Tujuh Tantangan Besar Indonesia 2023: Demokrasi Harus Diselamatkan (Catatan Akhir Tahun ke-1)
Demokrasi juga adalah sebuah kepemimpinan yang seharusnya menghormati pemimpinnya, namun memastikan tidak adanya feodalisme kepemimpinan yang menjadikan pemimpin sebagai “Man Can Do No Wrong”.
Oleh: DR. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
MENJELANG akhir tahun ini kita dihantui oleh berbagai ketakutan untuk bangkit sebagai bangsa beradab. Ketakutan ini beralasan, sebab sampai saat ini, misalnya, kepastian tentang tegaknya konstitusi kita begitu rentan dari peremehan, baik dari pemimpin lembaga tinggi negara, pejabat negara maupun organisasi massa yang dimobilisasi penguasa.
Ini terkait dengan kepastian pemilu yang sudah diatur oleh UUD 1945, namun dilanggar sendiri oleh mereka yang ingin tetap mempertahankan Joko Widodo sebagai Presiden, baik dengan perpanjangan maupun tambah satu periode lagi.
Ketakutan lainnya adalah ketimpangan sosial antar daerah dan antara lapisan masyarakat, yang juga disertai kemiskinan. Ketika pandemi Covid-19 terjadi, negara sibuk menyelamatkan kekayaan orang-orang kaya.
Restrukturisasi hutang orang-orang kaya di era pandemi, misalnya, ingin menyelamatkan performance bank dengan NPL (Non Performing Loan) yang dikendalikan normal, namun resiko bank akan parah pada waktunya akibat utang nasabah akan terus membesar nantinya.
Dalam hal demokrasi dan kebebasan sipil kita dihantui dengan UU KUHP yang kurang beradab. PBB telah mengkritik 7 pasal yang anti demokrasi dan feodal. Jikalau aparat Kepolisian seperti Satgassus tak hilang dari muka bumi, maka UU KUHP itu akan menjadi legitimasi aparat menangkap sebanyak-banyaknya musuh politik penguasa.
Banyak hal yang menjadi tantangan ke depan. Kita akan menguraikannya dalam 7 tulisan secara berseri, yakni 1) Demokrasi Harus Diselamatkan; 2) Ketimpangan sosial dan Kemiskinan; 3) Kepemimpinan Ideal; 4) Agenda Anti Korupsi; 5) Anti Islamophobia; 6) Kedaulatan Bangsa dan Geopolitik; 7. Persatuan Nasional.
Kita mulai dari seri ke-1,
1. Demokrasi Harus Diselamatkan
Demokrasi harus diselamatkan. Apakah itu? Menyelamatkan demokrasi mengandung beberapa hal yang wajib dilakukan oleh sebuah negara. Pertama, pelaksanaan pemilu secara periodik, jujur dan adil serta tepat waktu. Kedua, mengembalikan fungsi parlemen sebagai kontrol terhadap eksekutif. Ketiga memastikan berfungsinya kebebasan sipil.
Pelaksanaan pemilu tepat waktu secara periodik 5 tahunan diperlukan untuk menghasilkan adanya kepemimpinan baru pada eksekutif maupun legislatif. Konstitusi kita mengatur secara tegas hal itu dan membatasi masa jabatan presiden hanya boleh dua kali saja.
Namun, sebagaimana kita ketahui belakangan ini ada berbagai upaya dari kelompok-kelompok anti demokrasi berusaha melumpuhkan rencana pemilu dengan berbagai usulan perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi, maupun isu dukungan Jokowi 3 periode.
Kelompok ini bukanlah kelompok kecil, sebab juga menyangkut keterlibatan berbagai pimpinan lembaga negara maupun anggota kabinet serta ketua partai politik yang terhubung dengan kekuasaan Jokowi atau bahkan Jokowi sendiri. Bahkan, apalagi terakhir ini ramai diberitakan bahwa KPU sebagai institusi penyelenggara pemilu, mulai terlibat dalam melakukan kecurangan ketika verifikasi parpol peserta pemilu.
Menyelamatkan demokrasi dalam kaitan kepastian pemilu merupakan keharusan bagi Indonesia yang kultur feodalisme masih berakar kuat pada budaya masyarakat kita. Kultur ini cenderung memberikan ruang pada pengkultusan individu pemimpin dan pada akhirnya membuka peluang munculnya tiran dalam kepemimpinan negara.
Kita sudah menyaksikan Sukarno dan Suharto menjadi presiden yang telah menjelma menjadi tiran, dengan menyatakan diri sebagai “bapak” rakyat dan bapak pembangunan, dan atas legitimasi itu, kemudian menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara kejam.
