ALL CATEGORY
Putusan MK Melampaui Kewenangannya
Jember, Jawa Timur, FNN - Pengamat hukum tata negara Universitas Jember (Unej) Dr Adam Muhshi menilai bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon presiden (capres) dan wakil presiden (wapres) telah melampaui kewenangannya sebagai lembaga negative legislator.\"Dengan putusan itu, MK memposisikan diri sebagai positif legislator, sehingga sudah \'melompat pagar\' dari kewenangannya karena yang membentuk aturan itu DPR dan Presiden,\" katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa.Ia mengatakan secara legal formal keputusan hakim MK tersebut sah dan tetap mengikat sejak dibacakan, namun menjadi bermasalah secara substansi karena dinilai cacat hukum.Menurutnya putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia capres dan cawapres diubah menjadi 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.\"Dari semangatnya anak muda boleh menjadi presiden asalkan sudah pernah menjadi kepala daerah, namun saya tidak setuju karena secara substansi sangat tendensius ketika diterapkan pada Pemilu 2024,\" ucap dosen Fakultas Hukum Unej itu.Dari sisi hukum, lanjut dia, banyak yang menilai putusan tersebut cacat hukum karena secara substansi telah keluar dari nilai utama konstitusi bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara berdasarkan supremasi hukum/konstitusi kini menjadi negara hukum positif atau perundang-undangan.\"Putusan MK sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat karena saat ini Indonesia sebagai negara Republik, akan tetapi putusan MK tersebut berpotensi mundur ke belakang, kembali ke politik dinasti yang merupakan karakter negara dengan sistem monarki dengan hukum positif sebagai dalil pembenar,\" katanya.Adam menyayangkan adanya putusan MK yang dinilai sudah mengarah ke politik, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut dan menjadi preseden buruk bagi lembaga itu jelang tahun politik.\"Sebagai negative legislator, MK tidak boleh membatalkan atau mengubah ketentuan UU yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun putusan MK justru menjadikan lembaga tersebut sebagai positif legislator,\" ujarnya.Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.(ida/ANTARA)
Terkait Seleksi di Bawaslu, DKPP Memeriksa Dugaan Pelanggaran Etik
Jakarta, FNN - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) RI memeriksa dugaan pelanggaran kode etik terhadap ketua dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI terkait seleksi anggota Bawaslu tingkat kabupaten/kota.Sidang pemeriksaan yang dipimpin langsung oleh Ketua DKPP Heddy Lugito berlangsung selama lebih dari enam jam di Jakarta, Senin.Heddy Lugito bersama tiga anggota DKPP lainnya yaitu J. Kristiadi, Ratna Dewi Pettalolo, dan Muhammad Tio Aliansyah mendengar secara langsung poin-poin aduan dari pengadu, kemudian tanggapan dari teradu, yang diwakili oleh tiga anggota Bawaslu, yaitu Totok Hariyono, Lolly Suhenti, Puadi, dan Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja yang hadir secara virtual.Dua pengadu, yaitu Suryono Pane untuk nomor perkara 114-PKE-DKPP/IX/2023 dan Herminiastuti Lestari untuk nomor perkara 121-PKE-DKPP/IX/2023, menilai ketua dan anggota Bawaslu melanggar kode etik bekerja tidak profesional karena mengubah jadwal tahapan seleksi sehingga mengakibatkan adanya kekosongan jabatan di Bawaslu tingkat kabupaten/kota. Para pengadu, saat menanggapi respon teradu, juga menilai ketua dan anggota Bawaslu mencampuri proses seleksi melalui “review” terhadap hasil seleksi pada tahapan-tahapan tes.Dalam sidang pemeriksaan, Anggota Bawaslu Lolly Suhenti menjelaskan seleksi anggota Bawaslu tingkat kabupaten/kota berlangsung secara independen mengingat tim seleksi berasal dari lembaga lain, yaitu Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Polri. Keterlibatan Bawaslu dalam seleksi sebatas pengawasan (monitoring) yang disebut sebagai “review”.Tujuan dari review itu, pihak teradu (Bawaslu RI) menyatakan untuk memastikan ketepatan dan keakuratan hasil penilaian tim seleksi sebagaimana diatur dalam pedoman yang dikeluarkan oleh Ketua Bawaslu.Lolly mencontohkan review (peninjauan) hasil tes pada tahapan tes tertulis dilakukan dengan mengecek pembobotan penilaian yang mana 60 persen untuk tes tertulis pilihan ganda dan 40 persen tes esai.