Vaksin Covid Masih Meragukan, Pakar: Telusuri Riwayat Uji Klinisnya (2)
by Mochamad Toha
Surabaya FNN - Minggu (27/12). Sebenarnya Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB, sudah pernah memberitahu uji klinisnya harus multicenter, jangan cuma di Bandung, tapi tidak digubris. Alasannya, supaya mudah koordinasinya. Menurutnya, alasan memprioritaskan koordinasi itu “tolot banget”, tapi hasilnya tak ada!
“Apanya yang mau dikoordinir? Coba multicenter di zona-zona merah dan kawasan padat penduduk, nggak bakalan pusing mendapatkan kasus terinfeksi,” tegasnya.
Problem analysis: Volunteer datang cuma 5x: disuntik 2x, ambil darah dan swab 3x. Tinggal divideo dan kirim datanya. “Terus apa bedanya kalau volunteers itu ada di Bandung, Jakarta, Suroboyo, Sidoarjo, atau kota-kota lain?” lanjut Arie Karimah.
“Fakultas Kedokteran Negeri ada di setiap kota besar. Dana Rp 900 triliun lebih itu ke mana?” sindir Arie Karimah. Karena belum ada hasil uji klinis di Bandung, maka Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) “merujuk” ke Turki.
Seperti dilansir Kompas.com, Jum'at (25/12/2020, 14:04 WIB), Vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh China, Sinovac Biotech, efektif 91,25 persen, menurut data sementara dari hasil uji coba tahap akhir di Turki.
Hasil itu berpotensi jauh lebih baik dari pada yang dilaporkan dari uji coba vaksin terpisah di Brasil, seperti yang dilansir dari Inquirer pada Jumat (25/12/2020). Para peneliti di Brasil, yang juga menjalankan uji coba terakhir fase III vaksin, mengatakan pada Rabu (23/12/2020) bahwa suntikan itu lebih dari 50 persen efektif.
Benarkah efektivitas Vaksin Sinovac di Turki 91%? Arie Karimah kembali menganalisisnya. Sebelumnya kita perlu mengetahui bagaimana efektivitas atau efikasi suatu produk vaksin Ditentukan/Dihitung:
Harus diketahui jumlah total volunteers, berapa yang mendapat vaksin dan berapa yang mendapat plasebo. Umumnya rasio 1:1.
Harus ada jumlah tertentu volunteers yang akhirnya tertular infeksi, dibuktikan dengan tes PCR. Jika angka ini Tidak Tercapai, maka efektivitas/efikasi Tidak Boleh Dihitung.
Efektivitas atau efikasi dihitung dari jumlah yang tertular tersebut: berapa dari kelompok plasebo, dibagi dengan total jumlah yang tertular, dikalikan 100%.
Berikut analisa Arie Karimah atas berita tersebut:
Uji Klinis di Turki
Global Times, 25 Desember: Efikasi vaksin Sinovac dalam uji klinis di Turki: 91,25%; Volunteers: 13.000. Tidak disebutkan berapa yang masuk kelompok plasebo dan vaksin.
Tercatat 20 volunteers akhirnya terinfeksi Covid-19. Tidak disebutkan berapa dari kelompok plasebo dan berapa dari kelompok vaksin. Untuk bisa menganalisis efikasi/efektivitas itu diperlukan Minimal 40 orang terinfeksi.
Jadi, “Kalau tidak disebutkan berapa yang terinfeksi dari kelompok plasebo dan berapa dari kelompok vaksin, bagaimana bisa dihitung efikasinya? Lalu, angka 91,25% itu muncul dari mana?” ujar Arie Karimah.
Jumlah minimum volunteers yang terinfeksi Belum Memenuhi Syarat (20 vs 40), bagaimana efikasinya bisa dihitung?
Nikkei, Asia, 25 Desember: Efikasi vaksin Sinovac (sementara) dalam uji klinis di Turki 91,25%. Dikabarkan angka ini masih mungkin meningkat lagi karena sekarang jumlah volunteers yang mendapat plasebo sudah semakin berkurang.
