorse Presiden Jokowi--memang belum pasti, tapi sepertinya Jokowi lebih memilih Prabowo ketimbang Ganjar Pranowo sebagai pelanjut takhtanya--maka PAN dan Golkar ikut merapat dalam koalisi, yang lalu berganti nama Koalisi Indonesia Maju. Cak Imin dan PKB seakan dicampakkan, bahkan mengganti nama koalisi pun tak berunding dengannya. Itu bisa dimaknai, bahwa Cak Imin dan PKB tak lagi dibutuhkan untuk menggenapi parliament threshold yang 20 persen. Karena itu sudah bisa dicukupi oleh Golkar dan PAN. Belakangan Partai Demokrat bergabung pula dalam Koalisi Indonesia Maju.

Takdir lalu menempatkan Cak Imin di tempat lain, justru berada pada posisi selayaknya. Posisi terhormat sebagai bakal calon presiden (bacawapres) dari Anies Baswedan. Bergabunglah PKB bersama NasDem, dan PKS. Maka, Cak Imin tak perlu waktu lama untuk menampakkan kekuatan "mengatrol" elektabilitas Anies di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dua wilayah yang dianggap sebagai kantong kaum nahdliyyin. Bahkan Jawa Timur dianggap wilayah yang paling menentukan kemenangan, atau justru kekalahan kandidat tertentu.

Anies-Muhaimin (AMIN) pasangan serasi yang sedap dipandang mata, dan saling melengkapi. Keduanya sama-sama menonjol, tak ada yang berlebih di antara keduanya, kecuali kelebihan masing-masing yang saling menguatkan. Namun satu hal bisa dilihat, "sinar" Cak Imin makin tampak benderang, itu saat dipertemukan dengan Anies. Sebelumnya tak ada yang melihat, bahwa Cak Imin punya kans untuk terang sebenderang saat ini.

Sebelum dipertemukan Anies, Cak Imin dipandang biasa-biasa saja. Bahkan aroma sentilan "kardus durian" acap dimunculkan meski ternyata tak terbukti, itu yang menjadikannya suram. Ditambah rilis lembaga survei yang meletakkan Cak Imin sebagai cawapres dengan tingkat keterpilihan rendah. Bisa jadi karena itulah Prabowo Subianto mesti mikir-mikir untuk menjadikannya sebagai cawapresnya.

Sebelumnya tak ada yang mampu menghitung kekuatan Cak Imin. Namun jika saja yang lalu Prabowo mengambil Cak Imin sebagai cawapresnya, itu pun belum tentu menjadikannya bersinar. Semua berpulang pada energi positif yang ditebar Anies, dan itu kekuatan yang sulit bisa dijelaskan, itu lebih pada kemistri keduanya, saat Anies-Muhaimin disandingkan.

Kita akan terus disuguhi "kekuatan" Cak Imin dalam memobilisasi massa, khususnya kader PKB. Lebih jauh dari itu untuk menggaet suara nahdliyyin memilih AMIN. Minggu (8/10), di Malang, Jawa Timur, dalam rangka Jalan Sehat. Cak Imin tampil hanya ditemani istri, tanpa Anies. Sambutan massa diperkirakan ratusan ribu. Hal itu sebelumnya belum pernah terjadi, sebagaimana penuturan seorang jurnalis senior asal Malang. Dan, itu membuktikan Cak Imin mampu mendatangkan jumlah massa tidak sedikit.

Tentu semua akan makin ngegas jika pasangan AMIN sudah resmi didaftarkan di KPU--rencana Anies-Muhaimin akan mendaftar resmi sebagai peserta Pilpres yang paling awal (19 Oktober)--agar ada kepastian sebagai peserta Pipres 2024.

Karenanya, manusia Cak Imin sinarnya akan terus bisa dilihat, bahkan layak untuk ditulis dalam episode-episode panjang berikutnya dalam membersamai Anies Baswedan. Membersamai dalam menghadirkan keadilan dalam berbagai aspeknya, dan kesetaraan. Kita lihat saja nanti.**

354

Related Post