MEDIA

Surat Kabar The Daily Star Lebanon Tutup

Beirut, FNN - Surat kabar Lebanon berbahasa Inggris The Daily Star mengumumkan kepada stafnya bahwa mereka akan diberhentikan. The Daily Star akan bergabung ke daftar outlet media Lebanon yang terpaksa tutup atau melakukan pengurang staf akibat tekanan keuangan. Lewat pesan kepada stafnya, manajemen The Daily Star menuliskan bahwa keputusan untuk memberhentikan mereka diambil "dengan berat hati". Manajemen mengatakan perhitungan kompensasi sedang diselesaikan dan mereka berharap para stafnya beruntung "selama masa-masa sulit ini". Lebanon mengalami pergolakan depresi yang digambarkan Bank Dunia sebagai salah satu yang paling parah di zaman modern. Didirikan oleh jurnalis Lebanon Kamel Mrowa pada 1952, The Daily Star saat ini dimiliki oleh keluarga politisi Muslim Suni sekaligus mantan perdana menteri Saad al-Hariri, menurut Pengawas Kepemilikan Media Reporters Without Borders. Outlet media milik Hariri mulai kehilangan pekerjaan dan tutup sejak lima tahun lalu, mencerminkan krisis keuangan yang disebabkan oleh tamatnya perusahaan konstruksi keluarga Arab, Saudi Oger. The Daily Star, yang tidak lagi memperbarui situsnya pada 13 Oktober, dulu beberapa kali berhenti melakukan publikasi termasuk selama masa perang saudara 1975-1990. Ini merupakan media terbaru yang menghilang di sebuah negara yang media beritanya, walaupun sangat dipolitisasi, secara tradisional beroperasi lebih terbuka ketimbang di banyak negara Arab lainnya. Pada 2016 krisis keuangan mengharuskan surat kabar As-Safir 'pamit'. (sws, Reuters)

Ketum AJI: Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Naik Bukan Karena Membaik

Jakarta, FNN - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim mengatakan indeks kemerdekaan pers Indonesia dalam skala global yang naik 6 peringkat di 2021 bukan berarti ada perbaikan, karena masih ditemukan banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis. Menurut Sasmito Madrim, kenaikan peringkat dari 119 pada 2020 menjadi 113 di 2021 yang dinilai oleh Reporters Sans Frontieres (RSF) atau Reporter Without Borders (RWB) sebagai lembaga pemantau kebebasan pers dari media di seluruh dunia yang berkedudukan di Prancis itu, disebabkan oleh indeks kemerdekaan pers secara global memang sedang memburuk. “Indonesia peringkatnya naik itu, karena negara-negara lain memburuk,” kata Sasmito, saat menjadi narasumber dalam webinar nasional bertajuk “Paradoks Kebebasan Berpendapat: Pembungkaman hingga Kekerasan terhadap Jurnalis” yang disiarkan secara langsung dalam kanal YouTube Aspirasi Online, dipantau dari Jakarta, Ahad. Dalam menilai peringkat kemerdekaan pers, ujarnya, RSF mempergunakan tiga indikator dari sisi politik, kebijakan, dan ekonomi. Bila diamati, ketiga ranah itu belum sepenuhnya mendorong perbaikan kemerdekaan pers di Indonesia. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh AJI pada setiap tahunnya, justru terdapat peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia sejak 2009 hingga 2020. Namun, catatan data dari AJI tersebut terbatas pada kegiatan pemberitaan. “Ini lagi-lagi saya tekankan, data yang dicatat oleh AJI hanya yang berkaitan dengan pemberitaan. Kalau ada jurnalis yang lagi jalan-jalan, kemudian dipukuli oleh orang dan tidak terkait pemberitaan, tidak dicatat oleh AJI,” ujar Sasmito Madrim. Dari catatan yang disampaikannya dalam webinar nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aspirasi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta itu, jumlah kasus kekerasan tertinggi terhadap jurnalis selama kegiatan pemberitaan ada pada tahun 2020, yaitu sebanyak 84 kasus. Meskipun di tengah pandemi yang membatasi pertemuan tatap muka, menurut Ketua Umum AJI ini, harapan terhadap menurunnya kasus kekerasan secara langsung yang dialami para jurnalis di Indonesia belum dapat terwujud. Nyatanya, jumlah kasus justru meningkat. Untuk itu, AJI terus mengusahakan dialog dengan DPR, khususnya dari Badan Legislasi DPR RI untuk mengawasi kinerja ataupun dugaan-dugaan pidana yang dilakukan terhadap jurnalis di Indonesia. Dengan demikian, Sasmito juga berharap ada perbaikan yang dilakukan secara kolaboratif antara jurnalis, masyarakat, dan pemerintah untuk mengambil langkah dalam mewujudkan kemerdekaan pers di Indonesia. (mth)

