TRITURA 23: (2) Bagi Pribumi yang Tidak Sontoloyo, PEMILU dan PILPRES Bukan Segala-galanya

Oleh Sri-Bintang Pamungkas | Politisi Senior

ORANG bisa berkilah apa saja dengan mengatasnamakan Daulat Rakyat sebagai pembenaran keharusan melaksanakan Pemilihan Umum atau Pemungutan Suara Rakyat. Tapi banyak kenyataan menunjukkan bahwa adanya Pemungutan Suara tidak mengakibatkan Rakyat bertambah sejahtera. Bahkan sebaliknya, menjadi semakin sengsara. Apa pun alasannya, itu terjadi di mana-mana di dunia, sebagai negara-negara yang menyatakan dukungannya kepada Daulat Rakyat.

Di negara-negara kerajaan yang tidak mengenal "demokrasi" (Daulat Rakyat) ataupun "konstitusi" (Negara Hukum), rakyat dan bangsanya bisa hidup sejahtera dengan adil dan makmur seperti pernah kita alami di zaman Sriwijaya dan Majapahit, tentu dengan segala pasang-surutnya. Tentu juga tidak bisa diabaikan apa yang terjadi di Mesir semasa Firaun di satu pihak, dan semasa Nabi Yusuf di lain pihak.

Di satu pihak kita melihat bagaimana manusia berbondong-bondong mempertaruhkan jiwa dan raganya dengan mengarungi lautan luas, jalan yang terjal serta kawat berduri, bahkan peluru dari senjata api, untuk mencapai tanah harapan di Eropa dan Amerika Serikat yang konon adalah negara-negara demokratis. Mereka dengan segala keterpaksaannya meninggalkan derita di tanah-airnya di Asia, Afrika dan Amerika Latin yang terbukti tidak memberikan harapan hidup.

Di lain pihak kita juga tahu, bagaimana para negara kolonialis yabg bertopeng demokrasi dan konstitusi tersebut mencapai kesejahteraannya melalui perang dan penjajahan pada masa lalu. Mereka mendapatkan pemimpin-pemimpin yang "cakap" lewat pemungutan suara, setelah bertahun-tahun bergelimang "dengan darah dan besi" (durch blut und eisen, kata Bismarck dalam Perang Dunia-2 mengulangi orang-orang Portugis ketika menjajah Maluku pada 1500-an), sebagai alat kampanye untuk menjajahi rakyat di benua lain. Bahkan sampai sekarang dengan kehadiran ribuan tentara NATO di mana-mana di Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Memang belum nyaman betul sepuluh tahun sesudah kita merdeka, dan baru mencoba-coba dan meniru-niru melakukan Pemilu pada 1955, sebagai sebuah "budaya politik" baru yang diimpor juga dari para penjajah. Para mantan penjajah itu juga yang menyampaikan pendapatnya, bahwa Pemilu 55 itu adalah yang "terbaik sepanjang sejarah Indonesia". Tentu yang dimaksud adalah almost "semua bisa menyampaikan suara" dan almost "tidak ada kecurangan". Tetapi Pemilu yang "parlementer" seperti yang dipakai para mantan penjajah dari Eropa itu pun tidak menghasilkan apa-apa, bahkan gagal menyusun konstitusi baru dan kemudian kita kembali memberlakukan UUD Asli 1945 pada 5 Juli 1959 kembali kepada jati diri kita sendiri.

UUD Asli buatan Republik Proklamasi 45 itu menjelaskan kepada kita adanya negara berkedaulatan rakyat dan sekaligus negara hukum. Akan tetapi tidak ada satu kata pun tentang Pemilu disebut-sebut. Tidak pula ada satu kata partai politik. Tentulah itu tidak berarti NKRI melarang Pemilu dan melarang partai politik. Pasal 28 UUD 45 asli sudah jelas menyatakan itu sebagai hak-hak asasi, bahkan sebelum ada Deklarasi Human Rights PBB.

Melainkan, bahwa partai politik dan Pemilu itu bisa sewaktu-waktu diadakan dan tidak mesti wajib dilakukan apalagi dilakukan secara regular. Tentu saja, kecuali sudah ditentukan begitu dalam Undang-undang. Sekalipun begitu, Undang-undang tentang partai politik dan Pemilu itu pun bisa dicabut dan diubah sewaktu-waktu.