Pertanyaannya: Kok bisa efikasi dihitung sebelum seluruh volunteers disuntik, sehingga muncul kalimat, “Sekarang jumlah volunteers yang mendapat plasebo sudah semakin berkurang”?
“Atau maksud kalimat tersebut: analisa data untuk kelompok plasebo itu hampir selesai, sedangkan kelompok vaksin masih banyak gitu? Kagak jelas blas (sama sekali),” ungkap Arie Karimah.
Total jumlah volunteers: 7.371 (berita yang di atas, Global Times, bilangnya 13.000). Yang benar yang mana?
Sebanyak 1.322 volunteers digunakan untuk studi efikasi: 752 orang mendapat vaksin, 570 orang mendapat plasebo. Sedangkan 2.964 volunteers digunakan untuk uji keamanan.
Pertanyaaannya: Jadi total volunteers untuk uji efikasi dan keamanan hanya 4.286 orang (1.322 + 2.964). Lha sisanya yang 3.085 orang (7.371 – 4.286) untuk apa? “Memangnya uji efikasi dan keamanan tidak dijadikan satu?” tanya Arie Karimah.
Efikasi: diambil darahnya, dihitung titer antibodinya. Atau di-swab dan dites PCR. Keamanan: dicatat keluhan yang muncul sebagai efek samping atau adverse reaction.
Hasil studi efikasi: Dari 752 orang dalam kelompok vaksin, 3 orang terinfeksi Covid-19 sesuai tes PCR. Dari 570 orang dalam kelompok plasebo, 26 orang terinfeksi Covid-19.
Uji klinis masih Harus Dilanjutkan hingga diperoleh minimal 40 orang terinfeksi, agar bisa dihitung efikasinya. “Data di atas baru mencapai 29 orang, jadi Belum Memenuhi Syarat Untuk Bisa Dihitung Efikasinya,” ungkap Arie Karimah.
Uji keamanan: melibatkan 2.964 volunteers. Diketahui efek sampingnya adalah fatigue dan sakit kepala. Satu volunteer mengalami reaksi alergi ringan.
Uji Klinis di Brazil
Reuters, Desember: Jumlah volunteers tidak disebutkan. Sebanyak 74 volunteers terinfeksi Covid-19. Standar agar efikasi/efektivitas bisa dihitung: cukup 61 orang terinfeksi. Tidak disebutkan berapa dari kelompok plasebo dan berapa dari kelompok vaksin yang terinfeksi.
Bagaimana bisa dihitung efikasinya? Jadi jangan heran kenapa laporan data interimnya terus-menerus diundur. Karena datanya juga “ajaib”, bagi yang mengerti bagaimana cara membaca data tersebut.
Jadi, “Efektivitas/efikasi vaksin Sinovac dari hasil uji klinis di Brazil maupun Turki Belum Bisa Dihitung, karena datanya belum mencukupi,” tegas Arie Karimah menyimpulkan.
Kabar terakhir, China kembali telah menunda pengumuman hasil Uji Klinis Vaksin Sinovac. Ini untuk ketiga kalinya China menunda: dari 14 Desember ke 23 Desesember, kemudian 28 Desember, dan sekarang Januari 2021.
Jadi, “Mundur 15 hari lagi dari 23 Des. Ada apa coba? Kalau efikasi tinggi biasanya justru diumumkan Segera, meskipun sebagai kabar sementara, sebagai kabar gembira,” ujar Arie Karimah.
“Mereka masih akan melakukan konsolidasi atas hasil-hasil uji klinis internasionalnya di Brazil, Turki, dan Indonesia, seperti saran dan dugaan saya tho?” lanjutnya.
Jadi, “Yang sudah menyebarluaskan kabar efikasinya: hati-hati. Silakan baca artikel asli dalam bahasa Inggris-nya, jangan dari berita lokal hasil terjemahan.”
Jika Uji Klinis Vaksin Sinovac di Turki maupun Brazil saja Belum Bisa Dihitung, apalagi Uji Klinis di Indonesia yang dilakukan Biofarma dan Universitas Padjadjaran di Bandung yang juga belum ada hasilnya.