Pelesetkan KOMPAS Menjadi SOMPLAK Gojek Minta Maaf

Jakarta, FNN - Gosend salah satu layanan yang dimiliki oleh perusahaan teknologi Gojek Indonesia meminta maaf usai menggunakan visual Harian Kompas sebagai plesetan dalam salah satu materi promosinya di media sosial. Permintaan maaf itu disampaikan melalui akun media sosial instagram mereka @gosendindonesia. “Kami memohon maaf kepada seluruh keluarga Harian Kompas atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan terhadap munculnya konten promosi dari salah satu produk kami di media sosial," seperti dikutip dari akun instagram @gosendindonesia, Rabu. Pernyataan lantas menyebutkan bahwa konten tersebut telah dihapus. "Di saat yang sama kami juga telah menyampaikan permohonan maaf secara langsung kepada Harian Kompas. Ke depan kami terus melakukan kurasi lebih ketat terhadap berbagai bentuk promosi ke publik sehingga pesan yang ingin disampaikan Gosend dapat diterima dengan baik oleh seluruh khalayak." Sebelumnya, akun instagram @gosendindonesia sempat mengunggah materi promosi yang seakan mengambil visual dari surat kabar Harian Kompas. Materi promosi itu dinilai menyinggung dan juga tidak memenuhi kaidah etika media karena telah memelesetkan nama pemberian Presiden RI Soekarno dari KOMPAS menjadi SOMPLAK. Usai menuai kritikan dari beragam kanal media sosial, @gosendindonesia pun menghapus materi promosi tersebut dan segera menyampaikan permintaan maaf pada Harian Kompas. Harian Kompas merupakan salah satu surat kabar nasional di Indonesia yang telah ada sejak 1965. Nama “Kompas” pun diberikan langsung oleh Presiden Soekarno kepada salah satu pendiri Harian Kompas yaitu Frans Seda. Kompas akhirnya dipilih dengan harapan dapat memberikan arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau rimba sesuai pengertian yang diberikan oleh Bapak Proklamator Indonesia itu. (sws, ant).

Dewan Pers Harap MK Tolak Uji Materi UU Pers

Jakarta, FNN - Dewan Pers berharap agar Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengajuan uji materi atau judicial review Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers karena posisi para pemohon, sebagaimana pernyataan pemerintah, tidak mengalami kerugian. "Pemerintah sebut para pemohon dalam hal ini tidak dalam posisi dirugikan, dikurangi, atau setidak-tidaknya dihalang-halangi hak konstitusionalnya dengan keberlakuan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers," kata Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad. Pemerintah, kata M. Nuh, juga menyebut bahwa para pemohon tidak memiliki kerugian atas hak konstitusional berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Berkenaan implementasi Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers, M. Nuh mengatakan bahwa hal tersebut lebih pada konsensus di antara organisasi-organisasi pers agar terciptanya suatu peraturan bidang pers yang kohesif dan dapat memayungi seluruh insan pers. Dengan demikian, tidak terdapat peraturan-peraturan organisasi pers yang bersifat terpisah, sporadis, dan bahkan bertentangan antara satu dengan yang lainnya, yang akan menyebabkan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan kemerdekaan pers dan menghambat terciptanya peningkatan kehidupan pers nasional yang sehat. Pemerintah juga menyebut dalam Pasal 15 ayat (1) UU Pers telah jelas memberikan nomenklatur "Dewan Pers" dan tidak ada nomenklatur-nomenklatur lainnya dalam Pasal 15 UU Pers. Oleh karena itu, apabila para pemohon mendalilkan "organisasinya" bernama "Dewan Pers Indonesia", itu bukanlah nomenklatur dan entitas yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) UU Pers. Berdasarkan hal tersebut, Dewan Pers Indonesia tidak memerlukan penetapan dari Presiden dalam bentuk Keputusan Presiden, dan tidak ditanggapinya permohonan penetapan anggota Dewan Pers Indonesia oleh Presiden bukanlah suatu perlakuan diskriminatif yang melanggar Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945, melainkan suatu tindakan yang telah sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian, organisasi dan/atau forum yang menamakan dirinya Dewan Pers Indonesia bukanlah Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU Pers. Sebelumnya, Heintje Grontson Mandagie, Hans M. Kawengian, dan Soegiharto Santoso selaku pemohon memohon judicial review UU Pers melalui kuasanya pada Kantor Hukum Mustika Raja Law pada tanggal 12 Agustus 2021. Mereka mengatasnamakan diri sebagai anggota Dewan Pers Indonesia. Adapun permohonan mereka dalam petitumnya meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (ant, sws)

Peraih Nobel Maria Ressa, Soroti Algoritma Berita

Jakarta, FNN - Peraih Hadiah Nobel Perdamaian dan jurnalis asal Filipina, Maria Ressa, menyoroti algoritma yang digunakan dalam distribusi berita oleh platform-platform media sosial dan news aggregator, yang dapat menciptakan perpecahan dan mengancam perdamaian. Dalam acara Bincang-Bincang dengan Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2021 Maria Ressa, yang diselenggarakan oleh IDN Times, jurnalis dan pimpinan media Rappler asal Filipina itu mengatakan bahwa kebanyakan platform media sosial menggunakan algoritma friends of friends dalam mendistribusikan informasi. Dengan algoritma seperti itu, informasi yang direkomendasikan terhadap seseorang mengacu pada apa yang biasanya diakses oleh orang itu sendiri. “Yang mereka lakukan ini adalah distribusi dengan algoritma dan bias algoritma,” ujar Ressa dalam acara yang dipantau dari Jakarta, Kamis. Menurut dia, algoritma semacam itu menempatkan seseorang di dalam gelembung. Di sana lingkaran itu, informasi yang diterima telah melalui filter tertentu sehingga dapat menciptakan bias dan pandangan yang terdistorsi akan dunia. “Algoritma menumbuhkan perpecahan yang melebar, kemudian Anda berada di dalam apa yang disebut sebagai filter bubble,” katanya. Dia pun menambahkan bahwa algoritma seperti itu dapat semakin menyulut kemarahan orang-orang yang mendapatkan informasi yang bias, dan hal itu dapat membuat orang menjadi tidak rasional dan tidak logis. “Ini adalah permasalahan besar yang kita hadapi karena inilah akhir dari fakta untuk kita semua […] ini merubah pandangan kita terhadap dunia,” kata Ressa. Ia menambahkan bahwa algoritma semacam itu merupakan “manipulasi yang berbahaya”. Hal itu pun menjadikan para jurnalis dan media sebagai penyaji fakta kehilangan peran sebagai penjaga atau gatekeeper, terutama mengingat banyaknya masyarakat kini yang mengakses platform-platform media sosial dan menjadikannya tempat mereka mendapatkan informasi. Maria Ressa diberi penghargaan Hadiah Nobel Perdamaian, bersama dengan jurnalis asal Rusia, Dmitry Muratov, “atas perjuangan berani mereka untuk kebebasan berekspresi di Filipina dan Rusia”. Maria Ressa mengepalai perusahaan media digital Rappler yang ia dirikan bersama tiga orang mitra pada 2012. Media tersebut tumbuh menonjol melalui pelaporan investigasi, termasuk terkait pembunuhan besar-besaran dalam kampanye polisi melawan narkoba, seperti dikutip dari laporan Reuters. Pada Agustus, pengadilan Filipina menolak kasus pencemaran nama baik terhadap Ressa, yang merupakan salah satu dari beberapa tuntutan hukum yang diajukan terhadap jurnalis yang mengatakan dia menjadi sasaran karena laporan kritis Rappler tentang Presiden Rodrigo Duterte. Nasib Ressa, salah satu dari beberapa jurnalis yang dinobatkan sebagai "Person of the Year" Majalah Time tahun 2018 karena memerangi intimidasi media, telah menimbulkan kekhawatiran internasional tentang pelecehan media di Filipina, negara yang pernah dipandang sebagai pembawa standar kebebasan pers di Asia. (ant, sws)

