Ternyata "Teroris" Blackout Total Bernama Sengon
Ada perang cyber yang berlangsung senyap.
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior)
Jakarta, FNN - Apakah pemadaman total jaringan listrik PT PLN pada Minggu (4/8/2019) itu hanya semata ketidakbecusan manajemen PLN? Tidakkah ada yang berpikiran bahwa blackout total itu ada kaitannya dengan cyber crime untuk tujuan tertentu?
Misalnya, tujuan tertentu seperti politik atau ekonomi untuk menekan lawan politik, sehingga berbuah bargaining atau untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Wujud dari penekanan ini biasanya berupa “sabotase” politik dan/atau ekonomi.
Atau bisa juga koalisi keduanya: politik dan ekonomi. Seperti diungkap Direktur The Global Future Institute Prof. Hendrajit, blackout total yang dialami PLN itu pada perkembangannya membawa dampak sosial politik dan sosial ekonomi.
Naluri jurnalistiknya mengatakan, ada sesuatu yang berlangsung di balik blIackout total. Ada perang cyber yang berlangsung senyap? Siapapun yang mengandalkan teknologi komunikasi dan transportasi tiba-tiba lumpuh. Siapa paling dirugikan?
Hendrajit mengungkap fakta penting yang tak disorot media: Pertama, Blackout total terjadi ketika PLN sedang mengalami kekosongan kepemimpinan. Dirut PT PLN (Sofyan Baasyir) terjerat perkara hukum;
Kedua, Menkopolhukam Wiranto, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavia tidak berinisiatif membuat pernyataan melalui pers. Padahal, blackout total pada perkembangannya membawa dampak sosial politik dan sosial ekonomi;
Ketiga, Ketika semua alat komunikasi lumpuh akibat blackout, satu satunya alat komunikasi yang berfungsi adalah telpon satelit. “Sabtu 2 minggu lalu Mandiri diubek-ubek sistemnya sampai saldo nasabah kacau-balau,” ungkap Hendrajit.
“Sekarang ini sistem kelistrikannya. Siapa ya kira-kira penjahatnya?” lanjutnya. Di London blackout karena cyber attack ke pembangkit listrik, dan jadi sarana pemerasan oleh IT Mogul dari Silicon Valley untuk menguasai data negara-negara G12.
Gegara blackout total, Hendrajit sampai perlu baca buku karya Lawrance E. Joseph bertajuk Aftermath dan novel mantan Presiden AS Bill Clinton The Missing President.
Pada 2002 atau sebelumnya, National Academy of Sciences pernah memperingatkan bahwa ledakan matahari bisa memutus jaringan energi. Memaksa 100 juta penduduk Amerika hidup tanpa listrik. Tak ada telekomunikasi.
Tak ada bahan bakar. Tak ada air. Tak ada perbankan, tak ada penegakan hukum. Tak ada militer. Lawrance menulis buku ini pada 2002 untuk memprediksi skenario terburuk untuk Amerika menghadapi kiamat kecil pada 2012.
Sekaligus petunjuk buat mempersiapkan diri bertahan menghadapi kiamat 2012. Namun, saat Bill Clinton pensiun dari presiden pada 2000, rupanya punya kecemasan yang sama seperti Lawrance.
Bedanya Clinton, mungkin dengan menyerap pengalamannya waktu jadi presiden, memberi sudut pandang yang beda dengan Lawrance dalam menggambarkan skenario terburuk seperti digambarkan dalam buku Aftermath.
Dalam novel yang ditulis Clinton bersama James Peterson, berjudul The Missing President, penyebabnya bukan ledakan matahari yang berakibat memutus jaringan energi. Melainkan akibat kejahatan cyber. Cyber Crime.
“Mungkin saja itu yang terjadi di kita tadi, cyber crime yang berujung proyek, seperti yang sudah-sudah,” ungkap Hendrajit. Tawaran dari negeri seberang untuk “membantu” proyek pengadaan suplai listrik sehingga tidak terjadi lagi “pemadaman”.
