ALL CATEGORY

Negara Ini Butuh Patriot bukan Anak Idiot

Oleh Sutoyo Abadi| Koordinator Kajian Merah Putih  (Kami bukan pembangun kuil. Kami hanya pembawa batu. Kita adalah generasi yang harus binasa. Semoga tumbuh generasi lebih baik bangkit dari kubur kita ) - (Henriëtte Roland Holst). Puisi merefleksikan kiprah dan kesucian hati para ksatria yang telah mendahului kita. Para pejuang bertarung menyabung nyawa dengan semboyan: “Merdeka atau Mati” -- sebuah semboyan yang kini terasa absurd, dengan lahirnya generasi yang kosong dari nilai nilai perjuangan para pendahulu kita. Mempertaruhkan nyawa untuk mencapai kemerdekaan, mereka berjuang menempuh bahaya yang sangat besar. Itu semuanya mereka lakukan demi kemerdekaan, demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia, “agar tumbuh generasi dan pemimpin yang lebih sempurna....” Dugaan kuat Jokowi apalagi Gibran sangat mungkin tidak mengetahui, bahwa konstitusi menyebutkan negara ini berbentuk Republik.  Para pejuang dulu dijuluki kaum “Republikein”.  Sangat mengerikan akibat kosong nilai dan buta sejarah tingkah para pemimpin kita saat ini  menjadi lebih feodal, kalau tidak lebih zalim, hanya semata mempertahankan kekuasaan. Akibatnya kurang menyadari bahwa dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang dalam, yakni \"respublica atau kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya\" Frasa “cinta tanah air” juga mengalami penyimpangan makna. Konsep “patriotisme”, padanannya, seperti terpinggirkan dari kosakata perpolitikan Indonesia, dan sebagai gantinya justru lebih mengemuka konsep “nasionalisme”.  Kedua konsep memang sama-sama menggugah sentimen nasional, dan keduanya sama-sama dapat membangkitkan kekuatan dahsyat. Tetapi di balik kesamaan itu ada garis tebal yang memisahkannya. Musuh masing-masing juga berbeda : Musuh patriotisme adalah _\"segala jenis tirani, ketidakadilan, dan korupsi\"_. Sementara bagi \"nasionalisme” yang dimusuhi adalah \"pencemaran budaya, ketidak utuhan, serta segala sesuatu yang berbau asing\" Elan “cinta tanah air” dalam arti “patriotisme” itulah yang seharusnya selalu disenandungkan kaum muda berjiwa patriot, seperti pernah diperagakan oleh para pejuang kemerdekaan.  Patriotisme  menuntut  khususnya anak muda menjadi calon pemimpin memiliki kepribadian,  peduli dan memahami terhadap denyut kehidupan rakyat,  anti ketidak adilan, penindasan dan penjajahan gaya baru. Bukan anak muda ingusan yang hanya bisa berjoget-joget model _\"gemoy\"_ yang menjijikkan seperti anak editor, terkesan liar dan tidak terdidik.  Bukan anak bodoh yang akan dibesarkan menjadi boneka oligarki. Kerajaan Inggris yang dikenal begitu liberal ternyata masih mewarisi aspek tertentu dalam Republikanisme. Apa bunyi seruan itu?.  “Your Country Needs You” --Negeri Membutuhkan Anda. Dan anak raja sebelum masuk sebagai bagian pemimpin negara terlebih dahulu di tempa wajib militer bahkan harus terjun di medan perang. Bukan langsung jadi kandidat Cawapres yang tidak terdidik tanpa rekam jejak sebagai pejuang atau patriot. Negara buruh patriot bukan anak ediot. ***

Anis Matta Blusukan ke Sidoarjo Temui Bumil, Sosialisasikan Program GEN 170

JAKARTA | FNN  - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta turun melakukan konsolidasi pemenangan di Jawa Timur (Jatim).  Di sela-sela acara konsolidasi tersebut, Anis Matta menyempatkan diri menyapa para ibu hamil (bumi) di Desa Wedoro, Kecamatan Waru, Sidoarjo, Jatim. Anis Matta juga menyempatkan diri blusukan ke wilayah Waru yang berada di perbatasan antara Kabuoaten Sidoarjo dengan Kota Surabaya untuk mensosialisasikan program GEN 170, memberikan edukasi dan bantuan makanan bergizi kepada ibu hamil alias bumil. Dalam blusukan itu, Anis Matta disambut antusias oleh para ibu hamil yang ada di kawasan Wedoro, demikian juga para kader penggerak Posyandu. Mereka mengapresiasi ada partai yang peduli pada ibu hamil. Anis Matta telihat didampingi Ketua Bidang Teritori III DPN Partai Gelora Ahmad Zainudin, Ketua DPW Partai Gelora Jawa Timur Muhammad Siroj (Gus Sirot dan Sekretaris DPW Misbakhul Munir (Gus Misbakh). Ketua Bidang Perempuan DPN Ratih Sanggarwati dan aktivisi perempuan Partai Gelora peduli Pendidikan Neno Warisman juga terlihat hadir menemani Anis Matta blusukan. Dalam kesempatan itu, Anis Matta menanyai satu persatu para bumil mengenai proses kehamilannya dan memberikan dukungan moril secara penuh kepada mereka. Anis Matta menyampaikan, jika Partai Gelora menang, maka para bumil akan dirawat negara, mendapatkan bantuan gizi, sehingga anak-anak tidak stunting, serta dapat membantu ekonomi keluarga.  Ketika anak-anak sekolah para orang tua juga tidak perlu repot, karena anak-anak mereka mendapatkan berbagai bantuan pendidkan, termasuk susu dan makan siang gratis. Bahkan saat lulus sekolah lanjutan atas (SMA) pun, anak-anak juga akan mendapatkan jaminan kuliah gratis. Partai Gelora, kata Anis Matta, telah mencanangkan program GEN 170 pada 2021 lalu. Program ini untuk membentuk generasi masa depan yang sehat dan kuat dengan tinggi minimal 170 cm. \"Ini program Gelora yang dicanangkan mulai tahun 2021 di Tangerang, Banten. Jadi tidak ada hubungannya dengan polemik asam sulfat atau asam folat. Sejauh ini yang saya tahu asam lambung, banyak dialami Kader Gelora karena sering blusukan di dapil,\" kata Anis Matta, Sidoarjo, Sabtu (9/12/2023). Menurut Anis, untuk menciptakan generasi yang sehat dan kuat, harus dipersiapkan sejak dini, bukan direkayasa tapi direncanakan dengan baik mulai dari bayi dalam kandungan, pra kelahiran, masa usia sekolah, hingga menempuh pendidikan tinggi. Anis Matta berharap Gerakan \'GELORAKAN GEN 170’\'dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, melalui peningkatan postur fisik atau tinggi badan 170 cm, serta mencegah terjadinya stunting. Ia mengatakan, keberadaan Gelora memperkuat fungsi Posyandu yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Gerakan ini bentuk kepedulian Partai Gelora kepada ibu hamil dan bayi dalam kandungan yang merupakan generasi masa depan bangsa. \"Mudah-mudahan ibu-ibu hamil yang kami kunjungi ini bayinya ditakdirkan menjadi bayi kuat dan unggul, tinggi badannya minimal 170 cm,\" katanya.  Anis Matta pun didaulat seorang ibu hamil untuk memberi nama calon anaknya. Orang nomor satu di Partai Gelora itu pun memberikan nama Khalid. \"Saya beri nama anak ini Khalid yang artinya abadi,\" pungkasnya. (Ida)