Sementara, varian baru Virus Corona SARS CoV-2 sendiri sudah mulai menyerang Inggris, dan diduga juga masuk ke Prancis dan Singapura.
Seperti dilansir CNN Indonesia, Selasa (15/12/2020 15:55 WIB), Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengatakan, ada varian baru SARS CoV-2 yang teridentifikasi di Inggris dan terbuka kemungkinan tak mempan Vaksin Covid-19 yang saat ini ada.
Virus corona jenis baru ini diyakini dapat menyebar lebih cepat dari virus corona yang ada sebelumnya. Ini juga memicu peningkatan kasus Covid-19 yang tajam di Inggris.
Matt menyebut telah ditemukan lebih dari 1.000 kasus Covid-19 akibat infeksi dari varian virus jenis baru ini. Kasus akibat varian virus baru ini tersebar di 60 wilayah otoritas lokal Inggris.
Diperkirakan virus varian baru ini serupa dengan mutasi yang ditemukan di sejumlah negara dalam beberapa bulan belakangan.
“Kami telah mengidentifikasi varian baru dari virus corona yang mungkin penyebarannya lebih cepat di tenggara Inggris,” kata Matt, Selasa (15/12/2020), seperti dilansir dari The Guardian.
Matt tidak menutup kemungkinan bahwa varian baru virus ini bisa kebal terhadap vaksin Covid-19 yang akan diberikan pada minggu ini di Inggris.
Kalah Cepat
Varian Covid-19 dan mutasinya yang begitu cepat akan membuat Vaksin Covid-19 yang kini tengah dikembangkan di berbagai negara bakal masuk kategori “vaksin jadul”, dan mungkin juga tidak akan bisa mengimbangi varian Covid-19 yang terus bermutasi.
“Sudah pernah saya uraikan tentang Covid gelombang 1, gelombang 2, gelombang 3, dan akan ada gelombang ke 4,” ungkap seorang sumber.
Covid-19 semula menyerang saluran pernafasan, kemudian saluran pencernaan, syaraf, mata, yang diikuti dengan berbagai gejala-gejala yang menyertainya.
Orang-orang yang di tubuhnya ada proses infeksi, tentu wajar kalau diikuti dengan keluhan linu-linu di berbagai persendian, lemah, loyo, pengantukan, dan sebagainya. Itu gejala-gejala wajar yang menyertai nya.
“Salah satu ciri khas dari virus Covid-19 itu akan mudah menempel, dan meriplikasi selnya, setelah menempel pada selaput mukosa-mukosa,” lanjutnya. Pada selaput mukosa-mukosa itulah protein sarana mereka regeneratif itu menjadi mudah berkembang .
Mukosa itu lapisan lembut berlendir, seperti bibir mulut, tenggorokan, hidung, dan mata. Dari mukosa-mukosa itulah, mereka akan menyebar ke saluran pernafasan atau pencernaan, dan seterusnya.
“Dan amat sering kami temukan kasus-kasus yang ditandai dengan gejala-gejala sakit perut, diare, setelah sekian hari, di paru-parunya sudah terjadi pneumonia advanced/serius, merata,” ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya itu.
Menurutnya, ada yang positif thypus lewat tes widal, tapi imunoserologinya negatif. Bahkan, ada yang fungsi livernya terganggu, yang ditandai dengan SGPT, SGOT tinggi, “tapi HbsAg-nya negatif. Setelah di-swab, positif.”
“Makanya kami amat sering menyampaikan ke siapapun yang sakit panas, disertai dengan gejala-gejala di saluran pernafasan, saluran pencernaan, atau lainya, sebagai berikut: Lebih baik kita menduga positif covid,” tambahnya.
“Sehingga segera bisa mengantisipasi secara maksimal. Dari pada menduga minimal (non covid), tapi akhirnya kecolongan. Toh, jika menggunakan protokol covid dengan formula yang kami buat, tidak ada efek buruknya,” jelasnya.
“Dengan konsep itulah, kami sudah membantu menyelamatkan ribuan orang pasien yang terpapar covid,” ujar sumber tadi. (Selesai)
Penulis wartawan senior FNN.co.id