Dewan Pers: Channel YouTube Hersubeno Point Produk Jurnalistik

Jakarta, FNN - Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers, Ahmad Djauhar menegaskan, channel YouTube Hersubeno Point merupakan produk jurnalistik, karena berada di bawah FNN (Forum News Network) yang merupakan perusahaan pers. Ahmad Djauhar menegaskan, media, meskipun media sosial, sepanjang itu di-address atau menjadi bagian dari kerja resmi perpanjangan tangan dari semua media dan itu bagian dari proses kerjanya, itu masuk yurisdiksi wilayah perlindungan UU Pers (UU Nomor 40 Tahun 1999) tentang Pers). "Jadi itu merupakan bagian dari produk pers. Itu sudah kami sampaikan beberapa kali. Memang FNN ini hobi sekali bikin quote unquote - kontroversi begitu, tapi itu bagus," katanya dalam Webinar berjudul #Savehersu, Jurnalistik dalam Ujian, Sabtu 18 September 2021. Webinar menghadirkan pembicara Ahmad Djauhar dari Dewan Pers, Hersubeno Arief dari FNN, Rony Talapessi dari DPD PDIP DKI Jakarta, dan M. Isa Ansori sebagai moderator. Namun sampai Webinar usai, Ronny Talapessi tidak hadir. Djauhar mengingatkan, di era demokrasi yang sudah disepakati bersama, kita wajib konsekuen. "Jadi, gini lho, saya ingin sampaikan terlebih dahulu bahwa kita telah berkomitmen memasuki alam demokrasi sepenuhnya. Konsekuensi alam demokrasi itu, menulis apa pun itu boleh, tidak ada yang dilarang, sepanjang tulisan atau apa pun kabar itu, sepanjang ada verifikasinya. Jurnalisme itu adalah semua hal yang terverifikasi. Itu bedanya dengan media sosial murni. Media sosial murni itu ibaratnya seperti warung kopi universal. Warung kopi, tetapi skalanya mendunia, siapa pun boleh melemparkan topik apa pun, tanpa dia harus bertanggungjawab. Makanya, harus ada rambu-rambu, oleh karena itu ada UU," ujarnya. Menurut Djauhar, UU ITE sebenarnya bukan untuk mengatur kebebasan berpendapat dan kebebasan berbicara. "UU ITE namanya saja Internet dan Transaksi Elektronik. Ini sebetulnya dulu dibentuk untuk kepentingan Kementerian Perdagangan, tetapi saya tidak tahu semua hal di Indonesia bisa dipolitisasi dan dibelokkan ke politik sehingga malah lebih banyak untuk menjerat kebebasan berekspresi," katanya. Djauhar menegaskan, produk berita yang dipublikasikan oleh Hersubeno Arief merupakan produk jurnalistik. "Tadi seperti yang disampaikan Bung Hersu, Dewan Pers melihatnya bahwa ini sudah memenuhi aspek jurnalisme," katanya. Bahkan, lanjut Djauhar, Hersu sudah memberikan pernyataan pada kesempatan pertama dengan memberikan semacam breaking news, dan sebagainya. "Kalau di media cetak harus tertulis. Di media cetak konfirmasi bahkan bisa dilakukan esok harinya ketika sudah melewati deadline, yang penting pada kesempatan pertama," paparnya. Berkaitan dengan status FNN, Djauhar banyak mendapat pertanyaan masyarakat. "Yang sering ditanyakan adalah, FNN itu sudah perusahaan pers atau belum? Nah, kebetulan saya membawahi penelitian, pendataan, dan klasifikasi pers, saya jelaskan sekali lagi bahwa FNN sudah mengajukan aplikasi untuk mendatakan dirinya. Mendatakan ya, bukan mendaftarkan, karena Dewan Pers bukan seperti Kementerian Penerangan zaman dulu," tegasnya. Menurut Djauhar ada kemudahan untuk mendatakan diri di Dewan Pers. "Jadi sekarang media itu bebas, mau