Gemoy yang Tak Sekadar Goyang: Prabowo (Sepertinya) Tengah Belajar dari Bongbong Marcos

Oleh Ady Amar - Kolumnis Tiba-tiba Goyang Gemoy dimunculkan. Tampil bak penyihir mampu melenakan nalar. Tidak sekadar goyang lucu keriangan. Ada kekuatan di baliknya menyasar kalangan tertentu, yang melihat politik cuma dengan sebelah mata. Goyang gemoy tidak sekadar goyang layaknya penari dangdut bergoyang. Goyang gemoy menyimpan kekuatan dahsyat, berharap melenakan kaum milineal dan Generasi Gen Z. Tidak semua memang asyik dengan keriangan sebagai sesuatu mengasyikkan.  Bersamaan pula dengan itu dimunculkan narasi tak berdiri sendiri, bahwa Pilpres 2024 itu layak sebagai ajang pesta riang gembira. Dan, goyang gemoy jadi andalan dalam berhadapan dengan gagasan dan narasi calon pemimpin bangsa, yang coba diketepikan. Yang itu dikesankan tidaklah sebegitu penting dibanding keriangan goyang gemoy. Adalah Prabowo Subianto salah satu kandidat capres, yang diidentikkan dengan gemoy, yang bermakna menggemaskan. Maka, ia tampil kapan saja dengan goyang gemoynya, bahkan di sembarang tempat. Tak perduli di tempat tak biasa sekalipun, ia tak merasa risih memainkan peran yang tak seharusnya. Pada acara serius sekalipun, dan itu saat pengundian nomor urut pasangan calon (paslon), yang diselenggarakan KPU, Prabowo tak segan menunjukkan bakat barunya sebagai penghibur. Tak merasa jengah, meski jadi tertawaan, ia bergoyang gemoy di depan tokoh politik lainnya, setelah beri sambutan sekadarnya. Prabowo muncul sebagai sang penghibur yang menggelikan. Serasa biasa saja saat berganti peran dari yang biasa kita lihat: seorang yang acap dengan sikap temperamental menjadi gemoy. Semua dibuat mafhum, bahwa ia sedang berperan jadi-jadian, peran yang berharap dapat \"menyihir\" kalangan milenial dan Gen Z. Goyang gemoy jelas ingin menyasar kelompok itu, yang memang diperebutkan. Lebih dari 50% elektoral pemilih ada pada kelompok ini, yang melihat politik tidak sebagai hal prinsip. Padahal kebijakan politiklah, yang menentukan masa depan. Tidak bermaksud mengecilkan kelompok yang jadi rebutan ini, tapi zaman memang menciptakan generasi muda yang cuek pada hal yang semestinya lebih disikapi dengan serius. Karenanya, goyang gemoy bisa menyihir kelompok \"rentan\" ini, yang asyik dengan hiburan lucu keriangan. Menjadi pantas seorang Prabowo tak segan menjadikan diri \"gemoy\", meski kita sulit melihat sikap gemoy itu ada pada dirinya. Tapi satu hal memang, tak sembarang orang bisa memutar peran jadi sebalik perangainya, seperti peran yang diperankannya. Peran menantang yang sampai memutus urat malunya. Prabowo hanya melakukan peran yang disodorkan. Peran utama goyang gemoy. Siapa yang menyodorkan peran itu, atau siapa pengatur skenario dan sutradaranya, tentu tidaklah dirangkap Prabowo. Mengubah peran dari tidak mengasyikkan menjadi mengasyikkan, itu mengingatkan pada Ferdinand Marcos, Jr., atau akrab dipanggil Bongbong Marcos, Presiden Filipina saat ini. Generasi milenial dan Gen Z di Filipina memang tidak mengalami era kediktatoran Presiden Ferdinand Marcos, ayah Bongbong. Meski generasi ini melek iptek, tapi jauh dari pemahaman sejarah politik negerinya. Maka, sang diktator itu dipelintir mereka yang bekerja untuk Bongbong, seolah masa keemasan Filipina itu terjadi saat dijabat sang ayah. Padahal pada era itu pengadilan dinjak-injak, pun sektor bisnis, sampai mengontrol media massa. Rezim Marcos pun sampai saat ini tidak mampu mempertanggungjawabkan dana korupsi sebesar USD 10 miliar (Rp 114 triliun). Bongbong pun sebenarnya pernah dijatuhi hukuman sebagai pengemplang pajak (1995). Semua jejak kebusukan rezim ini dan keluarga dikaburkan. Milenial dan Gen Z dikenalkan dari yang sebaliknya. Bongbong yang semula punya perangai tak asyik, dibuat menjadi pribadi mengasyikkan. Itulah kerja konsultan politik, yang meski tak sampai meminta Bongbong untuk bergoyang gemoy seperti saat ini dipertunjukkan Prabowo. Bongbong diminta agar ia tak menghadiri forum perdebatan di muka publik. Agaknya itu kelemahan Bongbong, yang tak ingin ditampakkan. Adalah Brittany Kaiser, mantan karyawan perusahaan konsultan politik Inggris, membocorkan bahwa Bongbong mendatangi perusahaan itu untuk menyulap keluarganya menjadi berkebalikan. Artinya, merombak citra keluarganya. Meski bocoran Kaiser itu ditepis tim kampanyenya. Bongbong tahu persis, konsumsi media sosial di Filipina di atas rata-rata. Bermacam platform yang muncul tak mampu membendung disinformasi yang diciptakan, ini yang dimanfaatkan tim kampanyenya. Pendukung Bongbong tidak sekadar memanipulasi narasi. Mereka pun menernakkan akun-akun anonim, guna menyerang siapa saja yang coba mengungkap kebenaran. Ditambah pula kerja lembaga survei yang memposisikan Bongbong selalu di peringkat atas. Upaya menggiring opini keterpilihan. Persis fenomena yang muncul di negeri ini. Ditambah lagi, kekuatan Bongbong untuk memenangi kontestasi pilpres menjadi lebih perkasa, itu saat ia \"melamar\" Sara Duterte Carpio, perempuan berusia 43 tahun. Sara putri dari presiden petahana, Rodrigo Duterte. Karenanya, tanpa diminta pun sang ayah akan ikut _cawe-cawe_ memenangkan sang putri sebagai wakil presiden. Satu hal, Sara tidak perlu sampai meminta bantuan MK \"mengerek\" umurnya, seperti yang dilakukan Gibran Rakabuming Raka. Bongbong di Filipina--akhirnya menjadi presiden--dan Prabowo di Indonesia yang juga menggandeng Gibran, putra sulung Presiden Jokowi, sedang berupaya membangun citra mengasyikkan, khususnya di kalangan milenial dan Gen Z. Kelompok yang mesti dijauhkan dari informasi \"dosa\" masa lalu yang menempel, dan berusaha dihapusnya dengan manipulasi narasi, yang dibuat serba berkebalikan. Tidak persis tahu apakah Prabowo memakai jasa konsultan politik yang sama, sebagaimana yang pernah dipakai Bongbong untuk memenangkan pilpres di Filipina. Tidak ada yang tahu, atau setidaknya belum ada yang membocorkannya ke publik. Jika pun memakainya, itu tidaklah mengapa. Tidak ada aturan hukum yang ditabraknya. Maka, tidak masalah pula jika muncul analisa melihat fenomena Bongbong Marcos di Filipina, itu seperti melihat cermin, dan yang muncul wajah Prabowo Subianto. Ada kemiripan yang tak berdiri sendiri. Milineal dan Gen Z mesti disadarkan untuk bisa melihat fenomena yang muncul, yang tidak cukup cuma disikapi dengan keriangan. Itulah yang sepertinya sedang diupayakan kandidat lain saat mendekati kalangan itu, mengajak memilih dengan kritis dengan melihat gagasan dan rekam jejak kebaikan dari kandidat capres yang ada. Dan, memang itu yang mestinya jadi konsen untuk dipilih. Satu hal lagi, negeri ini sudah surplus penghibur, justru darurat munculnya pemimpin berintegtitas, yang akan membawa perubahan negeri ke arah lebih baik.**

