Waspada Pemaksaan Agenda Satu Putaran Pilpres

Oleh Dr. Anton Permana, S.IP.,MH | Direktur Tanhana Dharma Magrva (TDM) Institute.

POLARISASI pemilih dalam Pilpres saat ini cukup rumit dan unik. Karena adanya tiga pasang kandidat yang terbentuk dari zig-zag garis politik yang terjadi satu dekade terakhir.

Prabowo yang sebelumnya rival Joko Widodo, saat ini berpasangan dengan Gibran anak kandungnya Joko Widodo. Begitu juga dengan Ganjar Pranowo yang dicalonkan PDIP bersama Mahfud MD, adalah calon yang sebelumnya satu barisan bersama Joko Widodo sebagai kelompok pemerintah. Namun, saat ini Ganjar-Jokowi harus berseberangan dalam Pilpres. Bahkan Mahfud MD, pada Pilpres sebelumnya tahun 2014 adalah ketua tim suksesnya Prabowo.

Begitu juga dengan pasangan Anies Baswedan dan Cak Imin (Muhaimin Iskandar), yang sebelum jadi Gubernur DKI Jakarta juga adalah salah satu Menterinya Joko Widodo dan Cak Imin juga  sebagai partai pendukung Joko Widodo dalam dua periode Pilpres. Cuma yang membedakannya dari tiga pasang kandidat ini adalah orientasinya saja. Ada yang pro status quo, ada yang membawa issue pro perubahan.

Begitu juga dalam hal segmentasi psikografi politik. AMIN cenderung representasi kelompok kanan, Gemoy dari kelompok tengah, dan GAMA dari representasi kelompok kiri. Meskipun, batas antara segmentasi tersebut juga tidak terlalu ekstrim, kecuali antara kelompok kiri luar dari GAMA dan Kanan luarnya AMIN. Justru, kelompok tengahnya Gemoy yang akan jadi medan tempur perebutan suara pemilih. Karena meskipun secara quantitas, kelompok tengah ini paling besar dan dominan tetapi juga paling labil dan cair. Yaitu kelompok  mereka yang berasal dari kalangan nasionalis borjuis, grass root, dan abangan. 

Artinya, secara kualitatif kita hampir dapat memastikan, kekuatan masing basis massa dan deposit pemilih ketiganya boleh dikatakan seimbang. AMIN dengan basis massa kanannya yang militan dan original mewakili symbol perlawanan kelompok Islam yang mayoritas di negeri ini, Gemoy sebagai kubu pemerintah yang mempunyai kekuatan logistik, infrastruktur kekuasaan dan basis massa tiga figur besar seperti Joko Widodo, SBY, dan sisa-sisa pendukung Prabowo pasca Pilpres 2019, lalu GAMA yang sudah 9 tahun ini melalui PDIP telah membangun secara massive jaringan politik sampai ke pedesaan yang solid dan juga militan. Ditambah figur Mahfud MD, figur tokoh Nahdlatul Ulama asal Madura yang juga secara jabatan politik mempunyai track record lengkap baik sebagai lejabat legislatif, yudikatif (ketua MK), dan Eksekutiif (pernah jadi MenHan dan sekarang Menkopolhukam).

Jadi akan sangat “naif” sekali apabila ada pihak yang begitu ngotot seakan yakin bisa menang satu putaran di Pilpres nanti. Kalau itu hanya sebagai “psywar” wajar saja terjadi dalam dunia politik. Namun yang mesti diwaspadai adalah, kalau hal itu digunakan untuk membangun opini, justifikasi, dan legitimasi abortif. Agar memberikan daya efect sugesti kepada publik bahwa hal itu benar.

