"Uji Nyali" Netralitas TNI Polri di Pemilu 2023

Oleh Dr. Anton Permana, SIP.,MH | (Direktur Tanhanna Dharma Mangrva (TDM) Institute)

DALAM buku putih pertahanan yang dikeluarkan Kementrian Pertahanan 2015-2020, sebenarnya sudah memetakan sebuah hakikat ancaman yang bernama “hakikat ancaman legislasi”. Dari banyak model hakikat ancaman terhadap kedaulatan bernegara kita, apakah itu hakikat ancaman ideologi, ekonomi, biological warfare, sampai yang berupa kerusakan lingkungan hidup dan exploitasi sumber kekayaan alam. 

Karena dalam ancaman perang moderen saat ini tidak lagi hanya berupa ancaman perang fisik (symetric war), tetapi juga berupa perang non-fisik (asymetric war), dan hybrida war yang tidak tampak (terlihat kasat mata) tetapi sangat mematikan. Untuk itulah, kementrian pertahanan kita dalam buku putihnya, memasukkan ancaman legislasi itu sebagai salah satu bahagian dari hakikat ancaman yang ada, ancaman yang belum ada, dan ancaman yang akan ada.

Hakikat ancaman legislasi yang dimaksud itu bisa berupa infiltrasi, atau lobby dari sebuah kelompok elit atau asing termasuk oligarkhi dalam mempengaruhi norma aturan dan pembentukan perundangan di negara kita yang menguntungkan kepentingan kelompoknya. Dan merugikan kepentingan nasional kita.

Dan bisa juga, justru ancaman legislasi tersebut dilakukan jauh di depan sejak awal, yaitu ; menempatkan atau memberikan dukungan kepada personal politisi (agen) atau kelompok untuk dapat duduk di kursi legislatif maupun eksekutif, untuk selanjutnya menjadi “proxy” dan corong dari kepentingan mereka. (Planted Agent).

Dalam ranah ilmu gropolitik dan geostrategi, hal ini lumrah saja terjadi karena ada kompetisi lintas negara dan elit community global dalam mengendalikan dan menguasai sumber daya di dunia ini. Karena masing negara pasti punya cara tersendiri dalam mempertahankan hegemoni serta keberlangsungan kehidupan bangsa dan negaranya. 

Hakikat ancama legislasi ini sudah masuk dalam buku putih pertahanan negara kita. Artinya, Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan gangguan (ATHG), yang akan terjadi berarti sudah dipersiapkan strategi cegah dini dan tangkal dininya, agar tidak berubah menjadi sebuah ancaman bagi kedaulatan bangsa. Termasuk tentunya dalam proses Pemilu dan Pilpres 2024 tahun depan.

Secara konstitusi, dalam UUD 1945, pasal 30 (ayat) 2 sudah dijelaskan, bahwa komponen utama pertahanan dan keamanan negara itu adalah TNI/POLRI. Dimana selanjutnya di dalam (ayat) 3 dan 4 kembali dijelaskan pembahagian tugasnya, kalau untuk urusan pertahanan negara adalah TNI, dan untuk Keamanan, Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) adalah Polri. Artinya, tanggung jawab atas situasi HanKam dan stabilitas politik ada di pundak TNI/Polri.

Tugas dan kewenangan TNI/Polri ini, kembali diturunkan ke dalam Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) masing-masing instansi tersebut yaitu ; UU nomor 2 Tahun 2002 untuk Polri, dan UU nomor 34 Tahun 2004 untuk TNI. Dimana dalam masing-masing Undang2 tersebut dijelaskan bahwa, TNI/Polri itu adalah lembaga dan institusi negara yang tunduk pada kebijakan politik negara.

Di dalam hal politik negara, yaitu dimana Pemilu/Pilpres adalah bahagian dari instrumen demokrasi politik negara dalam rekrutmen kepemimpinan nasional, selanjutnya dengan tegas dalam UU nomor 7 Tahun 2017 di atur ada pelarangan atas ASN/TNI/POLRI/BUMN untuk terlibat politik praktis bahkan lengkap dengan ancaman Pidananya. 

Artinya, secara doktrin konstitusi dan perundangan sudah sangat jelas bahwa TNI/POLRI “haram” hukumnya ikut terlibat dalam politik praktis. Adapun politik yang dijalankan TNI/POLRI itu adalah politik negara, dimana maksudnya adalah : Sebagai bahagian dari tubuh pemerintahan, tugas dan kewenangan TNI itu adalah dalam tugas politik negara. Yang bertugas menjaga stabilitas pertahanan dan keamanan negara, dan hanya tunduk pada konstitusi negara. Yaitu UUD 1945 berserta turunannya.

Namun, kalau kita melihat ke dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang ada di Indonesia, dalam tataran operasional dan implementasinya, politik negara yang seharusnya dijalankan TNI/POLRI akan sangat berat. Karena sangat tergantung kepada komitmen, integritas, kejujuran, dan konsistensi para pucuk pimpinannya masing-masing.

Karena dalam hal penempatan dan penunjukan pimpinan apakah itu Panglima TNI dan Kapolri, berada di bawah naungan kekuasaan presidensial. Karena, final terakhir penunjukan siapa yang akan bisa menjadi Kapolri dan Panglima TNI adalah Presiden. Setelah melewati uji kompetensi (fit and proper test) di DPR RI. Ditambah lagi, Presiden diperbolehkan mengajukan calon Kapolri/Panglima TNI itu secara tunggal.

Disinilah polemik kemandirian dan kualitas proses penunjukan pucuk pimpinan TNI/POLRI oleh Presiden ini menjadi sulit karena harus memisahkan mana yang politik praktis dan mana yang politik negara. Karena di dalam sistem ketatanegaraan kita, Presiden juga merangkap menjadi kepala negara yang juga kepala pemerintahan.

Jadi sangat wajar, sesuai dengan judul tulisan di atas ada kata “uji nyali” yang maksudnya adalah : ada tantangan besar (chalange) bagi TNI/POLRI dalam bertindak “netral” di dalam Pemilu/Pilpres 2024 nantinya. Karena saat ini, ada dari bahagian keluarga Presiden serta para menterinya dan bahagian partai politik yang berkuasa ikut dalam kontestasi politik di Pemilu dan Pilpres 2024 nanti?

TNI/POLRI adalah sebuah instusi yang solid, disiplin, terlatih, dan mempunyai jaringan struktur kewilayahan yang paling luas dan lengkap sampai ke desa-desa. Seperti ada Babinsa dan Bhabinkamtibmasnya. Tentu, kemampuan TNI/POLRI ini akan sangat “menggoda” kekuasaan untuk menggunakan dan memanfaatkannya untuk kepentingan politik pribadi dan kelompoknya. Begitu juga sebaliknya, di satu sisi posisi pucuk pimpinan dua institusi ini juga ada di tangan seorang Presiden. Secara logis, tentu potensi hubungan mutualisme politik rentan terjadi.

Maka wajar banyak kecemasan dan harapan dari banyak pihak, agar TNI/POLRI ini tetap menjaga “marwah/kehormatan” dan jati dirinya untuk konsisten dan tidak mau ikut dimanfaatkan kekuasaan. Apakah itu untuk penggalangan massa, propaganda, maupun menggunakan perangkat alat material khusus (Almatsus) nya untuk kepentingan politik praktis. Karena dua institusi ini punya kemampuan yang sangat dahsyat apabila digunakan dalam meraih elektoral.

Kembali kepada pokok permbahasan kita, sebagai masyarakat sipil, tentu kita semua sangat berharap sekali, TNI/POLRI sesuai Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan 8 wajib TNI, dan Tri Brata Polri untuk konsisten, komitmen, bersikap “netral”. 

Jangan sesekali mau dimanfaatkan kekuasaan. TNI/POLRI adalah anak kandung rakyat yang lahir dari rakyat untuk rakyat. Jangan khianati perasaan rakyat. Karena perhelatan Pemilu/Pilpres ini adalah pesta demokrasi rakyat untuk memilih siapa pemimpin kedepan yang lebih baik menurut pilihan rakyat. 

Biarkan rakyat memilih, dan mari Bapak TNI/Polri bersama rakyat menjaga proses Pemilu/Pilpres ini berjalan Jujur/Adil dan berkualitas. Kita lawan bersama upaya-upaya kecurangan. Baik itu upaya kecurangan perhitungan suara di TPS dan selanjutnya, maupun upaya kecurangan berupa pemanfaatan sumber daya negara (pemerintahan) termasuk money politik dan intimidasi dalam memuluskan salah satu paslon Pillres dan Caleg.

Karena apabila terjadi sebuah kecurangan, manipulasi, dan pemanfaatan sumber daya negara untuk salah satu Paslon tertentu ? Maka hal ini pasti akan rentan menimbulkan kerusuhan dan konflik horizontal di tengah masyarakat. Dan ini kalau sempat terjadi, maka akan sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI. 

Dan untuk itulah, kita harapkan sekali agar TNI/POLRI benar/benar netral, cukup menjadi wasit, jangan korbankan kepercayaan rakyat dan integritas institusi demi kepentingan politik sesaat. Saat ini, TNI/POLRI sangat baik di mata masyarakat. Khususnya TNI, juga adalah institusi yang paling terpercaya di mata masyarakat.

InsyaAllah mari kita do’akan bersama agar TNI/Polri kita istiqomah, konsisten, tegar, komitmen untuk menjaga NKRI dan proses Pemilu/Pilpres 2024 dengan seadil/adilnya. Aammiinn. (*)

383

Related Post