“Pada gabungan tes tertulis dan tes psikologi, para teradu me-review apakah peserta yang nilainya diperhitungkan apakah peserta yang tes psikologi-nya direkomendasikan atau dapat direkomendasikan serta bagaimana pembobotan di antara tes tertulis dan tes psikologi sudah tepat, yakni 40 dan 60 persen, dan apakah penghitungan nilai akhir berdasarkan pembobotan nilai sudah akurat,” kata Lolly.Dia melanjutkan review itu merupakan penerapan prinsip kehati-hatian tanpa menghilangkan objektivitas dan independensi dari tim seleksi.Sementara itu, Anggota Bawaslu Totok Hariyono menjelaskan penundaan pengumuman tahapan seleksi karena terkendala hasil penilaian tidak disetor sesuai format yang dibutuhkan oleh Bawaslu. Totok mencontohkan hasil penilaian disetor ke email Bawaslu untuk seleksi calon anggota per provinsi, sementara aplikasi yang digunakan oleh Bawaslu mengharuskan hasil itu disetor per kabupaten/kota.Totok lanjut menjelaskan review juga membutuhkan waktu karena saat meninjau hasil penilaian ada temuan peserta tes mendapatkan nilai padahal dia tidak mengikuti tes, dan ada juga yang peserta yang nilainya sama tetapi memiliki penilaian berbeda misalnya dalam hasil asesmen psikologi.Totok, dalam sidang pemeriksaan pun, kembali menegaskan review hanya sebatas memastikan ketepatan dan akurasi dari hasil penilaian tim seleksi.Usai mendengar poin-poin dari pengadu dan teradu, ketua dan anggota DKPP juga mendalami poin-poin dari para pengadu dan teradu.Terakhir, Ketua DKPP yang memimpin sidang meminta masing-masing pihak menyusun dokumen kesimpulan dan mengirimkannya ke DKPP dalam waktu 2 hari setelah sidang pemeriksaan, Senin.(ida/ANTARA)
Gerindra Telah Berkomunikasi Dengan Gibran Pasca-putusan MK
Jakarta, FNN - Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengakui bahwa partainya telah berkomunikasi dengan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres-cawapres pada Senin (16/10). \"Ada komunikasi (dengan Gibran), tapi bukan saya yang komunikasi,\" ujarnya di depan kediaman Prabowo Subianto di Kartanegara, Jakarta Selatan pada Senin tengah malam (16/10). Meski begitu, Muzani tidak mengungkapkan siapa yang melakukan komunikasi tersebut. Ia menegaskan bahwa partainya masih menunggu para Ketua Umum dari Koalisi Indonesia Maju untuk mengumumkan calon wakil presiden Prabowo Subianto. \"Putusan MK menjadi putusan yang jelas terang benderang jadi nanti nunggu sesuatu yang jelas, nunggu para Ketum semuanya berkumpul,\" ujarnya. Partai Gerindra sendiri menggelar rapat anggota dewan pembina di kediaman Prabowo hingga Senin tengah malam. Pertemuan itu membahas dinamika politik nasional yang terjadi saat ini. Muzani mengatakan pembahasan cawapres hingga putusan MK menjadi salah salah satu topik utama yang dibahas. \"Beliau (Prabowo) menyimak, mendengar, dan memperhatikan keputusan MK sebagai sebuah keputusan yang final dan mengikat. Tentu saja ini akan menjadi sebuah cara pandang dari partai-partai Koalisi Indonesia Maju dalam mengambil keputusan,\" katanya. Muzani menyebut bahwa Prabowo dalam waktu dekat akan bertemu dengan para ketua umum partai politik di Koalisi Indonesia Maju. Salah satu yang dibahas mengenai hasil putusan MK perihal syarat capres dan cawapres. \"Ya kita akan membicarakan tentang beberapa perkembangan politik nasional terakhir, termasuk keputusan MK yang paling akhir tentu saja akan kami bicarakan. Semua ketum partai akan diberi forum, menyampaikan pandangan termasuk informasi yang mereka dapatkan dari semua sisi,\" tutur Muzani. Namun, pertemuan itu harus diundur setelah Ketum PAN tiba di Indonesia sepulang kunjungan bersama Presiden Jokowi di luar negeri. \"Namun, karena ada ketua umum parpol yang menyertai kunjungan presiden ke