Tuding Politik Dinasti Sri Sultan HB X, Ketum PKDN Rahman Sabon Nama : Ade Armando Punya Agenda Politik Terselubung, Culas dan Keji

Jakarta | FNN - Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN) Dr. Rahman Sabon Nama mengecam keras  pernyataan politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ade Armando yang memvonis pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau Keraton Yogyakarta Hadiningrat  menerapkan dan melanggengkan politik dinasti. “Mengaku diri akademisi, tetapi dia, Ade Armando, tidak paham bahkan tidak samasekali mengerti ihwal seluk-beluk  kepemerintahan DIY dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia, maupun kedudukan hukum Yogyakarta sebagai daerah istimewa,” kata Rahman, Jumat (8/12/2023). Rahman menyebut narasi Ade Armando  dalam video yang diunggah melalui akun-Xnya, @adearmando61 pada Sabtu (2/12) pekan lalu mengenai Pemerintahan DIY lebih bermuatan politik provokatif murahan.  “Apakah seperti itu, fatsun politik partainya Ade Armando?” tutur Alumnus Lemhanas RI ini geram. Dalam video itu, Ade Armando menarasikan bahwa politik dinasti  sesungguhnya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, lantaran gubernurnya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak dipilih melalui Pemilu, melainkan menjadi gubernur berdasarkan garis keturunan. Menurut Rahman, cicit buyut pahlawan Adipati Kapitan Lingga Ratu Loli, narasi Ade Armando itu merupakan kekerasan verbal penuh cibiran dan fitnah yang melukai tidak hanya Sultan  Yogyakarta, tetapi juga para raja dan sultan seantero Nusantara.  Rahman menandaskan, bahwa PDKN Psrpol Non Kontestan Pemilu 2024 yang mewadahi aspirasi politik dan demokrasi para raja dan sultan kesultanan di Nusantara Indonesia mengecam keras narasi lancang penuh kekerasan verbal dan tak berakhlak, yang diucap dan disebar-luaskan Ade Armando lewat media publik.  Kata Rahman,  Ade Armando yang kerap menyebut dirinya akademisi, telah mempertontonkan level intelektualitas-akademisnya yang sangat jauh di bawah standar.  Sungguh sangat memalukan dirinya, juga membuat malu almamater akademikanya, ” imbuh pria asal Pulau Adonara NTT ini. Menurutnya, sebagai politisi PSI, narasi yang dibangun Ade Armando tentang pemerintahan DIY dengan menyebut secara telanjang nama Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur dinasti berdampak serius dan buruk terhadap PSI. Terlebih di tengah menghangatnya dinamika politik jelang Pemilu 2024. Akademikus cetek pikir dan politikus dadakan ini, kata Rahman Sabon melabeli Ade Armando, boleh jadi punya agenda terselubung membentangkan garis diametral antara kesultanan-kerajaan se-Nusantara dengan Negara Kesatuan RI.  “Selain mencibir, dia seakan sengaja merasuk untuk membangkitkan semangat solidaritas para sultan-raja di Nusantara, agar menarik kembali mandat kekuasaan mereka yang telah diamanatkan lewat presiden pertama Soekarno dalam membentuk sebuah negara kesatuan yang berdaulat yaitu Republik Indonesia,” kata Rahman. Menurutnya, petinggi PSI itu, telah menempuh cara-cara politik fitnah yang keji dan culas.  Karena itu, Rahman mendesak, agar Ade Armando yang pernah menarasikan “Tuhan bukan orang Arab”, harus diusut tuntas oleh penegak hukum.  “Dia harus pertanggungjawabkan fitnah politiknya yang keji tentang pemerintahan DIY/Keraton Yogyakarta Hadiningrat dibawah kepemimpinan YM Sri Sultan Hamengku Buwono X dan YM  Kanjeng Gusti Pengeran Adipati Aryo Paku Alam X.” Pungkas Rahman Sabon Nama.--***

Jejak Intervensi Pemberantasan Korupsi oleh Jokowi (Bagian 1): Niat dan Aksi Melumpuhkan KPK