Kabar adanya pemadaman aliran listrik akibat gangguan pada sejumlah pembangkit di Jawa datang dari I Made Suprateka, Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN, Minggu (4/8/2019).
PLN mohon maaf atas pemadaman yang terjadi akibat Gas Turbin 1-6 Suralaya mengalami trip, sementara Gas Turbin 7 saat ini dalam posisi mati (Off). Selain itu Pembangkit Listrik Tenaga Gas Turbin Cilegon juga mengalami gangguan atau trip.
Gangguan ini mengakibatkan aliran listrik di Jabodetabek mengalami pemadaman. “Kami mohon maaf sebesar-besarnya untuk pemadaman yang terjadi, saat ini upaya penormalan terus kami lakukan,” ungkap Made Suprateka.
Bahkan, katanya, beberapa Gardu Induk sudah mulai berhasil dilakukan penyalaan. Di Jabar, terjadinya gangguan pada Transmisi SUTET 500 kV mengakibatkan padamnya sejumlah area seperti Bandung, Bekasi, Cianjur, Cimahi, Cirebon, Garut, Karawang, Purwakarta, Majalaya, Sumedang, Tasikmalaya, Depok, Gunung Putri, Sukabumi, dan Bogor.
“Sekali lagi kami mohon maaf dan pengertian seluruh pelanggan yang terdampak akibat gangguan ini, kami berjanji akan melakukan dan mengerahkan upaya semaksimal mungkin untuk memperbaiki sistem agar listrik kembali normal,” tutur Made Suprateka.
Dari sisi perbaikan penyebab gangguan: sudah dilaksanakan pengamanan GSW yang putus, dan penyalaan kembali GT di Suralaya; akan dilaksanakan scanning assesment kondisi GSW yang se type; pengaturan beban dari UP2B untuk meminimalisir pemadaman.
Demikian penjelasan Made Suprateka menyusul blackout total aliran listrik tersebut. Presiden Joko Widodo sendiri langsung mendatangi Kantor Pusat PT PLN, Senin (5/8/2019). Presiden ingin mendengan langsung peristiwa pemadaman total Minggu (4/8/2019).
Menurutnya, dalam sebuah manajemen besar seperti PLN ini mestinya, ada tata kelola risiko-risiko yang dihadapi dengan manajemen besar tentu saja ada contingency plan, ada backup plan. “Kenapa itu tidak bekerja dengan cepat dan dengan baik?” ujarnya.
“Saya tahu peristiwa seperti ini pernah kejadian di tahun 2002, 17 tahun yang lalu, Jawa dan Bali. Mestinya itu bisa dipakai sebuah pelajaran kita bersama. Jangan sampai kejadian yang sudah pernah terjadi itu kembali terjadi lagi,” lanjut Presiden.
Di hadapan Presiden Jokowi, Plt Direktur Utama PT PLN (Persero) Sripeni Inten Cahyani mengakui proses penanganan listrik mati yang melanda sejumlah wilayah Jateng, Jabar, DKI Jakarta, hingga Banten berjalan lambat.
Listrik padam berlangsung hingga berjam-jam dan baru malam kembali menyala, meskipun belum menyeluruh. “Kami mohon maaf Pak prosesnya lambat, kami akui prosesnya lambat,” kata Sripeni kepada Presiden Jokowi.
Sripeni menjelaskan awal masalah terjadinya peristiwa mati listrik di sejumlah wilayah di Jateng, Jabar, DKI Jakarta, hingga Banten. Ia menyatakan terjadi masalah di Saluran Udara Tegangan Ektra Tinggi (SUTET) 500 kV Ungaran- Pemalang.
Ia mengatakan sistem kelistrikan di Jawa-Bali terdapat dua sistem, yaitu sistem utara dan selatan. Masing-masing dari sistem itu terdapat dua sirkuit atau jaringan, sehingga total ada empat jaringan. Menurutnya yang bermasalah pada jaringan utara.
