Teror Eskavator, Perlawanan dari Sentul
Oleh Ady Amar *)
ESKAVATOR, setidaknya tampak dua unit, nongkrong tidak lebih 50 meter dari tempat tinggal Rocky Gerung. Somasi 7×24 jam dari pengembang PT Sentul City, Tbk (SC) untuk mengosongkan rumah yang ditinggalinya sejak 2009, yang ia beli dari pemilik sebelumnya, itu tidak menyiutkan nyalinya.
RG masih bisa terima kawan-kawan yang berempati padanya, masih bisa tertawa-tawa lepas dengan canda cerdasnya. Seolah teror eskavator dari SC itu cuma hal kecil saja, seperti nyamuk yang mengiang di telinga saat menjelang tidur. Itu bukan sesuatu yang menakutkan buatnya.
Eskavator yang dikirim SC buatnya itu hal kecil yang tidak akan sampai mengganggu waktunya untuk tetap bersikap kritis. Kenekatan SC melawan RG itu memang mencengangkan. Tentu orang lalu menganggap, nekatnya itu pasti tidak berdiri sendiri, pasti punya backing orang super kuat di belakangnya. Tanpa itu mustahil teror eskavator itu berani dilakukan.
Memakai teror eskavator pada RG itu bukanlah langkah tepat. Tidak semua bisa diperlakukan dengan "semena-mena", menggusur hanya berdasar status tanah yang diada-adakan. RG berujar, ini bukan hanya masalahnya saja, tapi juga masalah 90 KK (6.000 orang), yang juga akan digusur, padahal di antara mereka ada yang sudah menempati tanah itu sejak tahun '60-an.
Lanjutnya, jika hanya ia sendiri yang digusur tidak masalah, tapi tidak pada 90 KK/6.000 orang tadi yang harus digusur. Jika RG yang digusur, buatnya itu tidak masalah. Pastilah ia tidak sampai harus terlunta-lunta seperti orang kebanyakan yang tidak punya kekuatan tawar. Subhanallah muncul banyak tawaran rumah buatnya, dari banyak pihak, bahkan dari orang yang tidak dikenalnya. Konon sudah ada 37 tawaran rumah untuk ditempatinya, sesukanya tanpa batas waktu, dan 4 apartemen mewah.
Bagaimana dengan 90 KK/6.000 orang itu jika harus digusur, semacam penggusuran di tempat-tempat lain oleh para pengembang besar, yang mudah mendapatkan izin penggunaan tanah melawan orang kecil yang mendiami tanah tanpa secarik kertas Hak Guna Bangunan (HGB). Menempati tanah warisan berpuluh tahun lalu itu tidak cukup kuat untuk melawan kekuatan hukum yang didapat para pengembang dengan begitu mudahnya.
Kali ini SC menemui lawan berat. Lawan tidak main-main, yang gemanya tidak cuma di Bojong Koneng, kawasan Sentul, tapi menyeruak tidak saja di tingkat nasional, tapi akan tersiar ke manca negara. Dan semua akan melihatnya tidak semata masalah hak atas sebidang tanah, tapi sifatnya lebih pada politik.
Kasus RG ini bisa membuka kotak pandora persoalan tanah berjuta hektar yang hanya dikuasai segelintir orang. Bahkan ada satu pengusaha menguasai tanah perkebunan sampai 5,2 juta hektar. Apa gak koplak ini. Sedang lebih dari seratus juta warga tidak memiliki tanah meski hanya belasan meter persegi saja. Kasus RG versus SC, sepertinya sudah diatur Tuhan untuk mengoreksi ketidakadilan berkenaan dengan kepemilikan tanah.
Jika eskavator benar-benar nekat bergerak meratakan rumah yang didiami RG itu, dan tentu yang didiami 90 KK/6.000 warga yang ada di sekitarnya. Sungguh miris melihat rumah sederhana, yang di dalamnya mengoleksi beribu buku, dan hutan kecil hasil reservasi selama bertahun, dengan berbagai pohon terutama pinus yang menjulang tinggi menggapai langit, anggrek dan lainnya, burung-burung dan makhluk hidup lain yang hidup di sana bersamanya. Termasuk monyet-monyet liar yang datang dari sekitarnya, yang dijamunya dengan hidangan pisang. Setiap 2 hari sekali 2 tandan pisang digantungnya untuk konsumsi monyet-monyet itu. Dengan akan diratakannya dengan tanah, jika SC tetap nekat, maka semua makhluk hidup di sana akan musnah, terutama pohon-pohon dan bunga yang ditanamnya.
Perlawanan dari Sentul
Tanah yang dikuasai RG itu cuma 800 meter persegi. Rumahnya kecil saja, hanya ada satu kamar tidur, ruang tamu dan dapur, sedang lainnya ia konservasi layaknya hutan kecil. Dan itu untuk menghindari longsor, karena posisinya di lereng yang punya tingkat kemiringan cukup ekstrem.
Tanah yang terbilang kecil itu, diklaim SC sebagai tanah miliknya. Itu berdasar sertifikat HGB yang dimilikinya. Tidak persis tahu sertifikat HGB itu keluar tahun berapa, yang itu sudah dianggap mampu menggusur tanah rakyat yang didiami puluhan tahun.
Kasus RG versus SC ini menjadi menarik, karena mampu mengungkap persoalan tanah yang cuma dikuasai beberapa gelintir taipan. Adalah Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengungkap bahwa 68 persen tanah Indonesia dikuasai perorangan dan kelompok pengusaha.
Angka itu memperlihatkan ketimpangan penguasaan lahan terburuk sejak Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 5/90 disahkan.
"Saat ini indeks ketimpangan penguasaan tanah sudah mencapai ketimpangan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kita, 1 persen pengusaha atau badan usaha menguasai 68 persen aset tanah nasional," ujar Dewi.
Dan katanya pula, KPA mencatat, bahwa konflik Agraria meningkat tajam di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Tercatat, ada 2.291 konflik Agraria, selama 2015, hampir dua kali lipat dibandingkan 10 tahun era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sebanyak 1.770.
Perlu diingat, jabatan Presiden Jokowi, pada periode ke-2 nya baru berjalan dua tahun. Tersisa tiga tahun lagi, yang bisa jadi konflik yang terjadi jumlahnya akan bertambah.
Akankah perseteruan RG versus SC akan berkepanjangan, yang itu tidak mustahil akan memantik perlawanan dengan eskalasi yang lebih besar, yang itu dimulai dari Sentul. Masalah RG bisa menjadi perlawanan rakyat, menunggu momentum yang pas. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dirasakan rakyat, itu jalan masuk untuk membersamai RG dan 90 KK/6.000 orang untuk membela haknya... Wallahu a'lam. (*)
*) Kolumnis