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) 1. Kesaksian Agus Rahardjo, Ketua KPK 2015-2019, di KompasTV (30/11/23) mengguncang istana dan senayan. Agus Rahardjo memberi kesaksian, Jokowi minta kasus penyidikan korupsi e-KTP Setya Novanto dihentikan. Artinya, Jokowi telah melakukan intervensi terhadap KPK, dan berupaya menghalangi pemberantasan tindak pidana korupsi. Kemudian, DPR mulai menanggapi kemungkinan menggulirkan hak interpelasi. Yaitu hak DPR untuk menyelidiki apakah Jokowi benar melakukan intervensi kasus korupsi. 2. Sebelumnya, Jokowi memang sudah terbaca mempunyai niat (mens rea?) untuk melemahkan pemberantasan korupsi yang merupakan amanat reformasi, melalui ketetapan (TAP) MPR No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (TAP Anti-KKN), yang kemudian melahirkan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 3. Kemudian, TAP MPR Anti-KKN tersebut diperkuat dengan TAP MPR No VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 4. Semua itu akhirnya melahirkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), yang diposisikan sebagai lembaga negara yang independen, yang mempunyai tugas khusus untuk melakukan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme secara tegas terhadap siapapun, termasuk Presiden. Oleh karena itu, KPK tidak boleh berada di bawah, dan tidak tunduk pada, pengaruh kekuasaan Presiden. 5. Hal ini dituangkan di dalam Pasal 3 UU KPK, yang berbunyi: “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.” 6. Di dalam Pandangan Umum UU KPK juga dijelaskan: “Penegakan hukum …. Konvensional …. terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan … pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, ...” 7. Dan dipertegas lagi: “Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang …. terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.” 8. Oleh karena itu, pemilihan pimpinan KPK dilaksanakan oleh Panitia Seleksi yang independen, di mana hasil seleksinya kemudian diberikan kepada presiden. Setelah itu, Presiden akan memilih dan menyerahkan 10 nama calon pimpinan KPK (2 kali jumlah pimpinan KPK) kepada DPR. Dari 10 nama calon pimpinan KPK tersebut, DPR akan memilih dan menetapkan 5 pimpinan KPK. 9. Proses rekrutmen pimpinan KPK seperti itu menunjukkan KPK sebuah lembaga negara independen, di mana keanggotaan pimpinannya tidak diangkat oleh Presiden, dan tidak tunduk di bawah kekuasaan manapun, termasuk Presiden. 10. KPK sebagai lembaga independen nampaknya membuat Jokowi kurang nyaman. Jokowi terlihat jelas ingin menguasai KPK, dan membuat KPK berada di bawah kekuasaan Presiden. 11. Langkah “kecil” pertama yang dilakukan Jokowi adalah menerbitkan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) pada 18 Februari 2015, yaitu hanya 4 bulan setelah dilantik sebagai Presiden. Isi PERPPU pada dasarnya memberi wewenang kepada Presiden untuk mengangkat pimpinan KPK ketika terjadi kekosongan jabatan pimpinan KPK. 12. “Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyebabkan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berjumlah kurang dari 3 (tiga) orang, Presiden mengangkat anggota sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sejumlah jabatan yang kosong.” 13. Artinya, tata cara pengangkatan pimpinan KPK yang diatur di dalam PERPPU, dilakukan tanpa proses panitia seleksi, tanpa persetujuan DPR, dan tanpa partisipasi masyarakat, jelas melanggar UU KPK, dan melanggar prinsip KPK sebagai lembaga independen yang tidak tunduk terhadap kekuasaan manapun, seperti dimaksud TAP MPR, UU Tipikor, dan UU KPK. 14. Kalau benar sampai terjadi kekosongan jabatan paling sedikit 3 pimpinan KPK, maka Jokowi bisa mengangkat orangnya, dan menguasai mayoritas pimpinan KPK yang terdiri dari 5 orang, sehingga membuat KPK praktis di bawah atau tunduk pada kekuasaan Presiden, secara personalia. 15. Tetapi, upaya awal untuk menguasai KPK tersebut, hanya 4 bulan setelah dilantik, tidak berjalan lancar. Karena sampai 2019 tidak pernah ada kekosongan jabatan pimpinan KPK. 16. Tidak lama kemudian terjadi insiden Agus Rahardjo, yang pada dasarnya membongkar motif atau niat Jokowi untuk menguasai KPK yang sesungguhnya. Sepertinya untuk melindungi dan menghalangi pemberantasan korupsi? Dua peristiwa tersebut di atas, yaitu insiden Agus Rahardjo dan PERPPU KPK tentang pengisian kekosongan jabatan pimpinan KPK, menunjukkan bahwa niat untuk intervensi KPK dan menghalangi pemberantasan korupsi sudah dibuktikan dengan tindakan nyata (actus reus?). Bersambung …. KPK Dalam Cengkeraman Presiden. —- 000 —-

Asam Sulfat, Gemoy, dan Gaspol Kebodohan

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  BAHASA gaul gemoy sebagai pelesetan dari gemas kini ditempelkan pada pasangan Capres/Cawapres Prabowo-Gibran. Awalnya adalah teriakan kader PSI saat mendukung Prabowo sebagai Capres. Menurut KBBI gemas itu mengandung sedikit jengkel. Dalam bahasa gaul gemoy itu ada nilai lucu.  Tetapi tidak lucu ucapan Gibran dalam sebuah pertemuan di Jakarta Selatan bervideo viral. Ibu hamil perlu dicek apakah kekurangan asam sulfat dan yodium atau tidak. Itu untuk mencegah stunting. Ramailah dunia medsos atas hubungan asam sulfat dengan ibu hamil itu. Apakah ucapan Gibran itu \"slip of tongue\" ?  Tampaknya bukan \"slip\", sebab soal  \'cewek-cewek\' cek anemia dan ibu hamil cek yodium dapat difahami. Namun soal asam sulfat itu soal salah pengetahuan. Mungkin Gibran menyamakan asam sulfat dengan sayur asam.  Satu hari kemudian Gibran meminta maaf dan mengoreksi bahwa asam sulfat itu asam folat. Asam sulfat yang berumus kimia H2SO4 adalah zat anorganik kuat bersifat korosif yang digunakan untuk industri. Zat kimia ini merupakan bahan deterjen, pewarna, pembuatan pupuk dan bahan peledak. Bukan untuk ibu hamil. Bila diberikan kepada ibu hamil mungkin meledak.  Gibran tentu bukan sedang meledek. Hanya kekurangfahaman saja. Tapi publik dapat menilai kualitas Calon Wakil Presiden hasil \"rekayasa genetika\" MK ini. Memang ia belum pantas. Kata orang Sunda mah \"henteu kaelmuan\", \"henteu kaawakan\" dan \"henteu kabengeutan\". Gibran bertambah gelar dengan \"asam sulfat\" akibat sibuk kampanye stunting. Bagi-bagi susu bukan tugas Cawapres. Tugaskan saja dinas kesehatan setempat. Tapi namanya kampanye ya itulah segala bisa diada adakan. Akibatnya asam sulfat menjadi untuk ibu hamil. Tapi karena tidak ada masalah yang dianggap serius meskipun salah ya gemoy gemoy saja.  Tempo edisi terbaru cukup menarik untuk tema Gemoy-Gemoy Gapol. Ada figur seperti Prabowo dan Gibran yang digambarkan gemuk pendek dan kurus tinggi. Mungkin untuk sekedar lucu-lucuan. Maklum kampanye Prabowo dan Gibran ada juga gimmick seperti anak-anak kecil.  Gimmick itu tampilan atau adegan tiruan yang berefek kejutan. Bisa juga tipuan. Menurut KBBI gimik atau gimmick adalah gerak gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran.  Kampanye Prabowo Gibran ternyata sarat dengan gimmick. Pantas saja jika Tempo membuat gambar gemuk pendek dan kurus tinggi untuk Gemoy-Gemoy Gaspol.  Gibran memang menggemaskan dan menjengkelkan. Gibran \"asam sulfat\" memang gemoy. Gemoy asoy geboy.  Pertanyaan serius adalah apakah kampanye gimmick itu membodohi atau mencerdaskan? Pastinya membodohi. Tapi bagi orang bodoh sih ya masa bodoh. Maklum rezim Jokowi adalah rezim gemoy dan gaspol kebodohan. (*)