Kesimpulannya adalah ada beberapa hal yang mesti diwaspadai secara bersama. Pertama, dari sudut teori manapun, tak akan mungkin Pilpres 2024 ini menjadi satu putaran. Mari kita jujur, transparan dan gentleman. Makanya mohon maaf, dalam tulisan ini sengaja tidak dimasukkan data quantitatif hasil survey-survey dari lembaga survey manapun. Karena di mata masyarakat, era lembaga survey ini sudah tamat. Publik sudah tahu, bahwa hasil-hasil survey yang marak selama ini sangat jauh dari fakta kebenaran ilmiah, objektif dan bertanggung jawab. Hasil survey saat ini, lebih banyak menjadi alat propaganda dan instrumentasi membangun opini kepentingan kelompok tertentu.

Kedua, kita pasti sudah paham bahwasanya dengan statement Presiden akan ikut cawe-cawe dalam Pilpres lalu dilanjutkan dengan lahirnya Cawapres Gibran yang mengangkangi kehormatan Mahkamah Konstitusi, sudah cukup jelas dan tegas bagi kita semua bahwa, tak akan mungkin seorang Joko Widodo akan “fair” dalam Pilpres nanti. Karena aroma Politik Dinasti dan upaya penghalalan segala cara untuk kemenangan pasangan Gemoy pasti sudah disiapkan.

Ketiga, prosesi Pilpres dan Pemilu saat ini adalah ibarat pertarungan antara kelompok Pro Demokrasi dan kelompok Pro otokrasi. Yang kelompok pro demokrasi adalah dari kelompok yang menginginkan adanya perubahan dan penolakan keras atas upaya politik dinasti yang dipaksakan melalui MK, versus kelompok otokrasi yang berasal  dari kelompok yang ingin “memaksakan kehendak” untuk kelompoknya terus berkuasa tak peduli moral, konstitusi dan “etika ndasmu”.

Tanda-tanda upaya untuk melakukan kecurangan ini juga harus dilawan secara massive, serentak dan terbuka oleh masyarakat. Rakyat tidak boleh berdiam diri. Karena ini juga adalah  pertaruhan masa depan bangsa negara dan anak cucu kita semua. 

Pemaksaan kehendak politik dinasti berbau otoritarianisme, sangat merusak dan menghancurkan sendi-sendi demokrasi kita yang seharusnya sudah tumbuh dengan sangat baik. Hari ini diluluhlantakkan oleh ambisi satu keluarga dan kelompok politiknya. 

Rakyat dan seluruh elemen harus bangkit. Sebuah konspirasi hanya bisa di lawan dengan “people power. Caranya ?? Masyarakat dapat menggunakan HP dan jaringan sosial media sebagai senjata ampuh dalam membongkar dan memviralkan setiap kejadian-kejadian kecurangan, penggalangan, provokasi, yang dilakukan oleh kelompok penguasa hari ini. 

Istilah:  “No Viral, No Justice” adalah salah satu senjata perlawanan semesta dari seluruh rakyat Indonesia untuk melawan setiap upaya kecurangan dalam Pemilu dan Pilpres nanti. Kalau perlu, adakan sayembara: siapa yang berani dan menemukan kecurangan lalu di -upload ke media massa, maka akan diberikan hadiah apresiasi bisa berupa uang dan bentuk lainnya. Agar seluruh rakyat Indonesia semakin termotivasi untuk membongkar setiap menemukan kejahatan dalam proses Pemilu-Pilpres.

Sosialisasikan seyembara ini secara massive di tengah masyarakat baik online dan offline berupa spanduk dan banner. Kita ciptakan seolah mata rakyat siap mempelototi setiap upaya kecurangan dan kejahatan dalam Pemilu. Kalau ini bisa kompak terjadi ? Saya yakin pihak TNI/POLRI pun akan berada bersama rakyat. Meskipun beberapa pimpinannya disinyalir dekat dengan kekuasaan.

Karena hanya dengan cara itu kita semua bisa melakukan perlawanan, terhadap kekuasaan yang sudah begitu sewenang-wenang menggunakan infrastruktur kekuasaan dalam mewujudkan kepentingannya. Dan ini sangatlah berbahaya kalau kita semua masih tetap diam. Maka jawaban terakhirnya itu adalah ; Pemilu Curang, Lawan ! Bangkit atau Punah !

Jakarta, 20 Desember 2023

929

Related Post