Tendangan Politik Rocky Gerung: Game-Changer Perubahan?
Oleh Gde Siriana - Kandidat Doktor Ilmu Politik UNPAD dan Direktur Eksekutif INFUS
PEREBUTAN piala Community Shield di awal sesi Liga Inggris 2023-2024 menghadirkan bigmatch antara Manchester City dan Arsenal. Beberapa menit jelang tambahan waktu berakhir saat City unggul 1-0, 10 pemain City membentuk pertahanan kokoh di depan penjaga gawang mengawal ketat 5 pemain Arsenal. Sulit bagi Arsenal menciptakan peluang dengan bermanuver dan saling umpan di dalam kotak penalti. Bahkan menembak dari luar kotak penalti pun sepertinya akan mudah diantisipasi pertahanan belakang City. Apalagi City terus fokus dan disiplin, serta bermain tanpa kesalahan hingga jelang akhir permainan.
Piala pertama di awal sesi sudah terbayang di mata Guardiola, sang pelatih yang sudah memberikan berbagai trophy kepada klub. Tapi takdir ternyata hanya membutuhkan sebuah pantulan bola tak sengaja dari pemain City sendiri untuk Arsenal menyamakan skor dan kemudian akhirnya memenangkan adu penalty. Akhir pertandingan yang dramatis.
Peristiwa dramatis dalam sepakbola juga dapat terjadi dalam dunia politik. Game changer, yang menggambarkan sesuatu yang merubah permainan atau situasi politik dalam cara yang signifikan, dapat terjadi oleh aktor dan peristiwa yang barangkali tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Sebagai contoh di Russia, tentara bayaran Prigozhin -seorang oligark klasik yang banyak membiayai kekuasaan presiden Putin, yang mengepung Moskwa baru-baru ini barangkali akan mengubah konflik Russia-Ukraina yang sangat memberatkan ekonomi nasional Russia dan belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Prigozhin melegitimasi tindakannya mengepung Moskwa untuk “membersihkan Russia dari pejabat korup yang mengorbankan rakyatnya sendiri.” Apakah Prigozhin sungguh-sungguh ingin menumbangkan Putin atau penyerangannya hanya sebagai bentuk demonstrasi kelompok militer, tindakan Prigozhin akan sangat mempengaruhi peta kekuasaan di Kremlin di mana Putin menjadi penguasa tunggal dalam menjaga stabilitas politik Russia.
Di negeri kita, hari ini ucapan Rocky Gerung (Roger) di suatu diskusi telah memantik polemik tajam. Tendangan politik “Bajingan Tolol (Bajol)” Roger kepada presiden Jokowi ternyata memantul ke banyak pihak. Para pendukung presiden Jokowi mengerahkan semua lini di berbagai daerah untuk mengantisipasi arah tendangan bola Roger. Bahkan serangan balik dilakukan yang juga disertai aksi demonstrasi dan pelaporan ke ranah hukum. Roger telah mengklarifikasi atas kemarahan terhadap dirinya dan polemik yang muncul, tetapi Roger tetap bertahan pada argumentasinya bahwa kalimat itu memang untuk menghina presiden, bukan untuk pribadi Jokowi. Polemik pun berkembang menggeser substansi isu kebijakan pemerintah yang disampaikan Roger dalam diskusi menjadi persoalan pada pribadi Roger.
Dapat dipahami bahwa apa yang disampaikan Roger dapat sebagai wujud puncak kemarahannya atas kondisi negara dan masyarakat di era rezim pemerintahan Jokowi. Barangkali juga ini merupakan pikiran yang sama dari sebagian masyarakat yang kerapkali menyampaikan kritik kepada pemerintah. Benar atau tidak, legal atau illegal, prosedural atau tidak, dalam relasi negara dan masyarakat, pernyataan kemarahan masyarakat harus disikapi pemerintah dengan bijak. Dalam setiap relasi, konflik menjadi bagian yang tidak bisa dihindari, dan mengabaikan kemarahan akibat konflik berarti mengabaikan tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam hubungan tersebut.
