Andai Jokowi Mundur atau Dimundurkan
By M Rizal Fadillah
Bandung, FNN - Wacana bahkan desakan agar Jokowi mundur terdengar semakin nyaring. Opsi beratnya adalah dimundurkan. Tentu semua dalam kerangka konstitusi bukan makar atau kudeta. Baik Presiden mundur ataupun dimundurkan memiliki akar sejarah dalam ketatanegaraan kita. Soekarno dan Soeharto mundur, sementara Gus Dur dimundurkan.
Nah kita mulai dengan Jokowi yang memilih untuk mengundurkan diri karena tidak mampu lagi untuk memimpin pemerintahan. Akibat pula dari kepercayaan rakyat yang hilang. Jika mundur secara sukarela dengan meminta maaf secara serius, mungkin tidak membawa konsekuensi hukum. Rakyat rela atau terpaksa memaafkan.
Menurut Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 kedudukan Presiden yang mundur digantikan oleh Wakil Presiden. Kyai Ma'ruf Amin menjadi Presiden. Ayat (2) mengatur bahwa selambatnya 2 bulan setelahnya MPR memilih Wapres dari dua calon yang diajukan Presiden . Disini tentu terjadi lobi, kesepakatan, dan mungkin tekanan politik.
Melihat kemampuan Wakil Presiden "The King of Silent" bukan hal mustahil Wapres mundur berbarengan dengan Presiden karena solidaritas dan merasa senasib sepenanggungan. Berlakulah Pasal 8 ayat (3) Menlu, Mendagri, dan Menhan mengisi kekosongan hingga 30 hari ke depan. MPR melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Andai Presiden Jokowi tidak mundur tetapi dimundurkan atas dasar tekanan politik rakyat, maka akan berat bagi Jokowi untuk menanggung konsekuensi politik dan hukumnya.
Pertama, ketika ada dua Menteri melakukan korupsi, maka wajar ada dugaan bahwa dana mengalir kemana mana. Upeti ke atasan pun patut dicurigai. Korupsi tersendiri atas berbagai komisi juga mungkin. Ada bongkar-bongkaran rekening gendut mantan Presiden baik di dalam maupun luar negeri. Tuduhan korupsi bakal menanti.
Kedua, kasus pelanggaran HAM diusut dan diminta pertanggungjawaban Jokowi. Pembiaran tewasnya 700 an petugas Pemilu 2019, pembunuhan oleh aparat sekurangnya sembilan pengunjuk rasa pada 21-22 Mei 2019, serta pembantaian enam pengawal HRS 7 Desember 2020 adalah "daging empuk" dakwaan.
Ketiga, mismanajemen pengelolaan ekonomi sehingga kondisi perekonomian morat marit. Gagal menjadi rezim investasi. Hutang luar negeri yang menumpuk menyebabkan tidak mampu membayar. Untuk menutupi bunga saja Menkeu sudah pontang -panting. Meminjam besar tanpa persetujuan Dewan dipastikan menjadi beban dan tudingan kemudian hari.
Keempat, kebijakan membangun poros Jakarta-Beijing dengan menjebol kran imigrasi untuk mengelontorkan kedatangan TKA Cina sangat bermasalah. Ikutan ideologi menjadi pertanyaan. Bisa saja Jokowi bukan komunis, tetapi kebijakan yang membuka pintu komunisme tidak dapat diterima oleh rakyat Indonesia yang sangat anti PKI dan Neo-PKI.
Kelima, memperalat pandemi Covid 19 untuk membungkam demokrasi dan membangun oligarkhi, korporatokrasi, dan kleptokrasi. Kejahatan politik seperti ini wajib untuk dipertanggungjawabkan dan harus menjadi pemberat hukuman. Aparat telah dikerahkan untuk memenuhi hasrat kekuasaan dengan menunggangi pandemi bukan sebaliknya, menanggulangi.
Risiko tinggi dan kerugian besar Jokowi jika sampai dimundurkan. Dosa politiknya lebih besar dibandingkan Presiden pendahulunya. Kerusakan negara dilakukan dengan cepat dengan masa kekuasaan yang masih pendek. Dengan ilusi tiga periode lagi.
Ketika kini tokoh kritis diborgol dan dipaksa memakai rompi oranye, maka esok mungkin giliran Jokowi yang berbaju oranye. Semoga hidayah dan akal sehat masih melekat pada Presiden Jokowi yang saat ini memiliki banyak gelar dari rakyat. Gelar yang bernuansa olok-olok.
Kita tunggu pilihan terbaiknya.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan