Umat Islam Mulai Bergerak Menolak Permen tentang Kekerasan Seksual

Oleh: Dr. Adian Husaini

UMAT Islam Indonesia mulai bergerak untuk menolak Permendikbud Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permen PPKS), yaitu Permen No 30 tahun 2021. Adalah Ormas Persatuan Umat Islam (PUI) yang pada 30 Oktober 2021 mengeluarkan pernyataan resmi.

Sebagai Ormas Islam yang selama puluhan tahun bergerak di bidang pendidikan ini, Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021 itu dinilai oleh PUI, bertentangan dengan nilai-nilai moralitas Pancasila. PUI mengingatkan, bahwa tujuan pendidikan sebagaimana diamanahkan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sedangkan muatan Permendikbud Ristek ini jelas bertentangan dengan Tujuan Pendidikan Nasional itu. "Terlihat sangat nyata bahwa Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021 mengadopsi draft lama Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang telah ditolak masyarakat luas dan DPR pada periode 2014-2019 karena jelas bertentangan dengan Pancasila."

Sebagaimana landasan filosofis draf lama RUU P-KS, hal yang sama jelas tersurat dalam Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021, yakni paradigma sexual-consent. Paradigma ini memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktifitas seksual tidak lagi berdasarkan pada agama, tetapi berganti kepada persetujuan dari para pihak. Artinya, selama tidak ada pemaksaan, selama telah berusia dewasa, dan selama ada persetujuan, maka aktifitas perzinahan dianggap halal.

Begitu juga, Permendikbud No 30 tahun 2021 ini membuka peluang legalisasi LGBT. Sebab, selama tindak homoseksual atau lesbian itu dilakukan dengan persetujuan para pelaku, dan tidak ada kekerasan atau pemaksaan, maka itu dianggap hal yang boleh dilakukan dan tidak dipersoalkan.

"Praktik Zina dan LGBT adalah salah satu sebab utama maraknya tindak kejahatan seksual terhadap perempuan maupun anak-anak selama ini, maka negara tidak boleh malah memperluas berkembangnya praktik ini," begitu bunyi pernyataan PUI, yang ditandatangani oleh Wakil Ketua Umum dan Sekjen PUI (Dr. Wido Supraha dan H. Raizal Arifin).

Menurut PUI, dunia pendidikan adalah benteng terakhir dalam menjaga moralitas bangsa dari serbuan pemikiran asing yang merusak nilai-nilai Pancasila di NKRI. PUI masih percaya bahwa Kemendikbud Ristek sangat peduli dalam persoalan ini dalam pengembangan regulasi pendidikan di NKRI.

PUI menyatakan mendukung segala upaya penghilangan dampak negatif dari aktifitas seksual, tapi dengan cara yang lebih komprehensif sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sehingga kalimat ‘Kekerasan Seksual’ dapat diganti dengan ‘Kejahatan Seksual’ yang lebih kompatibel dengan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan mencakup berbagai bentuk perzinahan yang telah dilarang agama, sebagai wujud Berketuhanan Yang Maha Esa dan Berkemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

"Dengan demikian, PUI meminta kepada Mendikbud Ristek untuk mencabut Permendikbud No 30 tahun 2021 atau digantikan dengan aturan baru yang sesuai jiwa dan nilai-nilai Pancasila, dan agar dalam pembahasannya melibatkan organisasi keagamaan yang juga menjadi stakeholder dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia, agar setiap peraturan yang keluar dapat berlaku efektif karena telah sesuai dengan norma-norma masyarakat Indonesia yang ber-Pancasila," demikian akhir pernyataan PUI.

Dalam artikel yang lalu, saya sudah menulis, bahwa Permendikbud No 30 tahun 2021, memang terlalu sekuler dan mengabaikan ajaran agama. Di dalam NKRI yang jelas-jelas menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka nilai-nilai agama tidak dapat diabaikan. Persoalan seksualitas dan keluarga adalah masalah fundamental bagi keberlangsungan suatu bangsa. Apalagi untuk Indonesia yang menyatakan sebagai satu negara religius.

Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, dalam bukunya, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: "bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa "Ketuhanan Yang Maha Esa" berarti pengakuan "Kekuasaan Allah" atau "Kedaulatan Allah".

Prof. Notonagoro, pakar hukum dan filsafat Pancasila dari UGM, menulis dalam bukunya, Pancasila, Secara Ilmiah Populer (Jakarta, Pancuran Tujuh, 1971): "Sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti mutlak, bahwa dalam Negara Republik Indonesia tidak ada tempat bagi pertentangan dalam hal ke-Tuhanan atau keagamaan bagi sikap dan perbuatan anti ke-Tuhanan atau anti keagamaan dan bagi paksaan agama." (hlm. 73).

Tahun 1976, pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang menerbitkan buku Uraian Pancasila. Anggota Panitia Lima ialah: Mohammad Hatta, Prof. H.A. Subardjo Djoyoadisuryo SH, Mr. Alex Andries Maramis, Prof. Sunario SH, dan Prof. Abdoel Gafar Pringgodigdo SH. Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima merumuskan: "Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi." (Lihat, Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989).

Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021 memang jelas-jelas mengabaikan ajaran agama. Ukuran baik-buruk dalam soal seksualitas, harusnya didasarkan kepada agama. Apalagi Permendikbud 30 tahun 2021 itu diterapkan untuk semua kampus di Indonesia. Sepatutnya, yang lebih tepat adalah Permendikbud Ristek tentang Kejahatan Seksual, yang mencakup kejahatan perzinahan, perkosaan, pelecehan seksual, homoseksual dan lesbian, dan kejahatan seksual lainnya.

Semoga Mendikbud Ristek bersedia mendengar aspirasi umat Islam, seperti yang disuarakan oleh PUI. (Depok, 1 November 2021).

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII).

538

Related Post