Aku Banteng, Kamu Celeng, Mereka Pancasila, Apa Iya?

UNGKAPAN paling kasar ketika seseorang marah adalah celeng. Tingkatan di bawahnya adalah genjik (anak celeng), di bawahnya adalah anjing, di bawahnya lagi kirik (anak anjing). Ungkapan kasar yang diperhalus adalah anjrit, kamuflase dari kata anjing. Diksi kemarahan paling “sopan” adalah bangsat.

Kata-kata kasar ini biasanya disemprotkan untuk merendahkan dan menghina musuh atau teman yang sedang bertikai.

Celeng menjadi kata yang cukup populer beberapa hari ini. Jika kita lakukan survei sederhana di google, kata “PDIP Celeng” ditemukan 1.880.000 kata, “Ganjar Celeng” menghasilkan 2.770.000 kata, dan “Pendukung Ganjar Celeng” ada 138.000 kata.

Umpatan celeng membanjiri pemberitaan dan menjadi populer setelah Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, Ketua DPD PDIP Jawa Tengah murka terhadap Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang secara masif blusukan ke berbagai daerah, bahkan sampai Papua. Kader banteng itu diduga membawa misi tersembunyi, yakni menarik simpati untuk pencapresan 2024.

Sepak terjang Ganjar membuat PDIP blingsatan. Maklum PDIP sedang getol menyiapkan kader biologisnya, Puan Maharani untuk menjadi presiden atau wakil presiden.

Bambang makin tersulut pasca Albertus Sumbogo, Ketua DPC Seknas Ganjar Indonesia (SGI) Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah mendeklarasikan diri siap mendukung Ganjar Pranowo maju Pilpres 2024.

Bambang menyebut kader PDIP yang tidak satu barisan dengan petuah Megawati, dicap sebagai celeng. Mereka tidak dianggap keluarga banteng, tetapi celeng. Anehnya yang diceleng-celengkan tidak marah. Padahal celeng adalah hardikan paling kasar dan hina bagi orang Indonesia.

Perangai kasar tampaknya menjadi hal biasa bagi keluarga Banteng maupun Celeng.

Lihat saja, sebelum ini kekerasan dipertontonkan oleh Menteri Sosial Tri Rismaharini yang juga kader Banteng. Risma yang seharusnya tampil lembut dan anggun justru lebih senang mirip Gatutkaca edan. Bertolak pinggang dan menunjuk-nunjuk orang. Risma yang setiap katanya seharusnya merdu justru yang keluar suara parau dan berisik. Ini terjadi di dalam sebuah pertemuan di Kabupaten Gorontalo.

Adalah pendamping PKH bernama Fajar Sidik Napu yang ketiban sial. Ia dimarahi Mensos dan ditunjuk-tunjuk oleh kader Banteng yang sedang emosi. Risma berjalan ke arah Fajar sambil berteriak, “Tak tembak kamu, tak tembak kamu,” ujar Mensos murka.

Selang beberapa hari, di Lombok Timur, NTB, Menteri Risma juga ngamuk lagi. Kali ini terkait dugaan oknum kepala desa di Lombok Timur yang menjadi pemasok komoditas bantuan sosial. Risma berdebat keras dengan pendemo yang protes kenapa kepala desa bisa menjadi pemasok barang bansos (bantuan sosial). Dalam debat tersebut, Risma seperti biasanya bicara dengan keras dan lantang. “Kamu jangan fitnah aku ya! Sebentar dengerin!!!. Saya tidak akan ke sini kalau nggak ada niat baik selesaikan masalah, ngapain saya ke sini. Kedua, saya tidak tahu suplier atau tidak, saya ini menteri tidak urusi hal ini,” kata Risma ngamuk dengan kencang.

Kekerasan ternyata tidak hanya merasuki banteng dan celeng. Akan tetapi, juga menular kepada aparat polisi. Sejatinya, mereka penegak hukum, bukan pelanggar hukum, apalagi membanting hukum.

Masih segar diingatan rakyat, di bulan Oktober 2021, kekerasan beruntun dilakukan oleh anggota polisi. Kami tidak menyebut oknum, karena tidak ada tulisan kata itu di bajunya, maupun pada atribut lainnya. Polisi membanting mahasiswa hingga pingsan dan dibawa ke rumah sakit, dirawat dua hari dua malam, saat berdemo di Tigaraksa, depan Kantor Bupati Tangerang.

Hampir bersamaan waktunya, kekerasan juga terjadi di Deli Serdang, Medan, Sumatera Utara. Dalam video yang viral di medsos, menunjukkan seorang pria dipukuli oleh anggota polisi lalu lintas hingga terkapar di jalan. Tampak, pria yang memakai jaket hitam tersebut tiba-tiba dipukuli oleh polisi. Wajah pria tersebut berulang kali ditampar. Pria tersebut tidak bisa melawan dan langsung terkapar di jalan.

Kekerasan yang terjadi pada banteng dan celeng, ternyata juga merasuki aparat birokrat dan politisi. Gubernur Maluku, Murad Ismail misalnya, juga mengeluarkan kata-kata kasar saat menanggapi aksi demo tolak PPKM yang sering terjadi di Kota Ambon.

“Jangan terpengaruh oleh itu apa, kaskadu kaskadu (kurap) itu yang cuma berapa ekor, tapi selalu buat…, sekali-sekali masyarakat Maluku kompak, kumpul la pukul mereka sampai tai keluar dari pantat,” kata Murad dalam sambutannya di Paroki Katholik Maria Bintang Laut, Ambon.

Tidak hanya itu, seorang PNS di Lampung Selatan juga berkata kasar dengan mengucapkan kata-kata “Anjing Kau” serta kerap menggoblok-gobloki pegawai yang lain.

Tabiat kasar juga dipertontonkan wakil rakyat. Beberapa tahun yang lalu anggota DPR Bambang Soesatyo yang kini menjadi Ketua MPR juga mengumbar kata 'lonte politik' untuk menyerang politikus Golkar pro Aburizal Bakrie yang pindah ke kubu Agung yakni Mahyudin, Airlangga Hartarto dan Erwin Aksa.

Yang paling fenomenal adalah pernyataan Gubernur DKI ketika itu Basuki Tjahaja Purnama yang mengumpat dengan menggunakan 'bahasa toilet' saat wawancara live di TV.

Dalam beberapa hari ini, rakyat Indonesia dipaksa mengonsumsi, kata-kata, perilaku, dan sikap kasar dari pejabat publik. Rasanya kita bukan hidup di negeri yang berketuhanan dan beradab. Kita mirip hidup di sebuah rimba yang tanpa aturan.

Apakah sudah tidak ada lagi kelembutan tutur kata dari para pejabat? Misi apa sebenarnya yang ingin ditunjukkan oleh para pejabat itu? Apakah mereka stres. Rakyat jauh lebih stres menyaksikan ulah rezim hari demi hari yang tidak menghiraukan kesengsaraan dan penderitaan yang mereka alami.

Perilaku dan kata-kata kasar di era medsos tidak mungkin bisa disaring. Ia masuk ke gadget anak-anak, di sekolah, di rumah, di kamar tidur, dan di mana saja berada.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mewanti-wanti para orangtua supaya tidak terbiasa berkata kasar pada anak. Sebab, sekali membentak akan berakibat fatal terhadap perkembangan otak anak. Sekali saja anak usia dini dibentak, maka triliunan sel otaknya rusak.

Anomali percelengan dan akrobat politik partai berlogo binatang itu, setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia. Mereka tidak sadar, apa yang mereka lakukan sesungguhnya menunjukkan wajah asli dari mereka sendiri yang bengis, kasar, brutal, radikal, dan menang sendiri.

Kita sebagai manusia beradab, sungguh prihatin dengan sepak terjang mereka. Ada berapa juta anak-anak yang menyaksikan polah kasar mereka. Kejadian ini mengingatkan kita betapa kekerasan semakin dekat dengan mata dan telinga kita. Kekerasan fisik, psikis, maupun verbal.

Elite politik dan pendukungnya, diminta jangan mempertontonkan perilaku politik murahan, merendahkan harkat kemanusiaan, dan memberikan teladan buruk kepada anak-anak.

Bagaimana berikrar “Aku Pancasila”, jika setiap kata yang keluar dari lambenya adalah kata-kata kasar, kekerasan, dan penghinaan. Jauh dari adat dan adab. (*)

854

Related Post