Gerakan 07 Desember/PRI, dan Kekejaman yang Ditutuptutupi
PAGI brutal itu terjadi pada Senin, 07 Desember 2020, pukul 00.30 WIB di seputar KM 50-57 jalan Tol Jakarta-Cikampek, Polisi Republik Indonesia (PRI) telah melakukan pengkhianatan terhadap anak bangsa Indonesia. Enam laskar Front Pembela Islam telah dibunuh secara keji. Pembunuhan ini diakui sendiri oleh polisi, sebagaimana disampaikan oleh Kapolda Metro, Jaya Fadil Imron, Senin siang pukul 14.00 WIB di Mapolda Metro Jaya. Konferensi pers dilakukan dengan gagah, seakan-akan polisi berhasil menumpas teroris. Padahal yang ditumpas hanyalah anak-anak muda yang sedang mengawal Habib Rizieq Shihab yang akan mengisi pengajian subuh di sebuah tempat di Karawang. PRI bisa kita disebut sebagai dalang Gerakan 08 Desember dengan korban rakyat sipil yang belum tentu punya salah. Inilah pengkhianatan yang nyata. Polisi yang slogannya pengayom masyarakat, prakteknya telah melalukan pembunuhan terhadap warganya sendiri. Dengan kejam.
Perdebatan soal adanya tembak menembak atau pembunuhan satu arah, kini sedang ditelisik oleh Komnas HAM. Biarkan mereka mengusutnya, jangan ada campur tangan dari penguasa. Mudah-mudahan hasil investigasi Komnas HAM mampu menguak siapa dalang sebenarnya dari peristiwa kelam itu. Yang harus kita catat adalah PRI mengakui telah menembak 6 laskar FPI tersebut dan kelak akan menjadi bagian sejarah hitam masyarakat Indonesia. Jadi, menyoal siapa pelakunya sudah tidak perlu dibahas, karena sudah jelas ada pengakuan.
Saat ini polisi bisa saja berkilah, tetapi FPI punya data akurat. Biarkan diadu siapa yang berbohong. Jangan sampai ada intervensi dari kekuatan dan kekuasaan negara sehingga akhirnya peristiwanya menjadi kabur bahkan gelap.
Polisi sebagai pelindung rakyat tidak sepantasnya melakukan kebiadaban itu. Siapapun yang membaca berita dan melihat video di media massa maupun media sosial, berkesimpulan polisi terlalu arogan dan jumawa. Narasi yang dikemukakan polisi seakan memberikan kesan, lembaga ini super power yang tidak bisa disentuh. Perkataannya wajib diamini.
Tak hanya itu, polisi telah menunjukkan sisi otoritarianisme dalam menghadapi masyarakat yang kritis. Sampai saat ini belum ada pejabat pemerintah maupun lembaga negara yang mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya enam laskar FPI. Tampak sekali tidak ada sedikit pun rasa penyesalan. Padahal polisi mengakuinya telah membunuh mereka.
Yang terjadi justru, polisi saat ini sibuk membangun opini publik bahwa apa yang dilakukan polisi sebuah kebenaran. Di samping membangun opini, ada pula upaya upaya untuk menghentikan kasus ini agar tidak terdeteksi siapa otak intelektualnya.
Penetapan Habib Rizieq Shihab sebagai tersangka atas kerumunan umat adalah upaya nyata untuk menutupi kasus pembunuhan yang telah viral secara internasional itu. Apalagi dilanjutkan dengan penahanan sang imam, jelas menunjukkan ini upaya menutupi kasus yang satu dengan kasus yang lain.
Polisi tidak bekerja sendirian. Para politisi propemerintah pun sibuk membangun opini yang sama. Mereka menuduh anggota dewan atau siapapun yang kritis terhadap kasus pembunuhan ini, dicap sebagai menumpang popularitas, memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Si penuduh tidak sadar bahwa ini masalah kekejaman terhadap kemanusiaan, tidak elok memelintir kasus yang telah melukai dan menyakiti hati masyarakat luas.
Polisi jangan sibuk mengkounter pernyataan-pernyataan kritis masyarakat. Hadirkan saja para algojo yang telah membunuh 6 laskar FPI. Hadirkan pula mobil yang ditumpangi para laskar yang ditembak mati. Jangan diumpetin, jangan pula bikin skenario yang berubah-ubah. Membunuh orang tanpa perintah pengadilan oleh polisi adalah kejahatan negara terhadap rakyatnya.
Jangan-jangan kesimpangsiuran ini sengaja dipelihara agar tetap gaduh dan absurd. Yang mereka cari sesungguhnya bukan dalang pembunuhan, melainkan mereka sedang mencari pengaruh untuk menduduki jabatan Kapolri, Kasad, Kepala BIN, dan Panglima TNI.
Gerakan 08 Desember/PRI ini sungguh kejam melebihi kekejaman PKI. (Editorial)