China, maka rapat ketua umum partai Koalisi Indonesia Maju ditunda sampai dengan kumpul semuanya,\" pungkas Muzani. Dalam kesempatan sama, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Budi Djiwandono mengungkapkan bahwa rapat malam ini adalah pertemuan antara para anggota pembina partai, yang dinilainya sudah jarang terjadi. \"Malam ini dewan pembina Partai Gerindra sebagai majelis tertinggi partai berkumpul untuk bertukar pikiran, diskusi dan pada akhirnya tadi mendapatkan beberapa update dari Bapak Prabowo Subianto tentang perkembangan-perkembangan politik nasional sampai dengan hari ini dan ke depan,\" ujar Budi setelah rapat tersebut. Terkait nama calon wakil presiden (Cawapres) untuk Prabowo, Budi mengatakan belum ada keputusan pada malam hari ini dan masih terdapat empat nama yang diklaster berdasarkan wilayah. \"Kita masih bicarakan empat nama, satu nama dari luar Jawa, satu dari Jawa Barat, satu nama dari Jawa Tengah, dan satu nama dari Jawa Timur,\" ucap Budi.(ida/ANTARA)
Denny JA Mengungkap Tiga Gerbong Suara Potensial Dibawa Gibran
Jakarta, FNN - Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Denny Januar Ali menilai ada tiga klasifikasi gerbong suara yang dibawa Gibran Rakabuming Raka jika ikut kontestasi Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.Ketiga gerbong tersebut adalah suara dari Jawa Tengah, kalangan milenial, dan pemilih yang puas dengan kinerja Presiden Jokowi.\"Pertama adalah gerbong suara dari Jawa Tengah. Indonesia terdiri dari 38 provinsi namun hanya Jateng saja, total populasi di sana sekitar 13,39-16 persen. Prosentase itu tergantung cara menghitungnya, dari basis populasi umum atau basis daftar pemilih tetap,\" kata Denny JA melalui keterangannya di Jakarta, Selasa.Menurut dia, satu provinsi dengan populasi 13,39-16 persen, itu sangat besar sekali terutama suara Ganjar sangat dominan di Jateng mengalahkan Prabowo di atas 20 persen.Karena itu menurut dia, kehadiran Gibran sebagai cawapres Prabowo akan memperkecil margin elektoral antara Ganjar dengan Prabowo.\"Walaupun Ganjar secara nasional masih kalah dengan Prabowo jika head to head. Namun jika dominasi Ganjar di Jawa Tengah bisa dikurangi, dengan sendirinya total suara Ganjar di seluruh Indonesia akan jauh berkurang,\" ujarnya.Denny JA menjelaskan bahwa kedua adalah gerbong suara yang akan dibawa Gibran yaitu pemilih generasi millenial. Istilah milenial tersebut merujuk pada orang yang lahir setelah tahun 1982 dan saat ini berusia di bawah 41 tahun.Dia menjelaskan berdasarkan survei LSI Denny JA bulan September 2023, total jumlah segmen milenial sebanyak 48,5 persen.\"Gibran satu-satunya wakil dari generasi milenial yang ikut dalam pasangan capres-cawapres 2024,\" katanya.Karena itu dia menilai Gibran sangat potensial mengambil suara kalangan milenial yang jumlahnya hampir setengah dari populasi. Menurut dia, para politisi, pengusaha, dan profesional muda potensial digerakkan untuk menjadikan Gibran sebagai \"lokomotif\" membawa gerbong kaum milenial.Dia menjelaskan, gerbong ketiga yang bisa dibawa Gibran adalah pemilih yang puas dengan kinerja Presiden Jokowi meskipun Jokowi tidak mengatakan secara eksplisit siapa capres yang didukungnya.\"Tapi dengan datangnya Gibran sebagai cawapres Prabowo, dengan sendirinya, itu memberi sinyal bahwa Jokowi berada di belakang Prabowo. Jumlah populasi, mereka yang puas dengan Jokowi, sebanyak 70-80 persen,\" ujarnya.Dia menilai memang ada pemilih dari Prabowo jika Menteri Pertahanan itu mengambil Gibran sebagai cawapres yaitu kalangan terpelajar dengan berbagai alasan, mulai dari dinasti politik hingga belum berpengalaman.Namun menurut dia, jumlah kalangan terpelajar itu dalam populasi pemilih Indonesia kurang dari 10 persen.\"Namun apabila dijumlahkan, masih lebih banyak pemilih yang datang daripada yang pergi jika Prabowo mengambil Gibran sebagai calon wakil presiden,\" katanya.Karena itu menurut dia, jika akhirnya Gibran dipilih sebagai cawapres pendamping Prabowo, hal itu justru karena kalkulasi elektoral yang cermat.(ida/ANTARA)
