Ungkit-Mengungkit, Sindir-Menyindir

Oleh Ady Amar

MENGUNGKIT bahwa yang lalu pernah diminta bantuan, dan membantunya. Tapi protesnya, kok tega orang yang dibantunya itu justru berbuat tidak semestinya. Tanyanya lagi penuh protes, apa sudah lupa pada bantuan yang diberikan pada saat yang lalu. Mustahil lupa, karena bantuan itu diminta belum setahun lalu.

Maka, mengungkit jasa bantuan yang pernah diberikan, itu jadi satu kewajaran. Masa sih bantuan yang pernah diberikan itu dilupakan, dan harus dibalas dengan sikap tidak mengenakkan. Itu seperti menusuk dari belakang oleh kawan yang pernah dibantu. Mengibah saat ingin dibantu, tapi lalu melupakan seolah itu tidak pernah terjadi.

Adalah hal biasa jika membantu karena memang patut dibantu, atau membantu karena diminta untuk membantu, itu hal manusiawi. Tapi memang menjadi menyakitkan, jika seseorang yang pernah dibantu tiba-tiba menyerang dan bersekongkol dengan pihak musuh untuk menghabisi.

Maka mengungkit, artinya menyampaikan pada khalayak, bahwa sebenarnya yang menyerangnya saat ini, adalah orang yang dulu pernah datang meminta bantuan, dan dibantu sesuai apa yang diharapkan. Semata agar khalayak memahami, agar berhati-hati dengan manusia satu ini. Tidak cukup di situ, tapi tersirat ingin memberi penekanan, bahwa manusia satu ini memang tidak punya empati sedikit pun.

Lebih jauh lagi, agar manusia satu ini sebaiknya dijauhi, agar sakitnya "tuh di sini" tidak mengena pada lainnya. Bisa jadi seseorang yang disebut manusia satu ini, kerap melakukan hal demikian. Artinya, mudah lupa pada jasa seseorang, itu seperti sudah jadi tabiatnya. Hanya saja pihak lain tidak mengungkitnya, hanya memendam saja, cari celah untuk membalas jika waktunya tiba.

Menohok Yusril

Sindir-menyindir para politisi di negeri ini, itu hal yang biasa. Itu cara komunikasi yang tidak langsung menunjuk pada lawan. Tapi berharap yang disasar faham, bahwa sindiran itu ditujukan padanya, bahwa ada hal yang tidak etis dilakukan dan itu menyakitkan.

Beberapa bulan lalu mengakui keberadaan Partai Demokrat, bahkan meminta rekom dari Partai Demokrat, yang ditandatangani Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Hari ini malah mempersoalkan produk kongres yang memilih AHY, itu yang disampaikan Jansen Sitindaon lewat akun Twitternya (Senin, 27 September).

Lanjutnya, "Saran saya kepada partai-partai lain: hati-hati kepada keluarga ini. Jangan lagi pernah memberi rekom kepada mereka. Nanti ujungnya kalian digugat lagi! Salam."

Sindiran itu jelas ditujukan pada Yusril Ihza Mahendra, yang pada bulan Desember 2020, datang menemui AHY. Meminta rekom Partai Demokrat untuk sang anak, Yuri Kamal, yang akan maju pada Pilkada Belitung Timur.

Seolah Jansen merasa diri bukan politisi, pura-pura tidak faham pada adagium "tidak ada kawan abadi, yang ada kepentingan abadi". Atau memang ia menyadari dan hanya mengungkit sambil menyindir seorang Yusril, yang meminta rekom Partai Demokrat, tapi tidak lama kemudian justru ia juga yang menggugat AD/ART Partai Demokrat, produk kongres yang memilih AHY.

Langkah Yusril Ihza Mahendra saat ini memang mendampingi empat mantan kader Partai Demokrat, sebagai pengacara, mengajukan Judicial Review atas AD/ART Partai Demokrat hasil Kongres ke-5, 2020, ke Mahkamah Agung (MA).

Mendapat serangan dari Partai Demokrat seolah jadi pribadi "tidak tahu diri", Yusril pun tidak mau kalah mengungkit, bahwa tanpa dukungannya dulu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak akan menjadi presiden. Ungkit Yusril atas jasa Partai Bulan Bintang yang dipimpinnya, yang saat itu berkoalisi dengan Partai Demokrat, SBY bisa maju sebagai Capres dan lalu menjadi Presiden RI ke-6.

Ungkitan Yusril yang seolah tanpanya SBY tidak akan jadi Presiden, itu ditampik Dr. Refly Harun, pakar hukum tata negara. Katanya, tanpanya SBY tetap bisa maju sebagai Capres, bisa maju tanpa bantuan PBB.

Kursi yang didapat Partai Demokrat sebagai syarat untuk bisa mengajukan calonnya sendiri sekalipun itu sudah memenuhi syarat. Minimal mendapat 21 kursi DPR, seseorang bisa maju sebagai Capres. Bisa maju diajukan sendiri oleh partainya atau bisa maju dengan koalisi. Partai Demokrat mendapat 26 kursi DPR saat itu, artinya jumlah kursi yang didapat sudah lebih dari cukup dari persyaratan yang ada.

Maka, ungkitan Yusril itu mengada-ada saja, tidak berdasar. Justru dengan "nebeng" koalisi dengan Partai Demokrat, Yusril dapat keuntungan tersendiri, ia lalu dapat jatah sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensekneg).

Hati-hati kepada keluarga ini, sindir Jansen Sitindaon, meski tidak menyebut nama Yusril Ihza Mahendra, tapi itu pastilah ditujukan padanya, yang pernah dibantu meski melupakan, dan bahkan menyerang balik Partai Demokrat.

Ungkit mengungkit dan sindir-menyindir pun tampaknya jadi hal yang umum dikalangan politisi. Itu cara lain komunikasi yang dibangun seolah tidak sarkastis, tapi cukup menohok. (*)

*) Kolumnis

329

Related Post