Menakar Kesaktian Cawe-cawe Presiden

Oleh Dr. Anton Permana, SIP.,MH (Direktur Tanhanna Dharma Mangrva (TDM) Institute) Polarisasi tiga pasangan kandidat Pilpres hari sesungguhnya cukup surprise bagi banyak pihak. Yang sebelumnya teman jadi lawan, yang dulunya lawan menjadi teman. Artinya, pepatah tua tentang politik di Indonesia itu memang benar yaitu, “Tidak ada kawan yang abadi dalam politik, yang abadi hanya kepentingan”. Di pihak istana contohnya, yang merasa direndahkan dan sering dipermalukan di hadapan publik sebagai petugas partai politik, malah saat ini seakan memperlihatkan kepada kita semua bahwa dirinya adalah seorang king maker yang full power serta menakutkan bagi semua orang. Sedangkan di suatu sisi, kelompok merah menganggap pihak istana adalah anak durhaka, penghianat, karena lebih mengutamakan ambisi keluarga dan kelompok “elit minority”nya dari pada partai politik yang membesarkannya.  Makanya, dua kelompok ini saling melakukan manuver dan “gigit menggigit” sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing. Pihak istana menggunakan infrastruktur kekuasaannya melalui aparat hukum dan intelligent menekan dan mempreteli kekuatan merah. Namun yang merah juga tak kalah sangar, perlahan dan pasti mulai “menguliti” topeng-topeng dan perilaku kelompok istana dalam upaya mendegradasi moral dan legitimasi sosial politik penguasa hari ini di mata rakyat. Namanya penguasa, tentu dengan kekuasaan “cawe-cawe”nya, mempunyai dampak penetrasi yang luar biasa. Walau ternyata tidak juga cawe-cawe tersebut berhasil semuanya. Sebagai contoh, upaya perpanjangan presiden, kontrol opini media, dan soliditas aparatur negara juga tidak 100 persen bisa dikendalikan. Memang untuk hasil putusan MK, aturan PKPU, dan isu pelibatan aparat keamanan dan intelligent dalam mobilisasi dan exsisting “kecurangan” sudah merebak menyebar cukup berhasil membuat “keder nyali” para tokoh dan politisi. Sehingga, banyak yang anggap Pilpres sebenarnya sudah selesai dan pemenangnya adalah pasangan nomor 02.  Namun sebaliknya, dengan banyak nya terjadi blunder politik yang dilakukan pihak istana sendiri, termasuk begitu masivenya upaya penguliti “borok-borok” istana di sosial media cukup memberikan efek kejut (deterrent effect) meruntuhkan wibawa penguasa. Pengakuan mantan ketua KPK, serta keterlibatan ibu negara dalam cawe-cawe suaminya dalam mengantarkan sang anak menjadi Cawapres, cukup berhasil menjadi gempa tsunami politik bagi pihak istana. Ditambah lagi, dalam beberapa dialog langsung dan terbuka dengan masyarakat, masing pasangan nomor 2 ini juga melakukan blunder memalukan. Baik ketika dialog dengan Kiyai kampung masalah stunting, maupun ketika keseleo “asam sulfat” bagi ibu hamil. Jadi kesimpulan yang bisa kita ambil dalam seberapa besar pengaruh kekuasaan cawe-cawe Presiden ini dalam mengontrol dan mengendalikan hasil Pilpres 2024 nanti adalah sebagai berikut  1. Ternyata tidak semua cawe-cawe Presiden itu ampuh dan berhasil sesuai keinginannya. Dengan catatan, pihak di luar istana mesti punya “nyali” dan effort yang kuat untuk melawannya. Ibarat tanding tinju, istana memang jago dalam memukul lawan, tetapi ternyata istana “sangat lemah” dalam bertahan ketika ada pukulan balasan yang dilakukan. Seperti contoh ; Istana hanya jago karena punya kekuasaan memerintahkan aparat keamanan untuk melakukan manuver dan penetrasi hukum kepada para lawan politiknya. Tetapi ketika ada serangan balik dari lawan politiknya seperti putusan MKMK yang mencopot ketua MK, serta tsunami opini politik membongkar dapur istana, ternyata pihak istana “keok” juga. 2. Saat ini, kekuatan cawe-cawe Presiden memang ada pada “otoritas kewenangannya” dalam memanfaatkan pisau kekuasaan melalui aparat hukum dan inteligent. Ditambah infrastruktur ASN, kementrian dan BUMN.  Namun, kekuasaan ini akan bisa terus memudar dan menipis. Karena lambat laun, para pihak aparatur ini tentu juga akan sadar dan melihat secara objective, bahwa massa kekuasaan istana saat ini ibarat “sunset” (matahari yang akan tenggelam). Hati nurani mereka juga pasti tak bisa bohong. Bahwa, cawe/cawe Presiden saat ini telah merusak dan meluluhlantakkan bangunan indah demokrasi bangsa ini. Konstitusi dikangkangi, tak ada lagi etika moral dan hukum dalam penyelengaraannya. Negara republik sudah bergeser menuju negara dinasti.  Artinya, kekuasaan cawe-cawe Presiden kalau kita semua objective adalah kekuasaan semu, ibarat kekuatan sihir yang lucunya, kekuatan tersebut adalah atas mandat dari rakyat itu sendiri.  Seharusnya, sangat mudah mandat kekuasaan itu diambil kembali oleh rakyat. Kalau para politisinya di partai politik itu punya nyali dan “otak”. Tapi sayangnya hampir semua elit parpol sudah kalah mental duluan terhadap istana. Ibarat kerbau dicucuk hidungnya oleh si gembala. Padahal sekali kibas, si kerbau itu bisa membuat si gembala terpelanting dengan mudah.  3. Kekuatan utama cawe-cawe Presiden tentu juga ada pada logistik uang. Karena menguasai sumber/ resource dan juga bisa memanfaatkan anggaran pemerintah seenaknya. Apakah melalui BLT dan bantuan Sembako atas nama Presiden.  Sedangkan di sisi lain, sesuai pengakuan salah satu Paslon Anies Baswedan, selalu ada penjegalan dan intimidasi terhadap para pengusaha yang ingin berikan donasi. Kesimpulannya adalah. Dari tiga analisis kesaktian cawe-cawe Presiden tersebut hanya bisa dilawan kalau rakyat dan para komponen kekuatan civil society bersatu. Baik itu partai politik, ormas, tokoh agama-adat-nasional. Termasuk para mahasiswa dan akademisi. Wabil khusus para apartur negara dan TNI/POLRI. Bagaimana mempunyai kesadaran kolektif, integritas moral dan nyali keberanian untuk bersama melawan segala bentuk cawe-cawe Presiden saat ini dalam upaya membangun ambisi politik dinasti keluarganya. Jangan korbankan harga diri, dan kehormatan institusi hanya demi “menjilat” pada pengusa yang toh sebentar lagi akan habis masa jabatannya. Terlalu beresiko apabila kalian kalah dan di-roasting masyarakat. Apagunanya lagi pangkat jabatan, kalau akibat prilaku kejahatan berdemokrasi kalian di Pilpres mendapat sanksi sosial dan hukuman sosial dari rakyat. Karena, tidak selamanya kalian menjabat. Suatu saat pasti akan pensiun juga dan kembali kepada rakyat menjadi rakyat biasa. Dan yang paling substansial lagi adalah : Sebagai manusia beriman dan beragama, bagaimana pertanggungjawaban kita nanti di akhirat apabila berkhianat pada rakyat dan melanggar sumpah jabatan ?? Jabatan dunia ini hanya sementara, sedangkan akhirat itu kekal dan nyata. Dimana prilaku, kebaikan, dosa dan pahala kita sendiri yang akan menjadi hakim di akhirat kelak. Wallahu’alam.