Putusan MK Hina Gibran, Dinasti Jokowi Membusuk
Oleh Faizal Assegaf | Kritikus SKENARIO jahat usung Gibran maju Cawapres gagal total. Ipar presiden Jokowi selaku Ketua MK dihantam oleh amarah jutaan rakyat. Memantik pesan keras jelang Pilpres: Ganyang politik dinasti! Permainan politik kotor yang dilakoni Jokowi serta loyalisnya semakin norak, licik dan memalukan. Bapak, anak, ipar dan mantu, tanpa henti melecehkan akal sehat dan nurani publik. Seolah negara milik nenek moyong mereka. Bertindak seenaknya, arogan, munafik dan sok paling perkasa. Wabah ganas dinasti politik telah merusak tatatan bernegara dan menjadi sampah demokrasi. Krisis moral dalam perilaku kekuasaan Jokowi dan keluarganya makin menyulut amarah rakyat. Namun kentalnya tabiat kebohongan, kemunafikan dan nepotisme membuat gelap mata. Lucunya, Jokowi yang gemar berbohong dan ngeyel, mewariskan bakat politik menyimpang itu ke anaknya. Akibatnya, satu per satu tampil tanpa martabat dan kehormatan demi berburu kekuasaan. Di selokan kekuasaan, posisi Jokowi selaku presiden memperluas syahwat dinasti politik. Bocoh karbitan Istana disulap sehari jadi Ketum partai. Yang satunya dikatrol sebagai walikota dan nyaris jadi Cawapres. Prestasi yang menonjol dari dua bocoh karbitan tersebut karena mereka putera presiden. Sementara jutaan kaum muda cerdas dan bermoral, tersingkir dalam arena demokrasi secara jahat dan culas. Pesta bagi-bagi jatah dinasti politik Jokowi menyulut kehancuran bernegara. Sumber kekayaan alam dirampok, kejahatan korupsi dan aneka tekanan sosial-ekonomi menindas hidup rakyat banyak. Dinasti politik adalah kejahatan dalam bernegara…! **
Kuasa Tuna-Mulia
Oleh Yudi Latif - Kolumnis Saudaraku, banyak orang mencari kehormatan dalam gelar dan jabatan tanpa memenuhi nilai prinsipil dan tanggung jawab kedudukannya. \"Aib terbesar,\" kata Juvenalis, \"Ketika kamu lebih mementingkan penghidupan ketimbang harga diri, sementara demi penghidupan itu pun engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.\" Sutan Sjahrir, salah seorang negarawan-pemikir terbaik bangsa ini, merisaukan fenomena tersebut. Dalam catatan harian balik penjara, dengan nama samaran Sjahrazad, beliau menulis, \"Bagi kebanyakan orang-orang kita \'yang bertitel\'—saya pakai perkataan ini akan pengganti \'intelektuil\', sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan intelek, akan tetapi pendidikan sekolah—bagi \'orang-orang yang bertitel\' itu pengertian ilmu tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan batin. Bagi mereka ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakikat yang hidup, berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara.\" Masalah kegilaan pada titel (gelar) tanpa kedalaman ilmu, yang dicatat Bung Sjahrir 20 April 1934 itu, situasinya tak tambah membaik, bahkan memburuk. Gelar-gelar akademis dikejar banyak orang sebagai pelengkap jabatan. Banyak pula dosen/peneliti yang memburu gelar profesor tanpa merasa perlu mempertanggungjawabkan kapabilitas dan kontribusi keilmuannya. Kegilaan banyak orang juga berlangsung dalam perlombaan mengejar jabatan kenegaraan. Berbagai cara dilakukan orang untuk meraih kekuasaan dan jabatan. Namun, tatkala kedudukan itu diraih, mereka tak sungguh-sungguh menyadari bahwa dirinya pejabat yang harus bertanggung jawab atas kehormatannya. Perpaduan antara kegilaan atas gelar dan jabatan tanpa kedalaman ilmu, rasa malu, dan kehormatan membuat negara ini mengalami defisit kemuliaan, surplus kehinaan. Seperti kata George Bernard Shaw, \"Titel/jabatan memberi kehormatan kepada orang-orang medioker, memberi rasa malu bagi orang-orang superior, dan diperhinakan oleh orang-orang inferior.\" Gemuruh para petaruh di bursa pencari jabatan pertanda pos-pos kenegaraan diisi orang-orang medioker. Derasnya umpatan, sinisme, dan ketidakpercayaan publik pada lembaga-lembaga kenegaraan menyiratkan bahwa pos-pos kenegaraan dipimpin orang-orang inferior. (Belajar Merunduk). Dikutip dari IG Yudi Latief.