Fenomena pengkultusan akan terus berulang jika pembatasan masa jabatan presiden ini tidak dilakukan. Misalnya yang terbaru, kita melihat berbagai media memberitakan pernyataan Ketua Umum Projo, relawan pendukung Jokowi, yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia Timur mendukung Jokowi jadi presiden seumur hidup.
Pernyataan ini bahkan terjadi ketika Jokowi baru-baru ini sudah memberikan pengarahan terkait pemilu kepada KPU dan Bawaslu, pernyataan Menko Polhukam terkait kepastian jadwal pemilu di depan CEO Forum di Istana dan bahkan ketika Menkeu Sri Mulyani merilis berita negara telah memberikan rumah bagi Jokowi sebagai hadiah purna presiden nantinya 2024.
Feodalisme bukan saja terjadi karena sang presiden, tapi ini juga sangat dipengaruhi kepentingan pribadi orang-orang di sekitarnya, serta tentu para penjilat. Selain mencegah feodalisme dan neo-feodalisme (keinginan diakui seperti raja baru), demokrasi sesungguhnya merupakan warisan mayoritas wilayah-wilayah Indonesia ketika masa kolonial. Meskipun demokrasi di sini lebih bercorak pada ajaran Islam yang mengharamkan pengkultusan individu dan juga bercorak egalitarian.
Dalam kaitan parlemen, kita sudah menyaksikan dalam era kepemimpinan Jokowi mayoritas anggota DPR bekerjasama dengan pemerintah, jika tidak ingin disebutkan “di bawah ketiak pemerintah” dalam pembuatan UU yang krusial bagi nasib negara dan rakyat.
Seperti UU Omnibus Law Ketenagakerjaan, UU Minerba, UU KPK, UU Pemilu, UU KUHP, dan banyak lainnya. Umpamanya, UU OBL Ketenagakerjaan yang amburadul, dikerjakan dalam waktu singkat, menunjukkan DPR tidak pernah serius melihat titik-titik lemah UU tersebut.
Faktanya, UU itu kemudian dinyatakan melanggar konsitusi UUD 1945 oleh MK. Padahal, rakyat semesta telah melakukan aksi protes dengan skala besar-besaran untuk menolak sejak awalnya. Demikian pula UU Pemilu yang begitu buruk, yakni menyangkut pembatasan PT 20% (Presidential Threshold) yang terlalu tinggi, serta pilpres yang ditentukan oleh suara rakyat yang pemilihnya di masa 5 tahun lalu.
Di seluruh dunia, pemilihan umum justru diperlukan untuk mengetahui keinginan rakyatnya menentukan presiden bersifat langsung dan kekinian, bukan seperti di sini, penentuan presiden ditentukan oleh suara pembentuk PT 20% dari pemilih Jokowi dan Prabowo dulu.
Revisi DPR terhadap UU KPK juga telah terbukti menghancurkan kemampuan KPK memberantas korupsi dan semakin kurang berwibawanya negara dalam melawan koruptor saat ini. Kita melihat fenomena terakhir ini ketika Luhut Binsar Panjaitan, yang didukung Mahfud MD, untuk memberi toleransi bagi praktik korupsi, dengan alasan ini hidup di dunia bukan di surga.
Terakhir kita melihat DPR telah mensahkan UU KUHP yang, menurut istilah Margarito Kamis, ahli hukum tatanegara, telah mundur dalam peradaban 200 tahun silam. UU KUHP ini, bahkan dikecam oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebanyak 7 pasalnya dan juga oleh negara pro-demokrasi lainnya, seperti Amerika.
Setidaknya terdapat pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dan jajaran pejabat negara, yang tadinya sudah dihilangkan sejak reformasi.
Kemudian juga ada pasal-pasal yang menyulitkan kebebasan berpendapat dan penegakan HAM, serta pasal perzinaan yang kurang akomodatif pada hukum Islam, dapat menjerat para ulama/kiai yang sedang menjalankan syiar Islam dengan kawin berdasarkan agama saja.
Menyelamatkan demokrasi ke depan setidaknya adalah menyelamatkan pemilu, mencari kepemimpinan bangsa yang baik, presiden dan legislatif, menegakkan sistem “check and balance” dalam menjalankan roda negara dan mendorong adanya kebebasan sipil dalam bersyarikat dan berpendapat.
Demokrasi juga adalah sebuah kepemimpinan yang seharusnya menghormati pemimpinnya, namun memastikan tidak adanya feodalisme kepemimpinan yang menjadikan pemimpin sebagai “Man Can Do No Wrong”.
Untuk itu seluruh kekuatan rakyat, baik institusi politik maupun kalangan kampus dan organisasi masyarakat lainnya harus menekan pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk tunduk pada agenda dan skedul yang ada, yakni pemilu 2024, dan mendorong terwujudnya pemilu yang bersih dari ”money politics” serta bebas dari keberpihakan aparatur negara. (*)