Buat Gibran Apa pun Bisa-Boleh, Ini Sekelumit Kisahnya (Saat Ambisi Dibalut Kemarahan)

Gibran lelaki yang berpenampilan lugu itu \"dipaksa\" menantang ketakberdayaan diri sendiri, sebelum menantang cemoohan keras publik yang tak menghendaki munculnya politik dinasti. Oleh: Ady Amar | Kolumnis Tidak tahu persis apakah sejak lahir Gibran Rakabuming Raka itu bermasalah. Sepertinya tidak. Saat lahir dipastikan ia tidak bermasalah. Normal layaknya bayi lainnya. Mulai bermasalah, itu saat upaya \"paksa\" menjadikannya Wali Kota Solo. Itu awal pangkal masalahnya. Gibran dipersiapkan (seakan) \"pangeran\", yang pada saatnya akan menggantikan sang bapak. Dipoles dengan mulai berkarir sebagai Wali Kota Solo. Itu jalan yang dilakoni  sang bapak, bahkan sampai 2 periode. Takdir lalu membawa sang bapak menjadi Gubernur DKI Jakarta, cukup dijalani 2,5 tahunan. Lalu, melompat bak bajing jadi presiden, itu pun sampai 2 periode. Berharap bisa lebih lama lagi, seperti Soekarno dan Soeharto, tapi konstitusi membatasi. Skenario semula untuk Gibran dibuat ikut rute sang bapak, menjadi gubernur dan lanjut presiden. Tapi agaknya skenario itu perlu dikoreksi dengan secepatnya. Jalan cerita dibuat berubah, tapi tetap dengan lakon yang sama. Gibran tidak perlu mengikuti jejak sang bapak berlama-lama sebagai Wali Kota Solo, apalagi sampai 2 periode. Tidak perlu juga mesti \"magang\" jadi Gubernur DKI.  Kesuwen kalau mesti pakai langgam sang bapak. Bahkan tidak perlu ia nuntaskan sebagai Wali Kota. Gibran diminta lompat lebih tinggi lagi. Langsung dipersiapkan ikut kontestasi jadi cawapres. Jika berhasil, ia akan jadi wakil presiden. Inilah pangkal masalah berikutnya. Ini pula yang menjadikan Gibran jadi cemoohan khalayak luas. Tentu ada pula yang masih membelanya, yaitu mereka yang selama ini setia \"bekerja\" untuk sang bapak. Gibran seperti korban ambisi dari entah siapa--sebut saja dengan \"mereka\"-- yang ingin menjadikannya seperti sang bapak. Gibran lelaki yang berpenampilan lugu itu \"dipaksa\" menantang ketakberdayaan diri sendiri, sebelum menantang cemoohan keras publik yang tak menghendaki munculnya politik dinasti. Nalar tak mampu membayangkan betapa kesulitan yang dialaminya, saat ia mesti memerankan peran sulit yang tak ia kuasai, dan itu mustahil bisa dipelajari dengan cara instan. Analisa dan spekulasi, bahkan \"bocor alus\" pun memberitakan dengan dramatik. Publik pun punya suguhan berbagai versi  mengapa ini bisa dan mesti terjadi. Dimunculkan aktor di seputar Gibran lewat penelusuran jurnalisme investigative, siapa di balik keinginan menjadikan Gibran yang tak cukup umur itu dibuat tak lagi jadi persoalan. Semua perangkat keras \"penghalang\" sudah dilunakkan dengan dicarikan dalil pembenar. Pokoknya semua bisa diatur, setelah semua piranti penghalang dilunakkan--legislatif dan yudikatif--dibuat tak berdaya, tanpa bisa berbuat dan mengoreksi selayaknya. Rakyat pun cuma dibuat terngaga bengong antara yang memilih biasa-biasa saja bahkan ada pula yang membela seakan menerabas aturan hukum itu tak masalah, dan publik yang marah itu cuma mampu berteriak sekadarnya tanda protes. Maka, jalan cerita dimunculkan sampai menyenggol nama Iriana, yang tidak lain adalah ibu dari Gibran. Ada juga yang menyebutnya dengan Ibu Suri. Konon, Iriana merasa jengah dengan perlakuan Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum PDIP, yang menyebut Jokowi dengan sebutan \"petugas partai\". Jangan tanya mengapa baru sekarang \"pemberontakan\" Iriana atas gelar yang disandangkan pada sang suami, yang tidak mengenakkannya itu muncul belakangan saat sang suami mesti turun tahta. Tak ada yang mampu mengukur, lebih tepatnya \"kemarahan\" Iriana, itu seberapa dalamnya. Bisa jadi itu disimpannya dari tahun ke tahun. Dari saat sang suami mengenyam dari satu jabatan ke jabatan lain di pemerintahan, sampai jabatan tertinggi menjadi presiden 2 periode. Dan, lalu meledak saat waktunya dianggap tepat. Iriana melawan dengan menjadikan Gibran sebagai \"tameng\" perlawanan, meski orang lain bisa melihatnya sebagai \"korban\" guna melampiaskan kemarahan yang tertunda. Jalan cerita seolah dibuat simpel, itu merangsang publik menganalisanya lebih dalam lagi. Tidak berhenti di situ, meski drama pertunjukan ingin cepat diakhiri dengan sekadar kemarahan. Tapi lebih pada ambisi yang diselimuti kemarahan, itu sebenarnya kisah yang muncul di benak publik. Ambisi mengerek sang anak tinggi-tinggi, itu justru lebih argumentatif rasional dibanding menonjolkan sisi \"kemarahan\" yang tertunda. Jika benar itu \"ambisi\" Iriana semata, maka bisa dipastikan karenanya seorang Jokowi bisa melenggang mencapai karir politiknya, meski dengan kemampuan seadanya, ada tangan Iriana berperan besar di sana. Meski tetap saja muncul julukan Pak Lurah, umpatan \"protes\" publik saat tidak mendapatkan rasa selayaknya presiden pada diri Jokowi. Soal-soal beginian, bahkan julukan yang lebih tak mengenakkan lagi yang disematkan pada sang suami, Iriana tak perlu sampai mesti melampiaskan kemarahannya. Baginya, publik bukanlah Megawati yang bisa jadi argumen guna menutup ambisi yang dibungkus dengan kemarahan. Gibran sudah diputuskan maju sebagai cawapres dari Prabowo Subianto. Semua penghalang yang ada sudah diselesaikan satu per satu. Soal persyaratan umur yang belum akil baligh menjadi capres/cawapres sudah diputus MK dengan redaksinya diubah sedikit, dan Gibran pun lolos. Sampai menuju Pilpres, 14 Februari 2024, akan banyak peraturan KPU yang disesuaikan dengan kenyamanan Gibran dalam berkontestasi. Terbaru, KPU meniadakan debat antarcawapres, seperti sebelum-sebelumnya. Debat 5 kali, dan semuanya diikuti oleh paslon capres-cawapres. Padahal publik perlu tahu kapasitas cawapres masing-masing paslon dalam menjawab persoalan yang diajukan panelis. Dengan dihilangkannya debat cawapres, itu sama dengan merampas hak publik untuk mengetahui kemampuan cawapres dalam menjawab dengan argumentasi terukur. Karena Gibran semua aturan dan bahkan peraturan bisa diubah semaunya, dan publik dibuat terus terngaga tanpa bisa berbuat apa-apa. Sepertinya semua kekuatan untuk pemenangan Gibran akan dikerahkan, aromanya sudah tercium. Mendekati pilpres bisa jadi aroma itu akan semakin menyengat. Dan, itu yang dikhawatirkan, hasil kontestasi pilpres akan tidak berkualitas.**