Hore, Jokowi ke Cina Lagi
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan PADA hari Putusan MK yang isinya bias antara tetap batasan usia 40 tahun dengan pengalaman sebagai Kepala Daerah, Jokowi bersama beberapa Menteri berangkat ke China menghadiri KTT Belt and Road Initiative (BRI) atau Belt and Road Forum for International Cooperation. Seperti diketahui program BRI adalah domein kepentingan China untuk memperluas pengaruh di negara yang dilalui BRI. Indonesia termasuk di dalamnya. Kali ini andalan dan \"Duta China\" Luhut Binsar Panjaitan tidak bisa ikut berangkat. Sakitnya tentu membuat Jokowi bersedih. Tapi Jokowi tetap wajib \"menghadap\" ke negara kakak tua di Beijing. Bangsa dan rakyat Indonesia pasti mengusap dada sambil berujar \"China lagi...China lagi\". BRI yang sebelumnya OBOR ditandai dengan nota kesepahaman diinisiasi oleh Xi Jinping sejak tahun 2013. Negara peserta di samping diiming-iming investasi juga faktanya sering terjebak dalam kubangan hutang China (debt trap). Dikte politik adalah konsekuensi dari ketidakmampuan untuk membayar hutang tersebut. Secara geopolitik dan ketahanan nasional program BRI rentan bagi penggerusan kedaulatan. Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah bagian dari BRI yang terbayang akan menjadi debt trap China. Morowali bagai sebuah kawasan China. Malaysia banyak membatalkan MoU BRI China buatan Najib-Xi Jinping mengingat bahayanya. Srilangka, Djibouti, Maladewa adalah contoh dari negara yang menjadi korban. Setelah akhir Juli \"menghadap\" Xi Jinping, kini bulan Oktober Jokowi kembali menghadap Xi Jinping dan ikut KTT BRI. Program ambisius BRI dimaksudkan China untuk menghegemoni dunia dimana Indonesia ikut menghamba. Kehausan pada investasi membuat Jokowi lupa diri. Potensial berkhianat pada rakyat dan bangsanya sendiri. Di Beijing juga tim Jokowi akan menandatangani banyak proyek dalam Forum Bisnis Indonesia China. Tercatat kesepakatan bernilai 197,8 Trilyun. Agenda pertemuan khusus dengan Xi Jinping kembali dilakukan lalu pertemuan dengan PM China Li Qiang dan Ketua Parlemen Zhao Leji. Ini tentu \"political meeting\" bukan semata bisnis. Ketika bertemu dengan Xi Jinping bulan Juli 2023 yang berlanjut dengan penandatanganan bisnis ternyata berefek pada terjadinya kasus \"pengusiran\" pribumi melayu di Rembang. Kasus yang hingga kini belum tuntas tersebut tidak bisa dilepaskan dari kepentingan China yang menginginkan Pulau Rempang kosong. Ada aspek geopolitik di sana. Bayaran investasi yang mahal dan menekan. Kini bulan Oktober Jokowi bertemu kembali dengan Xi Jinping dan petinggi China lainnya. Pertemuan politik yang memayungi bisnis ini menjadi penting untuk diperhatikan dan diwaspadai. Apa implikasi atau konsekuensi setelah nanti kembali. Mungkinkah terjadi kasus Rempang lain? Jualan kedaulatan apalagi yang akan ditawarkan Jokowi pada Xi Jinping? Lucunya dalam kaitan Jokowi Xi Jinping ini ada kawan \"nyeletuk\" jangan-jangan Jokowi membicarakan juga kemungkinan minta perlindungan jika harus lari dari Indonesia akibat situasi politik yang semakin tidak kondusif di dalam negeri. Apalagi tangan kanannya Luhut Panjaitan semakin tidak jelas kondisinya. Jokowi semakin goyah. Jokowi wajar goyah karena keruwetan negeri semakin dirasakan olehnya. Hutang menggunung, IKN belepotan, bahan pokok bermasalah, Rempang tidak tuntas, Kereta Cepat membebani, politik dinasti dikritisi, Pilpres tidak menjanjikan, serta ijazah palsu yang terus dibongkar-bongkar. Luhut konon sakit dengan pemulihan lama lagi. China di samping menjanjikan ternyata juga menuntut. Jika Jokowi gagal memenuhi harapan China tentu akan mendapat sanksi hukum dari China pula. Apalagi jika Presiden ke depan bukan pelanjut kebijakan Jokowi. Di tengah kebingungannya itu Jokowi harus menghadap kepada kakak besar nya di Beijing hari-hari ini. Horeee.. Jokowi ke China lagi. (*)
Bersikeras Gandeng Gibran, Prabowo Tak Percaya Dukungan Jokowi
Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior MENGAPA Prabowo Subianto (PS) belakangan ini bersikeras atau ngotot sekali mau menggandeng Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres)? Apakah karena Gibran hebat? Sama sekali tidak. Prabowo ngotot karena dia tidak percaya seratus persen pada dukungan verbal Jokowi. Artinya, seberapa pun seringnya Jokowi mengeluarkan pernyataan mendukung dia menjadi presiden, Prabowo tidak percaya. Prabowo mau menggandeng Gibran bukan untuk menghormati Jokowi. Bukan juga untuk basa-basi. Melainkan karena Prabowo tak yakin bisa muncul di pilpres tanpa dukungan serius dari Jokowi. Karena itu, salah satu cara untuk membuktikan dukungan Jokowi adalah menempatkan Gibran sebagai cawapres. Kata pepatah, pucuk dicita, ulam pun tiba. Kebetulan sekali Jokowi perlu kepastian tentang siapa yang akan melindungi dia setelah keluar dari Istana. Jokowi dengan sendirinya akan tersandera untuk menjadikan Prabowo presiden. Agar Gibran duduk sebagai wapres. Kalau sudah begini, mustahil Jokowi akan mendukung Ganjar Pranowo (GP) meskipun dia favorit Jokowi. Hanya loyalitas marxisme-leninisme yang membuat Jokowi tidak mati-matian memperjuangkan Gibran menjadi wapres Prabowo. Tetapi, apakah dapat dipastikan Gibran bisa menjadi cawapres untuk Prabowo? Inilah pertanyaan besarnya. Kalau kita cermati keaslian sosial-politik Jokowi, maka jawabannya tidak mungkin. Mengapa? Pertama, karena Jokowi sendiri tidak akan pernah percaya kepada Prabowo. Ada masalah “trust” yang tidak bulat dari Jokowi. Meskipun Prabowo menunjukkan loyalitas dan kejokowerannya. Hanya ilusi semata jika Prabowo berharap Jokowi percaya kepada mantan Danjen yang pernah tersangkut kasus penculikan mahasiswa itu. Kedua, Jokowi adalah kader sejati PDIP. Dia tidak mungkin bisa nyaman kalau Prabowo presiden meskipun Gibran wakilnya. Sebab, Gibran tidak akan bisa berbuat banyak ketika Prabowo sebagai presiden kelak dikelilingi oleh para politisi senior dari koalisi parpol-parpol kawakan. Sementara Jokowi sendiri tidak punya parpol di koalisi Prabowo. Jokowi akan menjadi bukan siapa-siapa di tengah Koalisi. Suara Jokowi tak akan didengarkan lagi karena dia tidak lagi presiden. Artinya, tidak Ada jaminan Jokowi akan dilindungi. Karena itu, yang ketiga, Jokowi sadar bahwa hanya PDIP yang pasti akan memberikan perlindungan. Dengan pengaruh yang besar, PDIP tidak mungkin mencelakakan Jokowi sepanjang dia mendukung Ganjar sampai menjadi presiden. Dari tiga hal ini, dipastikan Gibran tidak akan menjadi cawapres untuk Prabowo. Jokowi akan kembali ke PDIP sebagai partai yang membesarkan dirinya. Dan akan melindungi dirinya jika Ganjar menjadi presiden. Tapi, apakah Ganjar bisa menang? Tulisan ini tidak mungkin dilanjutkan karena Anies Baswedan semakin kuat dan tak terbendung lagi.[]
MK: Mahkamah Keluarga Suksesi Dinasti Politik Jokowi 2024
Oleh Faisal Sallatalohy | Mahasiswa S3 Hukum Trisakti MAHKAMAH Konstitusi (MK) resmi berubah menjadi Mahkamah Keluarga. MK secara nyata menunjukan dirinya dikendalikan kekuatan Istana untuk melindungi dan menjaga kepentingan dinasti keluarga Jokowi. Ketua MK, Anwar Usman (paman Gibran-Adik Ipar Jokowi), memutuskan perubahan pasal 169 q UU No. 7 Tahun 2014 Tentang Pemilu: bahwa syarat pencalonan capres dan cawapres berusia paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan. Lewat keputusan ini, Gibran menemukan jalannya untuk bisa dicalonkan sebagai Cawapres Prabowo. Gibran memang belum mencapai usia 40 tahun. Tapi dia memenuhi syarat karena pernah menduduki jabatan Wali Kota Solo melalui pemilihan umum. Keputusan MK ini menjadi preseden paling buruk untuk kesekian kalinya. Meruntuhkan marwah MK sebagai lembaga hukum tertinggi negara. Merusak tatanegara hukum Indonesia. Tak ada lagi kehormatan yang tersisah pada diri MK. Selain lembaga yang memperbudak diri sebagai alat polik pendukung kepentingan Dinasti keluarga Jokowi. Memalukan !!! Jokowi sebagai Presiden dan Anwar Usman sebagai ketua MK sekaligus adik Ipar Jokowi, berkolaborasi dengan baik atas dasar ambisi politik: dimana hukum dijatuhkan kewibawaannya, dilecehkan logikanya dan dihinakan akal sehatnya. Masalah pertama, atas dasar apa MK punya legitimasi merevisi Aturan Perundang-Undangan dengan maksud merubah syarat usia Capres dan Cawapres? Terkait batas usia Capres dan