Arogansi Kekuasaan
Oleh Ridwan Saidi
Meski raja bepergian dipikul-pikul, mereka tak sombong. Mereka tegur rakyat di tepi jalan yang lagi pada jongkok. Tukang panggul raja walau upah tak seberapa, mereka gembira saja. Meski pun mereka yang manggul di belakang berisiko kena serangan gas lambung raja yang tiba-tiba masuk angin.
Wolio adalah satu-satunya kerajaan yang pada tahun 1599 memiliki konstitusi tertulis yang disebut Martabat Tujuh . Di situ antara lain diatur pidana mati bagi raja yang berlaku lalim dan sombong.
Tidak patut memberi juadah pada rakyat dengan cara melemparkannya dari kendaraan, tidaklah elok pejabat berumur bicara soal hukum dengan menggertak-gertak yang lebih muda. Akhirnya dua kawula muda beli gertakan itu opung. Repot sendiri 'kan? Waktu muda kali saya belajar main pukulan (silat), guru kasih nasihat, Wan nanti kalo lu udah tua, jangan ribut sama anak muda.
Perlawanan rakyat pada penguasa sering karena arogansi kekuasaan dari pada soal kebijakan. Penguasa sombong tak disukai. Apalagi sudah sombong berbonus tolol.
Kebijakan yang merugikan rakyat sering manunggal dengan arogansi kekuasaan. Ini memicu sengitnya perlawanan ketika kekuasaan ditumbangkan. Kebijakan merugikan dan arogansi kekuasaan tentu menimbulkan kontraksi yang akibatnya tidak menguntungkan penguasa.
Tak usah yang merugikan, kebijakan nan elok tapi tak realistis juga dapat reaksi boikot seperti yang dialami Khalifah Bagdad Harun al Rasyid.
Syahdan daerah pinggir Bagdad penduduknya mengalami krisis madu. Khalifah ambil inisiatif menyerukan penduduk kota Bagdad, derma setengah cangkir madu dan kumpulkan di gentong yang sudah disediakan di alun-alun. Harun al Rasyid khalifah simpatik, idenya menarik, tapi tak realistik. Penduduk kota sedang tidak berkelebihan rejeki.
Abu Nawas berpikir, kalau aku tuang ke gentong setengah cangkir air putih 'kan tak ketauan. Sip.
Penduduk dari pagi penuhi kewajiban. Mereka, ternasuk Abu Nawas, datang ke alun-alun.
Sore-sore khalifah buka gentong dan bukan main kagetnya. Isi gentong cuma air putih. Khalifah mencicipi, itu air gentong kagak manis-manis acan.
Dalam gelombang yang sama, maka pikiran individual menjadi komunal. Bukan lagi sigma individu tapi kolektif individu. Realita menyatukan pikiran dalam satuan time frame.
*) Budayawan