Tidak Pernah Solid, Suara NU tak Boleh Diremehkan
Beberapa "oknum politisi" sering memainkan emosi warga NU dengan mengangkat isu-isu yang sensitif semacam ini. Misalnya: "dia Wahabi, dia nggak qunut, dia anti ziarah kubur, dan sederet lainnya". Setiap pemilu, isu ini suka ada yang mengangkatnya. Bagi warga NU, terutama di pelosok-pelosok desa, ini bisa berpengaruh sangat kuat pada pilihan politik.
By Tony Rosyid
Jakarta, (FNN) - SEJAK 1984, NU (Nahdlatul Ulama) kembali ke Khittah. Artinya, tidak terlibat lagi dalam politik praktis. Meski demikian, secara struktural, NU selalu digoda dan ditarik-tarik ke politik praktis.
Dalam konteks Khittah, banyak yang menilai, PBNU dianggap kurang tegas. Banyak aktor struktural yang bermain mata dan terang-terangan terlibat dalam politik praktis. Terutama dalam proses pemilu. Kepada mereka, tidak ada teguran atau saksi organisatoris.
Akan tetapi, inilah khas dan keunikan NU. Ikatan dan solidaritas sosial berbasis kulturalnya yang lebih kental.
NU adalah organisasi terbesar di Indonesia. Jumlah anggotanya sekitar 108 juta atau 49,5 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah tersebut berarti 87,8 persen dari total jumlah umat Islam di tanah air. Termasuk diantaranya adalah aktifis eks FPI (Front Pembela Islam). Apakah mereka semua punya keanggotaan resmi organisasi? Tentu tidak.
Secara politik, massa NU sangat cair. Tidak satu komando. Ribuan hingga jutaan ulama, masing-masing punya pengaruh. Termasuk dalam urusan politik.
Gus Dur (alm) punya pengaruh, K.H. Maemoen Zubair (alm) punya pengaruh, Habib Luthfi punya pengaruh, Ustaz Abdussomad punya pengaruh, begitu juga ulama-ulama yang lain. Mereka semua yang masuk ulama NU.
Sebagian berafiliasi ke PKB, sebagian ke PPP, dan ada yang pilih PKS. Ke partai-partai lain juga ada. Maka, PKB yang diklaim sebagai partainya wong NU, tidak sepenuhnya dipilih oleh warga NU.
Perolehan suara PKB di Pemilu 2019 hanya 13.570.097 (9,69 %). Ini bukti, warga NU dalam urusan politik sangat heterogen. Maksudnya: tidak solid.
Apakah ini karena faktor NU telah kembali ke Khittah? Tidak juga. Sebab, tahun 1955, partai NU juga tidak menang dalam pemilu. Hanya mendapatkan suara 6.989.333. Ini lebih disebabkan karena ikatan solidaritas dan emosional warga NU itu bersifat kultural. Tidak dalam komando struktural. Konsekuensinya, banyak tokoh yang masing-masing menggunakan pengaruhnya, baik secara lokal maupun nasional, terkait dengan urusan politik praktis.
Akab tetapi satu hal, jangan pernah membuat tersinggung warga NU. Baik menyinggung organisasinya, ajarannya, ritualnya, atau tokohnya. Sekali Anda masuk dalam isu itu, kelar! Ini wilayah sakral dan sangat sensitif. Untuk empat isu ini, warga NU kompak.
Partai dan para politisi sudah sangat memahami hal tersebut. Kalau tidak, ini akan jadi resistensi cukup berarti dalam relasi sosial dan politik.
Beberapa "oknum politisi" sering memainkan emosi warga NU dengan mengangkat isu-isu yang sensitif semacam ini. Misalnya: "dia Wahabi, dia nggak qunut, dia anti ziarah kubur, dan sederet lainnya". Setiap pemilu, isu ini suka ada yang mengangkatnya. Bagi warga NU, terutama di pelosok-pelosok desa, ini bisa berpengaruh sangat kuat pada pilihan politik.
Cairnya suara NU itu hal yang berbanding lurus dengan semangat Khittah. Hanya saja, godaan berpolitik praktis di struktural mesti dikendalikan, bila perlu ditertibkan. Ini bagian dari bentuk komitmen Khittah. Di samping permainan isu sensitif bagi warga NU yang semestinya dihindari, supaya tidak ada yang berselancar dan mengambil keuntungan dari isu ini. Sekaligus ini penting sebagai upaya menjaga hubungan baik dengan ormas dan kelompok di luar NU. Menjaga stabilitas ukhuwah kebangsaan dan memelihara keutuhan NKRI. **
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.