Pasangan Rongsokan dan Karbitan

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  CAPRESNYA ibarat barang rongsokan, cawapresnya  bagaikan barang karbitan. Sebuah pasangan yang struktur identitasnya dibangun dari ornamen murni KKN dan ketiadaan kemaluan. Sialnya NKRI, selalu dipimpin oleh orang-orang yang menjauhkan rakyat dari cita-cita kemerdekaan. Terlebih selama satu dekade ini, dimana konstitusi dan demokrasi dibajak hanya untuk merubah penjahat menjadi pejabat. Tampil seolah-olah terhormat dan bermartabat, namun sesungguhnya bermental dan berperilaku  bejad. Kapitalisme dan transaksional yang menghidupi politik, nyata-nyata berhasil mematikan nurani dan akal sehat. Nilai-nilai tergusur oleh syahwat kekuasaan. Elit dan sebagian besar rakyat lebih memilih mengejar harta dan jabatan ketimbang keberadaban. Serba permisif, terus membiarkan yang menyimpang menjadi kesepakatan dan pasrah mengabaikan aturan. Negara sebesar Indonesia menjadi miris dan ironis, saat dikelola pemimpin berjiwa kerdil. Kekayaan alam yang berlimpah, dirampok pengelola negara yang korup, sebagian lainnya dihibahkan kepada negara dan bangsa asing melalui Undang-Undang yang direkayasa, juga tak luput atas nama investasi dan utang. Rakyat semakin dieksploitasi, diperas dan direndahkan kemanusiaannya. Menjaga kesinambungan kekuasaan yang distortuf dan destruktif, rezim berusaha menjadi diktator berbalut demokratis. Tak peduli KKN yang begitu masif dan masa bodoh dengan kesengsaraan rakyat di sana-sini. Pemerintahan terburuk dan dzolim sepanjang republik berdiri, merekayasa konstitusi dengan tangan besi. Pemilu dan pilpres menjadi pintu masuk menuju kekuasaan  politik dinasti dan hegemoni oligarki.  Dari negara demokrasi menuju monarki, dari religi menuju liberalisasi dan sekulerisasi. Apapun istilahnya, faktanya negeri ini dikuasai rezim dinasti dan oligarki. Politik, hukum, ekonomi dan semua aspek-aspek kehidupan  yang menguasai hajat hidup orang banyak, kini ditangani pemilik modal dan aparat. Memperkaya segelintir orang dan kelompok sembari memiskinkan rakyat, menjadi watak pemerintahan yang mengedepankan  pola-pola intimidasi, teror dan represif. Pilpres 2024 yang harusnya menjadi momentum sekaligus tonggak sejarah kebangkitan bangsa dari gejala kehancuran, tetap tak luput dari anasir rezim hipokrit dan sakit. Seolah-olah menjaga kesinambungan pembangunan, sesungguhnya memelihara kekuasaan yang berkepanjangan. Tiada kewarasan, tanpa kehormatan bahkan dengan cara-cara penuh kebiadaban, pilpres 2024 dibangun dengan konstruksi kecurangan. KPU dan MK telah menjadi alat taktis dan strategis kepentingan rezim kekuasaan yang bulus dan picik. Sebagian partai politik, birokrat dan politisi, menjadi ternak-ternak oligarki. Institusi-institusi negara dan orang-orang pilihan yang dirancang menjadi mulia,  pada akhirnya hanya menjadi tempat dan kumpulan manusia haram jadah. Pilpres 2024 yang diharapkan menjadi  proses berlangsungnya kedaulatan rakyat yang prosedural dan konstitusional, kini dibayangi setan dan monster berwujud aparatur penyelenggara negara.  Kontestasi pilpres 2024 yang idealnya menampilkan figur-figur pemimpin bersih dan tanpa cacat moral, serta merta diikuti oleh capres-cawapres yang tidak memiliki kelayakan baik dari segi kapasitas maupun integritas. Hanya ada satu pasangan yang memiliki rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi yang mengusung perubahan. Lainnya dipastikan bermasalah dan sangat tidak memiliki kepantasan, terlibat KKN dan kejahatan HAM. Pasangan capres dan cawapres lain yang bermasalah itu, melenggang tanpa rasa malu, muka tembok dan menjadi simbol kebobrokan penyelenggaraan negara. Lebih menghina dan merendahkan  lagi terutama kepada para pendiri bangsa dan semangat cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia serta konstitusi. Ada capres dan cawapres yang tidak mengundurkan diri dari jabatan pemerintahan yang didudukinya. Namun jauh lebih menghina dan merendahkan lagi, ketika ada capres-cawapres  yang seluruh citra dan faktanya, bagian dari kebusukan rezim yang gagal meski berusaha setengah  mati dan setengah gila, dengan memaksakan KKN, serampangan dan membabi buta. Salah satu capres-cawapres warisan rezim KKN yang mulus merekayasa konstitusi dan moral bernegara, adalah pasangan rongsokan dan karbitan. Rongsokan karena ambisi dan haus kekuasaan meski berulang-ulang mengikuti kontestasi capres namun tidak pernah mendapatkan mandat rakyat. Rakyat mungkin dudah tahu belangnya, dari yang mengaku-ngaku macan Asia itu.  