mendatakan dirinya atau tidak itu terserah. Tetapi, Dewan Pers memberikan kesempatan seluas- luasnya, silahkan, sudah zamannya. Silahkan swalayan, silahkan mengisi aplikasi kalau memang ingin mengurus sebagai perusahaan terverifikasi. Akan tetapi, yang harus diingat adalah amanat UU bahwa perusahaan pers yang penting akta perusahaannya mendeklarasikan dirinya adalah perusahaan pers. Juklaknya itu yang bikin masyarakat pers secara nasional melalui Dewan Pers. Akan lebih baik kalau dia melengkapi persyaratan ini... ini... ini. Jadi dia menjadi perusahaan pers yang istilah teman-teman di forum ini adalah perusahaan pers yang kaffah, komprehensif lengkap dengan persyaratannya," paparnya. Dalam pantauan Djauhar, saat ini banyak perusahaan pers asal bikin dengan modal dengkul. Hal semacam itu tidak bisa dibenarkan. Perusahaan pers harus menggunakan modal yang cukup, modal uang, SDM (Sumber Daya Manusia), kecerdasan, dan sebagainya. Diakui Djauhar, sejak reformasi seolah- olah setiap orang merasa bebas menjadi wartawan, semua orang boleh bikin media. Tetapi mereka lupa terhadap berbagai ketentuan yang mengikat bahwa misalnya, di UU bahkan perusahaan pers harus menjamin kesejahteraan karyawan dan wartawannya. Tidak boleh misalnya, ini terjadi di berbagai daerah. Dia merekrut koresponden di mana-mana, tetapi mereka dijadikan konfortter. "Konfortter ini istilah Belanda. Polpoter itu mencari iklan, mencari pemasukan bagi media itu. Enak benar yang bikin media, dengan modal kecil lalu menyuruh orang mencari uang. Pemilik modal tinggal ongkang-ongkang kaki. Ini kategori pemerasan terhadap karyawan atau wartawannya. Tidak bisa seperti itu," katanya. Diakui Djauhar bahwa FNN memang belum sepenuhnya melengkapi aplikasi secara penuh karena sejumlah persyaratannya belum penuh. Tetapi intinya kami melihat bahwa FNN didirikan oleh perusahaan pers yang secara otomatis masuk yurisdiksi sebagai perusahaan yang dapat beroperasi dan memperoleh perlindungan hukum. Dalam posisi ini lanjut Djauhar, menjadi kontroversi, ketika kemarin Kementerian Keuangan juga melaporkan produk FNN (maksudnya Majalah Forum Keadilan-red) yang memang itu produk opini yang diadukan oleh Kementerian Keuangan. "Tadinya mereka sebelumnya juga sudah menanyakan apakah ini diterbitkan oleh perusahaan pers atau bukan, ya kami jawab bahwa itu perusahaan pers. Kalau perusahaan pers penyelesaiannya di Dewan Pers bukan di kepolisian atau pengadilan. Jadi, kita harus tahu hak dan kewajiban masing-masing," tegasnya. Djauhar menekankan, jika ada masalah pemberitaan maka mediasi terlebih dahulu melalui Dewan Pers. "Pada prinsipnya produk jurnalistik tidak boleh dikriminalisasi. Orang cuma salah ngomong saja, cuma kesalahan, dan kekeliruan biasa, bukan kesalahan fatal. Produk jurnalistik harus semuanya melalui proses verifikasi. Kasus Hersu sudah melakukan itu. Bahwa itu tidak diberitakan sekaligus, tidak masalah, itu kan model. Model bisa macam-macam," paparnya. "Sekali lagi saya tegaskan, berkaitan dengan sengketa pemberitaan seharusnya penyelesaiannya sesuai UU Pers melalui Dewan Pers. Soal tidak memuaskan, itu relatif. Saran saya Perusahaan Pers harus segera melakukan verifikasi ke DP biar mendapat perlindungan hukum secara utuh," ucapnya. (sws)

