Bau Amis Gerombolan Si Bengis
Kami mendukung tindakan Kapolri mencopoti perwira yang terlibat rekayasa perkara pembunuhan Brigpol Nofriansyah Yoshua Hutabarat ajudan bekas Kadiv Propam Mabes Polri, Ferdy Sambo. Ini adalah awal pembenahan besar-besaran di tubuh Polri sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.
Institusi Polri tidak boleh rusak oleh segelintir oknum bengis. Tidak semua polisi dan tentara bisa membunuh. Apalagi membunuh dengan cara menyiksa. Karena polisi dan tentara juga manusia yang pasti bakal mengalami tekanan emosional hebat jika harus membunuh spesiesnya sendiri.
Polisi, terutama Resmob dan Reserse lapangan, dilatih mahir menembak dan membela diri untuk melumpuhkan penjahat. Tidak pernah dilatih seperti tentara.
Tentara dilatih untuk membunuh musuh negara. Latihan tentara lebih mendekati keadaan perang nyata, kondisi dibunuh atau membunuh. Makanya mereka dilatih menusuk boneka atau karung pasir dengan bayonet.
Ada juga latihan menusuk plastik atau balon berisi cairan merah supaya prajuritnya terlatih kecipratan darah.
Tapi seekstrim-ekstrimnya latihan polisi atau tentara, tidak otomatis menjadikan mereka sebagai mesin pembunuh efektif (pembunuh berdarah dingin dan tidak terganggu kejiwaannya).
Untuk menjadi pembunuh berdarah dingin, tidak cukup dengan latihan, tapi harus dengan praktik membunuh manusia secara nyata.
Seseorang hanya bisa menjadi pembunuh berdarah dingin jika sering melakukannya, berulang dan berulang. Tentu karena ada penugasan jika dia seorang aparat negara.
Tapi itu pun belum cukup menjadikan seorang pembunuh efektif menjadi pembunuh bengis (dengan penyiksaan).
Untuk menjadi pembunuh bengis, moral seseorang harus dirusak dulu. Narasi tentang dosa, karma, hari pembalasan, larangan-larangan dalam kitab suci, harus dihapus dari memori otaknya.
Kejiwaan dan rasa kemanusiaannya harus dirusak dengan mencabut keimanannya kepada Tuhan.
Roh Tuhan yang ada dalam tubuh calon pembunuh bengis ini harus diganti dengan roh iblis.
Caranya dengan dicekoki uang, materi, atau imbalan jabatan setiap kali mengikuti instruksi dengan baik. Persis seperti melatih anjing rumahan menjadi anjing pemburu.
Pembunuh bengis seperti ini sudah tidak banyak di zaman damai. Perang betulan, di Timor Timur dan Aceh sudah selesai. Tinggal Papua. Itu pun malah banyak aparat kita yang terbunuh.
Killer squad yang jadi momok masyarakat belakangan ini, orangnya atau komplotannya pasti yang itu itu juga.
Kebengisan di KM 50 Tol Japek, kebengisan di kompleks Polisi Duren Tiga Jakarta Selatan, polanya sama. Korban disiksa dulu baru didor dalam jarak dekat.
Tapi peristiwanya dinarasikan ke publik secara manipulatif. Seolah-olah pembunuhan tersebut bersifat force majeur, ada imminent danger, sehingga terpaksa dibunuh karena korban menyerang duluan atau melawan dengan senjata mematikan.
Tapi kok ada bekas-bekas penyiksaan di tubuh sasaran? Kok CCTV rusak? Kok warga dan wartawan dilarang mendekati TKP? Sementara kalau menangkap teroris kok videonya lengkap? Bawa wartawan pula!!
Oke. Untuk pembunuhan warga sipil, kalian bisa menjaga code of silence (tutup mulut seluruh institusi).
Tapi untuk pembunuhan sesama polisi, jangan harap kalian bisa menutup mulut semua polisi. Pasti ada yang emosi jiwa. Pasti ada yang melawan dari dalam. Ada bau amis yang terus terus menyengat pada oknum-oknum berjiwa bengis.
Komplotan kalian segera terbongkar!