“Jadi pada di utara, Ungaran, Pemalang pertama terjadi gangguan pada pukul 11.48 WIB, kemudian sirkuit, jadi terjadi gangguan, dua line terjadi gangguan,” lanjutnya. Penjelasan Sripeni terkait teknis pemadaman listrik pun sudah diungkap.
“Pertanyaan saya, tadi di penjelasannya panjang sekali. Pertanyaan saya Bapak/Ibu semuanya ini kan orang pintar-pintar apalagi urusan listrik sudah bertahun-tahun, apakah tidak dihitung, apakah tidak dikalkulasi bahwa akan ada kejadian-kejadian sehingga kita tahu sebelumnya.”
Tampaknya, Presiden Jokowi tidak puas dengan penjelasan Sripeni itu. “Kalau tahu-tahu drop gitu artinya pekerjaan-pekerjaan yang ada tidak dihitung, tidak dikalkulasi dan itu betul-betul merugikan kita semuanya,” tegasnya.
“Mohon izin menambahkan, Bapak. Tadi yang Bapak sampaikan mengenai kalkulasi, kami memiliki ketentuan Bapak, m-1, kemudian emergency-nya adalah m-1-1. M itu adalah jumlah sirkuit Bapak,” jawab Sripeni.
Dijelaskannya, di dalam sistem yang masuk tadi utara dan selatan tadi ada 2 sirkuit di utara dan 2 sirkuit di selatan, ada jumlahnya 4. Kemudian 2 hilang secara tiba-tiba, jadi menjadi m-2.
“Kemudian satu itu sudah ada pemeliharaan, jadi m-1 artinya pemeliharaan yang dibolehkan adalah 1, yaitu di selatan. Ini yang kami tidak antisipasi adalah terjadinya gangguan 2 sirkuit sekaligus,” lanjut Sripeni.
“Ini yang secara teknologi nanti kami akan investigasi lebih lanjut, Bapak, berkaitan dengan gangguan di satu tempat tersebut dan mudah-mudahan nanti inilah yang dari sisi keteknisan akan menjadi improvement ke depan,” tambah Sripeni.
Menurut Presiden Jokowi, yang paling penting perbaiki secepat-cepatnya yang memang dari beberapa wilayah yang belum hidup segera dikejar dengan cara apapun supaya segera bisa hidup kembali.
“Kemudian hal-hal yang menyebabkan peristiwa besar ini terjadi sekali lagi saya ulang jangan sampai kejadian lagi. Itu saja permintaan saya. Baiklah, terima kasih,” tegas Presiden Jokowi saat mengakhiri perbincangannya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigjend Pol Dedi Prasetyo tentang penyebab blackout total baru-baru ini. Dedi menyebut, pohon sengon di wilayah Ungaran sebagai penyebab pemadaman listrik secara massal itu.
Terkait kesimpulan tersebut, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani pun mengkritisi Mabes Polri. “Ya, saya malah ingin mengkritisi kesimpulan Mabes Polri yang terlalu cepat,” ujar Arsul Sani, Selasa (6/8/2019).
Sripeni membantah pernyataan Brigjen Dedi Prasetyo. Ia menegaskan, investigasi terhadap penyebab pemadaman listrik secara massal itu belum rampung. “Enggak, jadi kompleks. Sistem Jawa Bali itu sangat kompleks, rekan-rekan perlu pahami,” tegasnya.
“Ada 250 pembangkit, kemudian 5.500 gardu induk, 5.000 km sirkuit transmisi 500 kV dan 7.000 km transmisi 150 kV,” ungkap Sripeni seusai pertemuan dengan Komisi VII DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Menurut dia, penyebab pemadaman listrik secara massal tersebut bukan tunggal. “Jadi mohon izin, berikan kami waktu untuk melakukan investigasi dan assesment dengan menyeluruh,” tegas Sripeni, seperti dilansir berbagai media.
Jika ternyata penyebab blackout total tersebut memang pohon sengon, betapa mahalnya harga “teroris” ini: Rp 1 triliun!
***