Keterangan Pers FNN tentang Pelaporan DPD PDIP DKI Jakarta atas Wartawan Kami Hersubeno Arief

Jakarta, FNN - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DKI Jakarta melaporkan jurnalis senior Hersubeno Arief ke Polda Metro Jaya atas dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks soal Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri sakit dan menjalani perawatan di rumah sakit. “Soal ramai kabar hoaks Ibu Megawati Soekarno Putri mengalami sakit, hari ini kami resmi melaporkan ke Polisi agar Kepolisian bisa melaksanakan dan bekerja secara profesional,” kata Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta, Ronny Talapesi, di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (15/09/2021), seperti diberitakan banyak media. Untuk meluruskan pemahaman yang keliru tentang penyelesaian sengketa pemberitaan, kami memberikan klarifikasi sebagai berikut. 1. Bahwa kami banyak mendapat pertanyaan/permintaan wawancara tentang tanggapan kami atas pelaporan tersebut. 2. Bahwa konten channel Youtube Hersubeno Point, FNN merupakan produk jurnalistik dari FNN. Segala sesuatunya diatur dan tunduk pada UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. 3. Secara keseluruhan konten berjudul : Ketum PDIP Megawati Dikabarkan Koma dan dirawat di RSPP yang di-upload Hari Kamis tanggal 9 September 2021 dengan durasi 12.43 menit sama sekali tidak mengandung unsur hoax. Akan tetapi, menyajikan adanya informasi berita di berbagai platform percakapan (WAG), medsos dan Portal media. 4. Mengenai kalimat yang dipersoalkan bahwa sdr Hersubeno mengaku mendapat WA dari seorang dokter : Megawati Koma. ICU RSPP. Valid 1.000 persen harusnya dilihat secara utuh, bahwa Sdr Hersubeno menyatakan itu masih harus diverifikasi. Artinya Sdr Hersubeno sudah memberi catatan bahwa berita itu belum tentu benar. Jadi dimana hoax-nya? 5. Pada kalimat akhir video Sdr Hersubeno juga mengingatkan bahwa setiap kali mendengar berita yang simpang siur jangan langsung percaya. Perlu bersikap skeptis, melakukan verifikasi, mencari informasi, konfirmasi, apakah berita itu cukup kredibel. Atau hanya rumor. 6. Setelah itu, dalam konten tersebut sebagai penutup juga ditampilkan berita yang dikutip dari portal Tempo.co tentang bantahan dari Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto bahwa Ibu Megawati dirawat di Rumah Sakit. 7. Jadi sekali lagi sangat jelas tidak ada sama sekali unsur menyebar hoax, kabar bohong sebagaimana dilaporkan. Konten itu bersifat konfirmasi atas simpang siur Kesehatan Megawati. 8. Kami mengimbau kepada rakyat untuk tidak terbiasa menyimpulkan, apalagi kemudian melaporkan sebuah berita/konten yang hanya bersifat sepotong-sepotong, atau hanya berupa kutipan dari media. Sehingga missleading. 9. Apabila keberatan dengan sebuah berita/konten bisa menggunakan mekanisme hak jawab. Sebagaimana ketentuan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 1, 5, 11, dan Pasal 15. Media wajib menayangkan hak jawab segera setelah diterima. 10. Bila hak jawab tidak segera dimuat, maka pihak yang merasa dirugikan dapat melaporkan ke Dewan Pers. 11. Dalam kasus pemberitaan tentang Kesehatan Ibu Megawati, tanpa diminta pun, sebagai pertanggungjawaban dan menjaga keseimbangan informasi, kami melalui chanel Hersubeno Point langsung menayangkan pernyataan Megawati bahwa dirinya sehat wal afiat . 12. Pernyataan Megawati yang disampaikan pada pembukaan TOT Kader PDIP pada Hari Jumat 10 September 2021 dimuat pada hari yang sama, Jumat 10 September 2021 dengan judul : *Breaking News! Ketum PDIP Megawati Sehat Wal Afiat.* 13. Pernyataan Ibu Megawati kami muat secara utuh dengan durasi sepanjang 9.18 menit. 14. Dengan penjelasan tersebut kami menilai apa yang dilakukan DPD PDIP DKI Jakarta melaporkan kasus tersebut ke Polda Metro Jaya TIDAK TEPAT. 15. Pertama, tidak terdapat unsur kabar bohong dan hoax. Yang tepat adalah konfirmasi atas kabar, rumor yang beredar di masyarakat. 16. Kedua, bila dianggap ada yang tidak tepat pada pemberitaan sebuah media, hendaknya membawa kasus tersebut kepada Dewan Pers, bukan kepada polisi. Hal itu sesuai dengan MOU antara Dewan Pers dengan Kapolri Nomor 2/DP/MoU/II/2017. Perlu saya tambahkan juga dan meminta kepada semua pihak supaya menonton video Hersubeno Arif secara utuh. Sekali lagi saya tegaskan bahwa konten tersebut adalah karya jurnalistik yang dilindungi UU dan Kode Etik Jurnalistik. Bentuk-bentuk chek and rechek sudah dilakukan, baik dalam video pertama maupun video berikutnya berjudul, " Megawati Sehat Walafiat." Pernyataan petinggi PDIP seperti Aria Bima yang dibacakan Hersubeno adalah salah satu bentuk chek and rechek, sehingga beritanya berimbang sebagai bentuk karya jutnalistik. Terakhir, kami sangat menyesalkan langkah pelaporan tersebut. Kami tegaskan sekali lagi, semestinya gunakan hak jawab terlebih dahulu ke FNN dengan tembusan ke Dewan Pers. Nah, mengapa menyesalkan langkah hukum? Karena di negara hukum yang berdasarkan Pancasila, masih ada yang tidak mengerti dan memahami aturan perundang-undangan dan hukum, terutama yang mengatur kebebasan pers. Demikian penjelasan ini kami sampaikan untuk mendudukkan persoalan, sehingga tidak terjadi kesimpang siuran informasi. Jakarta, 16 September 2021 Salam Pemimpin Redaksi Forum News Network (FNN) Mangarahon Dongoran Catatan : Jika masih perlu tambahan informasi silahkan kontak ke HP/WA : 0816854365