Cawapres minimal 40 tahun, dimana letak benturannya dengan UUD 1945 sampai harus di revisi? Tidak ada satu pasal-pun dalam konstitusi yg berseberangan dengan batas usia minimal 40 tahun sebagaimana bunyi pasal 169 q UU Pemilu. Terbukti dalam amar putusan MK, bahwa memang tidak ada pertentangan tersebut. Jika tidak ada pertentangan, kenapa harus direvisi ? Bukankah MK hanya boleh merevisi UU jika terdapat pertentangan dengan konsitusi? Ketiadaan pertentangan antara aturan batas usia dengan UUD 1945, menunjukan bahwa perubahan usia Capres dan Cawapres bukan urusan dan kewenangan MK. Kenapa MK ngotot mengambil peran? Dengannya, maka keputusan MK tentang perubahan usia Capres dan Cawapres pada senin kemarin adalah keputusan yang tidak didasarkan atas kewenangan lembaga, MK tidak punya dasar legitimasi hukum alias keputusan ilegal. Secara prosedural, perubahan UU yg tidak memiliki unsur pertentangan dengan UUD 1945, tidak bisa dilakukan di MK. Ini adalah bagian dari proses legislasi yg menjadi tanggung jawab DPR. Di sinilah letak kecerdasan cawe-cawe politik Jokowi. Jika perubahan usia capres dan cawapres dilakukan Jokowi melalui proses legislasi di DPR, akan memakan waktu lama. Ada beberapa syarat yg memang harus dipenuhi. Misalnya masuk dalam prolegnas prioritas. Momen politik pilpres tinggal hitung hari. Jika proses perubahan usia dilakukan melalui proses legislasi di DPR, maka dipastikan, ambisi Jokowi untuk mencalonkan Gibran tidak akan terwujud. Inilah alasan kenapa Jokowi mempolitisasi MK sebagai alat instan dan cepat untuk merubah batas usia Wapres agar Gibran bisa memenuhi syarat sebagai Cwapres. Di satu sisi, sikap Jokowi yg mempolitisasi MK, bukan saja menjatuhkan Marwah MK sebagai lembaga hukum tertinggi. Dengan perilaku ini, Jokowi juga turut melecehkan DPR sebagai lembaga tertinggi yg mewakili seluruh rakyat Indonesia. Batas usia Capres dan Cawapres dalam UU pemilu itu, digodok, disetujui dan disahkan oleh partai-partai yg punya kursi di DPR. Tapi lewat MK, Jokowi memfasilitasi Garuda dan PSI yg sama sekali tidak punya kursi di DPR untuk menggugat hingga dikabulkan MK. Jadi runutan kendali tangan keluarga Jokowi terlihat jelas. PSI partai yg diketuai Kaesang (Adik Gibran) ajukan gugatan. Ketua MK (Paman Gibran) mengabulkan gugatan. Dan Gibran (Anak Jokowi) menerima manfaat karena bisa memenuhi syarat sebagai Cawapres yg akan dipasangkan Jokowi temani Prabowo sebagai Capres. Luar biasa... Hal ini menjadi cerminan betapa lihainya cawe-cawe politik Jokowi. Sangat terencana dan akurat. Bahkan dengan cara memutus kuasa partai-partai besar yg punya kursi di DPR. Jokowi mengendalikan Garuda dan PSI untuk menata politik dinastinya. Jempol buat pak Jokowi. Hebat memang. Tak habis difikir. Bagaimana bisa Jokowi mampu mengalahkan partai-partai besar di DPR hanya dengan menggunakan Garuda dan PSI yg sama sekali tidak punya kursi di DPR. Dua partai inilah yg didorong untuk menggugat pasal 169 q UU Pemilu tentang batas usia Capres dan Cawapres hingga berhasil dikabulkan MK. Lalu kemana partai-partai besar yg menggodok, menyepakati dan mengesahkan pasal tersebut. Termasuk PDIP, kenapa tidak punya kuasa untuk melawan. Kemana Megawati, ketum PDIP yang katanya juragan Jokowi selama hampir dua periode. Kenapa Megawati dan PDIP diam saja. Bukankah putusan MK ini adalah wujud pengkhianatan dan pembangkan amat nyata Jokowi terhadap Megawati. Jika benar perubahan syarat usia ini adalah strategi licik Jokowi untuk memasangkan Gibran dan Prabowo, artinya, lewat paslon ini, Jokowi telah siap dan bertekad menjadi King Maker untuk bertarung dengan pihak manapun. Bukan saja dalam rangka melawan Anies-Cak Imin, tetapi juga paslon sokongan PDIP yakni Ganjar yg belum diketahui siapa cawapresnya. Begitulah politik. Hanya sebatas pertukaran kepentingan. Cepat berubah. Jarak peralihan dari Kawan menjadi lawan hanya setipis benang. Dekat sekali. Namun, lewat keputusan perubahan batas usia Capres dan Cawapres serta ambisi Jokowi memasanng Gibran sebagai Cawapres makin menyadarkan masyarakat tentang eksistensi MK yg saat ini telah berubah menjadi Mahakamah Keluarga. Shame On you...