Jika kita mau jujur, sesungguhnya masyarakat kita, bahkan masyarakat dunia, sudah terbiasa mengumpat penguasa atau pemerintah bilamana dianggap arogan dalam memimpin atau membuat kebijakan yang dirasakan memberatkan atau mengorbankan kepentingan bahkan nyawa masyarakat. Sebagai contoh, saat terjadi pandemi Covid-19 varian Delta maupun peristiwa stadion Kanjuruhan yang merenggut banyak jiwa orang-orang yang tak bersalah, banyak sekali umpatan dan makian masyarakat kepada pejabat-pejabat terkait muncul di media sosial.
Dalam kehidupan sehari-hai di pasar dan kedai kopi pun ada saja masyarakat yang mengumpat pejabat dalam obrolan seputar kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat dan negara, misalnya terkait dengan korupsi, nepotisme, dinasti politik, hingga perilaku arogan pejabat dan anak-anaknya. Jadi persoalan di sini adalah bahwa umpatan seorang Roger dianggap memiliki kekuatan dahsyat untuk menciptakan gol layaknya tendangan bebas Lionel Messi di luar kotak penalti. Dalam perspektif lain, tendangan politik Roger dianggap sebagai momen yang dapat dikapitalisasi oleh berbagai pihak yang pro maupun kontra menjadi game-changer jelang Pilpres 2024.
Beberapa bulan lagi pemerintahan Jokowi akan berakhir. Dalam perspektif power-game, berbagai kekuatan politik tidak akan menggantungkan masa depannya pada aktor atau sistem yang merupakan anti-tesa dari perubahan yang diinginkan banyak orang. Elit politik ingin menjadi game-changer atau setidaknya tetap survive manakala terjadi perubahan politik. Mereka akan berlomba menjadi poros kekuatan baru dengan segala sumber daya yang dimiliki. Kompetisi politik inilah barangkali dapat menjelaskan mengapa hingga hari ini elit politik sepertinya berada dalam posisi dead-lock mengenai pasangan kandidat dan koalisi partai pengusungnya.
Suka atau tidak, tendangan politik Roger telah memantul di kalangan pendukung presiden Jokowi, yaitu relawan, partai pendukung maupun pejabat lingkaran dalam presiden. KSP Moeldoko menegaskan jangan coba-coba mengganggu presiden. Tendangan politik KSP Moeldoko juga memantul di tokoh-tokoh oposisi. Pernyataan KSP Moeldoko dinilai tokoh oposisi Gatot Nurmantyo sebagai upaya menakut-nakuti rakyat. Tokoh Muhammdiyah Din Syamsuddin juga menanggapi bahwa pernyataan Moeldoko hanya ekspresi adu otot dan pamer kuasa. Hingga hariini kita belum tahu, apakah pantulan tendangan politik Roger akhirnya akan menciptakan gol bunuh diri ke gawang kekuasaan rezim Jokowi.
Barangkali Roger bisa saja dipenjara, tetapi dia telah menggelorakan kembali semangat perubahan dan menghentakkan kelompok oposisi untuk bangkit bertindak melawan kebijakan-kebijakan kontroversial di akhir rezim pemerintahan Jokowi . Dalam situasi demikian, Roger akan menjadi game-changer yang merubah situasi manakala mekanisme elit gagal memunculkan resolusi atas kepentingan-kepentingan mereka di Pilpres 2024, dan gagal dalam merepresentasikan pemilu yang demokratis, jujur dan adil.
Di luar itu semua, seharusnya tendangan politik Roger menyadarkan masyarakat akademis tentang gagasan besar. Esensi ilmu pengetahuan bukan hanya berpikir dalam kerangka benar atau salah, atau hanya memvalidasi fenomena yang muncul di masyarakat. Lebih dari itu masyarakat akademis harus selalu bersentuhan dengan gagasan, dan tidak abai pada peluang dan ancaman perubahan. Tugas kampus adalah mencetak para pemikir, dan tugas para pemikir adalah agar perubahan di masyarakat memiliki arah yang benar. Esensi tendangan politik Roger adalah perubahan. Dikehendaki atau tidak, didesign atau tidak, perubahan adalah keniscayaan. (*)