Hak Jawab Dewan Pers Atas Berita Media Siber fnn.co.id Berjudul: “Dewan Pers Intimidasi Majalah Forum Keadilan”

Jakarta, FNN - Menanggapi berita Media Siber fhn.co.id yang berjudul: “Dewan Pers Intimidasi Majalah Forum Keadilan", https://fnn.co.id/2021/08/24/dewan-pers-intimidasi-majalah-forum-keadilan/ Dewan Pers menyatakan: Benar bahwa Dewan Pers telah mengundang redaksi Forum Keadilan melakukan mediasi pada Selasa, 24 Agustus 2021, melalui aplikasi zoom atas pengaduan kantor Kementerian Keuangan terhadap berita yang berjudul, “Rp. 75 Miliar Untuk XI DPR Hancurkan BPK,” (Nomor 22/XXX, edisi 01 — 14 Agustus 2021). Mediasi yang dilakukan pada hari Selasa tersebut merupakan mediasi kedua, setelah pada undangan mediasi sebelumnya, pihak Forum Keadilan (Teradu) tidak dapat hadir, sedangkan pihak Kementerian Keuangan Republik Indonesia Kemenkeu RI (Pengadu) hadir dan memberikan klarifikasi kepada Dewan Pers. Pada mediasi kedua, Selasa 24 Agustus 2021, pihak Pengadu (Kantor Kemenkeu RI) hadir dan pihak Forum Keadilan juga hadir dengan diwakili Oleh saudara Mohamad Toha (Redaktur Eksekutif), Zainul Arifin (Redaktur Pelaksana) dan Rimbo Bugis (Redaktur). Mereka mewakili saudara Lutfi Pattimura (Pemimpin Redaksi) yang berhalangan hadir. Sesuai dengan prosedur mediasi di Dewan Pers, pihak Pengadu (Kemenkeu RI) dipersilakan terlebih dulu memberikan keterangan, dalam hal ini memberikan progres report kemungkinan perkembangan setelah mediasi pertama--pada Jumat, 13 Agustus 2021--dilakukan. Update ini diperlukan, sebab bisa saja terjadi perkembangan informasi terkait pihak Pengadu dan Teradu sepanjang menunggu jadwal mediasi kedua. Klarifikasi tersebut hanya berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Setelah selesai dengan Pengadu, Dewan Pers meminta mereka (Pengadu) menunggu di “ruang tunggu” Zoom. Selanjutnya tim mediasi meminta Teradu masuk ke Zoom meeting mediasi Pada sesi ini, tim Dewan Pers yang dipimpin oleh Anggota Dewan Pers Jamalul Insan yang didampingi oleh sejumlah anggota lain Dewan Pers dan Tenaga Ahli meminta klarifikasi kepada Teradu. Keberatan — keberatan dan Pengadu antara lam bahwa tulisan opini wartawan FK tersebut diduga melanggar kode etik, yang merugikan Menteri Keuangan Sri Mulyani karena mengarah kepada fitnah, tidak sesuai dengan fakta diklarifikasi kepada Teradu. Dalam klarifikasi tersebut, juga ditanyakan apakah benar nama wartawan yang menulis opini yang diadukan, adalah bukan nama sebenarnya. Hal ini perlu diklarifikasi, demi akuntabilitas atau pertanggungjawaban wartawan terhadap publik pembaca. Tidak ada satu Pasal pun di UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang menyatakan bahwa perusahan pers boleh menyembunyikan nama wartawannya. Hak Tolak, diatur pada pasal 4 UU Pers, namun ditujukan untuk melindungi narasumber. Pada kesempatan ini, Dewan Pers belum sempat meminta klarifikasi kepada Teradu atas dugaan Pengadu terkait ketidakajegan waktu terbit media Teradu. Klarifikasi ini penting untuk memastikan apakah media Teradu sesuai dengan Standar Perusahaan Pers (Peraturan Dewan Pers Nomor 3/2019). Dewan Pers juga mengklarifikasi proses kerja di redaksi Forum Keadilan untuk memastikan standar kerja pers yang lazim berlangsung di news room di media Teradu. Apa yang dilakukan oleh Dewan Pers dalam proses tersebut adalah klarifikasi yang diperlukan untuk menjaga kemerdekaan pers tetap berada dalam koridor Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta Kode Etik Jurnalistik. Setelah sesi klarifikasi dengan Teradu, akan dilanjutkan dengan sesi ketiga, yakni pertemuan tiga pihak antara Pengadu, Teradu, dan Dewan Pers, untuk penyelesaian pengaduan. Dewan Pers menyiapkan rancangan Risalah Penyelesaian Pengaduan untuk memperoleh kesepakatan para pihak. Namun pada sesi kedua ini, teradu dengan alasan kesibukan pamit meninggalkan room mediasi, dengan pesan bahwa teradu tetap berpegangan pada suratnya kepada Dewan Pers hanya menunggu hak jawab dari pengadu. Dalam Risalah ini dimasukkan temuan Dewan Pers atas klarifikasi terhadap Pengadu dan Teradu. Pun, ada atau tidaknya pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik atas berita yang diadukan sebagai bentuk ajudikasi yang dilakukan Dewan Pers terkait amanat Kode Etik Jurnalistik yang menyebutkan “Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers”. Kemudian para pihak diminta tanggapannya atas draft/rancangan Risalah tersebut. Jika mereka setuju, Risalah akan ditandatangani para pihak dan Dewan Pers. Jika salah satu pihak atau kedua pihak tidak setuju atas rancangan Risalah itu, maka Dewan Pers akan mengambil keputusan melalui Sidang Pleno Dewan Pers berupa Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR). PPR ini bersifat final dan mengikat. Semua langkah-langkah Dewan Pers ini sesuai dengan Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers (Peraturan Dewan Pers No. 01/2017). Dewan Pers perlu menggarisbawahi bahwa sesuai Pasal 15 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers antara lain berfungsi, pada butir h, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Dewan Pers juga perlu mengingatkan bahwa sebagai media siber fnn.co.id wajib menaati Pedoman Pemberitaan Media Siber (Peraturan Dewan Pers No.1/2012) yang pada angka huruf a dan b menyebutkan bahwa setiap berita harus melalui verifikasi, serta berita yang merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan. Demikian Hak Jawab Dewan Pers, semoga kita bisa menjaga marwah kemerdekaan pers secara profesional. Jakarta, 27 Agustus 2021. Dewan Pers Mohammad Nuh Ketua Dewan Pers Hak Jawab Dewan Pers ini baru dapat diunggah FNN.co.id hari ini Kamis 02 September 2021, karena baru diketahui oleh Pimpinan Redaksi pada hari ini Kamis 02 September 2021, sebagai akibat dari kebijakan manajemen FNN.co.id bahwa semua pekerjaan dikerjakan dari luar kantor, termasuk rumah. Penjaga kantor hanya datang ke kantor FNN.co.id di Jalan Majapahit No 26 Blok AF Jakarta Pusat 10160 3-4 hari sekali sebagai bentuk ketaatan seluruh awak FNN.co.id kepada kebijakan pemerintah menerapkan PPKM Darurat, PPKM Level-4 dan PPKM level-3. Selain itu, pada tanggal 23 Agustus 2021 lalu penjaga kantor FNN.co.id sempat mengalami gejala OTG (Orang Tanpa Gejala) berupa hilang penciuman dan rasa, sehingga harus menjalani isolasi mandiri. Kantor FNN.co.id diliburkan sampai hari Kamis tanggal 02 September 2021. Alhamdulillaah hari ini sudah bisa ke kantor lagi. Redaksi