Mungkin juga rakyat tidak pernah percaya, semacam sudah skeptis dan apriori begitu terhadap capres permanen yang identik dengan kejahatan HAM dan terkenal sebagai penjilat ulung itu. Pasangan cawapresnya, tidak lebih sebagai “anak mami”, kasihan dia karena terlalu dipaksakan dan menjadi korban ambisi sekaligus  syahwat kekuasaan bapak ibunya. Kasihan cawapres yang masih bau kencur politik, betapa berat beban hidupnya karena kedzoliman orang tuanya, sampai-sampai salah menyebut asam folat menjadi asam sulfat. Ya begitu memprihatinkan seraya tertawa geli, ada pasangan rongsokan dan karbitan bisa mengikuti kontestasi capres-cawapres dalam pilpres 2024. Tapi dengan bangga dan tanpa dosa,  capres-cawapres  ibarat pasangan kakek dan cucu ini, mengampanyekan kebaikan untuk rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Seperti maling teriak maling, bagaikan berkaca pada cermin retak, begitulah adanya kontestasi pilpres 2024 menyembul pasangan rongsokan dan karbitan. Astagfirullahaladzim, ingat umur tak selamanya permanen, jangan turuti kemauan duniawi. Berani malu, berani asusila  dan berani amoral terkadang diperlukan untuk tampil di negara yang sakit yang sebagian juga karena ulahnya. (*)

Jokowi Makin Sadis, Rakyat Makin Bengis

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  \"Apa yang di gambarkan Toffler, koalisi rezim dan para bandit politik/kapitalis untuk mempertahankan kekuasaannya hanya akan bisa diatasi dengan cara bengis persis pola pemerintahan gaya komunis\" Toffler tokoh media global, menyimpulkan, bahwa yang berlangsung saat ini “bukanlah kekuasan media semata, melainkan perpaduan kekuasaan media yang akan membidik wajah ke kekuasaan yang sedang terjadi. Wajah kekuasaan Jokowi yang semakin sadis tidak lagi akan bisa disembunyikan dengan cara atau rekayasa apapun. Rakyat akan melihat, merekam, dan akan bertindak sebagai respon pantulan atas sikap, tindakan, ucapan dan tindakannya. Jokowi praktis sudah terkepung media di diahir masa jabatannya terus memburuk, semua terpantau  konsekuensi dari  media yang sudah dengan jelas terbuka tanpa atap lagi. Eskalasi politik untuk memakzulkan Jokowi makin nyata. Wajar rezim blingsatan harus mencari cara lain untuk mengamankan kekuasaan dengan cara akan menutup perlawanan dari masyarakat. Mereka, para bandit politik dan kapitalis sebenarnya mengetahui rekayasanya akan sia-sia tetapi tampaknya sudah menemui jalan buntu selain harus tetap melakukan rekayasa politik tolol dan sontoloyo. Siapa sebenarnya yang berkuasa di Indonesia saat ini. “Apakah Presiden Jokowi berkuasa?. Tidak. Semua kekuasaan berada diluar kuasa dan kendalinya. Sinyal politik  Jokowi sebagai boneka kekuasaan Oligargi sudah pada garis finis. Dalam suasana panik dan terdesak Jokowi memaksakan diri memunculkan Gibran maju Pilpres sebagai Cawapres dengan proses yang sungsang justru akan membuat Jokowi semakin terdesak dan berbahaya. Kekuasaan yang akan tampil memaksakan wajah semakin sadis, bengis, represif dan otoriter.  Apa yang di gambarkan Toffler, koalisi rezim dengan para bandit politik/kapitalis untuk mempertahankan kekuasaannya hanya akan bisa diatasi oleh perlawanan rakyat dengan cara lebih bengis . Keadaan ini akan memunculkan dua kemungkinan. Rakyat menjadi lemah dan terpuruk sehingga menerima nasibnya karena tidak lagi mampu melawan kekuasaan yang sadis. Kemungkinan lainnya, justru akan mempercepat lahirnya perlawanan rakyat dalam bentuk People Power yang menemukan momentumnya. Kalau alternatif kedua yang muncul Jokowi akan jatuh berantakan. Halusinasi akan memenangkan Gibran  dengan cara curang atau coba coba masih bisa mencuri atau memanipulasi suara untuk kemenangannya pasti akan sia sia. Perlawanan rakyat akan sangat keras dan bengis untuk rezim yang semakin sadis dan membabi buta.***