Ketua MK Pengecut, Bersandiwara Soal Batas Usia Capres-Cawapres
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior Mau disebut Mahkamah Keluarga, tidak salah. Mau dikatakan Mahkamah Kepentingan, bisa juga. Hari ini Ketua dan para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) mempertontonkan martabat terendah mereka. Yaitu, pengecut dan bersandiwara. Tidak berani tegas memutuskan gugatan terhadap batas usia capres-cawapres. Mereka membuat rangkaian putusan yang seolah menjunjung konstitusi UUD 1945. Padahal, mereka merekayasa kepura-puraan yang tujuannya hanya satu, yakni untuk membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka ikut pilpres 2024. Ada banyak pihak yang menggugat. Dua yang terkemuka diantaranya adalah PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dan Partai Garuda. Gugatan kedua parpol ini ditolak. Tetapi, Ketua MK Anwar Usman (adik ipar Jokowi) dan para hakim lainnya mengabulkan gugatan mahasiswa UNS Solo, Almas Tsaqibirru. Singkatnya, pasal 169 huru q UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilu tetap membatasi usia minimal capres-cawapres 40 tahun. Tetapi kalau orang itu berpengalaman menjadi kepala daerah boleh ikut pilpres walaupun belum 40 tahun. Ini jelas dimaksudkan untuk Girban. Tak bisa dibantah sandiwara tulen di MK yang pertahankan batas usia 40 tahun tetapi memberikan jalan kepada yang punya pengalaman sebagai kepala daerah. Sandiwara untuk memuluskan jalan Gibran ikut pilpres. Indonesia betul-betul menjadi ajang permainan elit politik dan eilit taipan jahat. Jokowi bisa mengatur apa saja yang dia dan taipan inginkan. Logis saja. Untuk siapa frasa “berpengalaman menjadi kepala daerah meskipun belum 40 tahun” itu? Bukan untuk Gibran? Apakah ada manusia waras yang mengatakan putusan MK ini bukan untuk Gibran? Seharusnya Ketua MK gentleman saja. Tidak usah berputar-putar untuk membukakan jalan bagi Gibran. Menolak penurunan batas usia, tetapi membolehkan orang yang sedang menjadi kepala daerah atau pernah menjadi kepala daerah. Ini jelas sandiwara hukum. Ketua MK Anwar Usman tidak bisa mengelak kalau dituding sebagai sutradara sandiwara ini. Memuakkan. Menjijikkan sekali. Anda menghina akal sehat publik. Anda pengecut, Pak Ketua MK. Putuskan saja batas usia menjadi 35 tahun. Tidak usah malu-malu berbuat untuk Gibran. Tidak perlu berbelit-belit dengan frasa “pengalaman sebagai kepala daerah” segala. Mengapa harus berbasa-basi? Anda tidak hanya bersandiwara dengan kepura-puraan, Pak Ketua. Tapi Anda sekarang malah memunculkan masalah baru. Apa masalah baru itu? Bahwa putusan Anda ini mendiskriminasikan orang-orang di bawah 40 tahun yang sangat berpotensi tapi tidak punya pengalaman sebagai kepala daerah. Entah menunggu kesewenangan apalagi sebelum rakyat bangkit menghentikan perbuatan tercela para penguasa bangsat.[]