Wartawan Penting Periksa Ulang Sumber dalam Era Banjirnya Siaran Pers

Mataram, FNN - Seorang pewarta atau wartawan sangat penting untuk bisa memeriksa ulang kebenaran sumber berita dari siaran pers yang saat ini sangat banyak beredar dan membanjir secara online. Kepala Biro Perum LKBN ANTARA Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riza Fahriza di Mataram, Ahad mengatakan pentingnya cek and ricek siaran pers untuk memastikan kebenaran sumber yang menyampaikan informasi dan untuk lebih memahami maksud dari sebuah siaran pers agar selanjutnya dapat diolah menjadi berita yang layak siar ke publik. ​​​​​​​ Ketika beribicara pada Diskusi Jurnalistik bertema "Rilis dan Berita di Media" yang digelar Bale Media di Sekretariat Tangan Berbagi di Mataram, Sabtu(28/8), Riza menyarankan bagi wartawan yang tidak dapat memahami sebuah siaran pers, sebaiknya menangguhkan pemberitaan agar tidak menjadi bias bagi masyarakat pembaca. "Bisa dibayangkan berita yang dibuat wartawan tanpa pemahaman dan sekedar meneruskan isi siaran pers. Berita itu bisa mendatangkan masalah,'' ucapnya. ​​​​​​​ Hal senada disampaikan praktisi media Sukri Ray Aruman yang menyebutkan persoalan cek and ricek wajib dilakukan sebelum menaikkan berita apalagi berita yang dinilai akan bermasalah. Sebenarnya, kata Ray, sebuah berita akan memiliki nilai lebih jika redaktur atau penanggung jawabnya memiliki pemahaman lebih baik dari wartawannya. "Ini bisa menjadikan media bersangkutan memiliki karakter,” katanya. Sementara praktisi hukum yang juga Relawan Sahabat Anak, Yan Mangandar Putra meminta media dalam menulis berita jangan sampai justru melakukan pembunuhan karakter seseorang terutama ketika mengangkat berita terkait anak-anak. "Selain UU Pers dan ITE, Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) juga harus menjadi pedoman, dalam penulisan berita,” katanya. Dengan memahami PPRA, Yan berharap anak anak tidak menjadi korban dua kali. “Ingat, anak-anak punya masa depan. Jangan sampai karena pemberitaan, dia kehilangan harapan,” katanya. (mth)

PB PON Papua Siapkan Kartu Pengenal bagi 1.157 Wartawan

Jayapura, FNN - Panitia Besar Pekan Olahraga Nasional (PB PON) XX Papua menyiapkan kartu pengenal bagi 1.157 wartawan se-Indonesia yang akan meliput pesta olahraga empat tahunan tersebut. Wakil Sekretaris IV Bidang Humas dan PPM PB PON Papua, Kadkis A. Matdoan, dalam siaran pers di Jayapura, Jumat, mengatakan jumlah tersebut merupakan hasil pendaftaran wartawan peliput PON secara mandiri maupun kolektif dari media dan KONI se-Indonesia, yang dibuka secara daring pada 1 Juli 2020 hingga 1 April 2021. "Angka itu, juga ditambah dengan pendaftaran yang dilakukan secara luring pada waktu yang sama," katanya. Menurut Kadkis, jumlah ini akan terbagi ke empat klaster, yaitu Kota dan Kabupaten Jayapura, Merauke serta Mimika, di mana data ini akan diaporkan ke pimpinan untuk difinalkan dan sudah tidak ada lagi tambahan wartawan (setelah pendaftaran ditutup). "Sementara sebanyak 1.157 wartawan peliput PON XX tersebut, akan disediakan akomodasi, konsumsi dan transportasi lokal di masing-masing klaster," ujarnya. Dia menjelaskan para wartawan juga mendapatkan fasilitas di seluruh media center, di antaranya komputer, jaringan internet serta peralatan pendukung lainnya. "Sementara menyoal penerbitan kartu pengenal, dipastikan segera rampung dalam waktu dekat sebab proses lelang pembuatan kartu identitas wartawan peliput PON, serta atlet maupun ofisial sudah selesai," katanya. Sekadar diketahui, database 1.157 wartawan peliput PON sebelumnya resmi diserahkan Ketua Tim Verifikasi Wartawan Peliput PON Papua Hans Alfaro kepada Wakil Sekretaris IV Bidang Humas dan PPM PB PON Papua, Kadkis A. Matdoan pada Selasa (10/8). Sebanyak 1.175 wartawan peliput PON hasil verifikasi terdiri dari media Papua 457 orang, TV nasional 84 orang, media online nasional 81 orang, media cetak nasional 25 orang serta media kontingen 246 orang. Kemudian TVRI pusat 158 orang, RRI pusat 52 orang, wartawan Humas Kemenpora 49 orang dan wartawan SIWO PWI 5 orang. (mth)