Rezim Soeharto adalah rezim pertama yang memulai kerusakan dalam menjalankan negara. Janjinya melaksanakan UUD 45 secara murni dan konsekwen ternyata sebuah kebohongan besar terhadap rakyat, bangsa dan negara. Para wakil rakyat "dicekik" dan "ditamparinya", sehingga MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara berada di ketiaknya.

Dia mainkan MPR, sehingga bisa terpilih menjadi Orang Nomor 1 berkali-kali sebagai calon tunggal. Dibuatnya pula sedemikian rupa, sehingga alat negara bersenjata boleh membunuh rakyat dengan alasan demi keamanan dan stabilitas. Akhirnya dia pun jatuh karena ulahnya sendiri, tanpa meninggalkan secuilpun kesejahteraan kepada rakyat banyak.Melainkan berbagai kerusakan perilaku yang hanya bisa dicontoh oleh para penjahat, yaitu, rezim-rezim selanjutnya: korupsinya, utang-utangnya, sumberdaya alamnya, Hak Guna Usaha Lahan-nya, KKN-nya, Kelahiran Cina-cina Konglomeratnya, dan ... Kecurangannya dalam Pemilu.

Karena kecurangan Soeharto dalam Pemilu-pemilu itulah, maka dia dicap sebagai Diktator Negara Kekuasaan. Oleh Asing dan Aseng, serta para Pengkhianat Domestik yang bermaksud menguasai Indonesia, Negara Kekuasaan Soeharto itu dijadikan alasan untuk mengubah UUD 45 ASLI menjadi UUD PALSU... yang sekarang berlaku. Dimasukkanlah Paham Demokrasi Barat dengan Kekuasaan ada di tangan para Oligarki yang berlindung di balik Partai-partai Politik dan Pemilu. Maka Pemilu menjadi Wajib sekalipun dicurangi... Dan Daulat Partai Politik menggantikan Daulat Rakyat. Para Guru Besar saja tidak sadar, bahwa itulah yang terjadi... Apalagi para Pribumi Sontoloyo... 

Maka dimulailah babak NKRI yang Baru, yaitu NKRI yang dikuasai para Penjahar Asing, Aseng dan Pengkhianat Domestik... dan dihuni oleh para Pribumi Sontoloyo. Seperti manusia-manusia yang dinina-bobokkan oleh Paham Demokrasi Barat dan Konstitusi Palsu, mereka masih menganggap Indonesia ada dalam keadaan baik-baik saja.

Ketika orang-orang Cina menggusur tanah-tanah Rakyat, mereka berujar "nanti akan diperbaiki lewat Pemilu"... Ketika Angkatan bersenjata ikut menyiksa Rakyat, mereka bilang keadaan akan berubah setelah Pemilu... Ketika Utang Luar Negeri menggurita, mereka mengira Pemimpin Hasil Pemilu akan bisa menutup Utang-utang itu... Ketika PKI Gaya Baru merajalela, mereka tidak mengira bahwa paham Komunis telah merasuki jiwa mereka sendiri, sehingga tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak sadar sedang ikut menarikan genderang rezim UUD PALSU.

Tapi tak ada kejahatan yang bisa menandingi kejahatan Rezim Jokowi. Firaun pun tidak mengundang Tentara Asing untuk mencederai dan menyiksa Rakyatnya sendiri... Tetapi Rezim Jokowi mengundang Bangsa Asing untuk mengambil-alih Indonesia.... sebuah Kejahatan Yang Amat Dahsyat. Dan Rezim ini pun mau menyelenggarakan Pemilu demi kemenangan Asing dan Aseng... dan demi mengelabuhi Rakyat... Seakan-akan Pemilu dan Pemimpin Baru yang terpilih lewat UUD PALSU nanti akan menyelesaikan semua persoalan Rakyat, Bangsa dan Negara... Tidak mungkin Pemilu yang diselenggarakan Penjahat akan menghasilkan manfaat... Apalagi sudah diketahui para Calonnya adalah Boneka Rezim dan Boneka Asing dan Aseng... para pendukung UUD PALSU.

Para Pribumi Sontoloyo itu tidak sadar, bahwa Allah Swt sedang menjatuhkan Adzab dengan mengirim Rezim yang lebih jahat daripada Rezim Firaun yang juga dikelilingi oleh para Oligar seperti Haman dan Qarun... Tentunya lebih banyak Pribumi yang Tidak Sontoloyo dan memilih TIDAK IKUT PEMILU... Hanya saja mereka takut... melebihi takutnya kepada Allah!

Jakarta, Hari Maulid 2023. (*)

349

Related Post