Indonesia Makin tidak Baik-baik Saja
PENANGANAN berbagai masalah di negeri ini semakin carut-marut. Kondisi bangsa semakin memprihatinkan.
Pada saat rakyat melakukan kritik terhadap jalannya pengelolaan negara, pemerintah malah menganggapnya sebagai musuh. Sejumlah aktivis pun sudah dipenjarakan.
Persoalan bangsa ini semakin kacau karena elitenya yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan dirinya. Lihat saja dalam penanganan Covid-19 yang amburadul. Rakyat disuruh vaksin gratis.
Memasuki kawasan tertentu, rakyat harus menunjukkan kartu tanda sudah divaksin. Misalnya, pedagang dan pengunjung yang mau datang ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat (khususnya gedung yang dikelola Perusahaan Daerah Pasar Jaya) harus menunjukkan kartu vaksin. Tanpa itu, ditolak masuk ke gedung.
Aturan tersebut sangat mengada-ngada. Sebab, ketersediaan vaksin yang disiapkan pemerintah masih terbatas. Belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Aturan harus memperlihatkan kartu vaksin itu juga sangat tidak masuk akal. Mestinya, aturan seperti itu tidak perlu diberlakukan. Jika aturan itu diterapkan secara paksa dan permanen, itu artinya mengingatkan kita pada aturan zaman orde baru dan masih berlaku beberapa tahun setelah reformasi.
Aturan itu adalah tidak memberikan layanan kependudukan (pembuatan Kartu Tanda Penduduk, surat keterangan pindah, surat pengantar mau menikah, surat pengantar akte kelahiran anak, dan surat tanda kematian) jika belum melunasi PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Padahal, tidak ada kolerasinya. Akan tetapi, karena terpaksa, rakyat terkadang harus kembali ke rumah, mengambil bukti tanda pelunasan PBB.
Aneh. Aturan kuno mau diterapkan. Kalaupun mau diterapkan, mestinya pemerintah menunggu sampai seluruh rakyat Indonesia divaksin.
Vaksin gratis bagus. Akan tetapi, yang lebih penting dan sangat mendesak adalah bagaimana rakyat bisa mendapatkan obat dengan mudah dan gratis. Sebab, rakyat yang sudah semakin susah, dan ketika kena Covid-19 kemudian melakukan isolasi mandiri (isoman) banyak yang kesulitan mendapatkan obat. Akhirnya, banyak yang meninggal saat isoman.
Jangankan yang isoman, yang dirawat di rumah sakit pun banyak yang tidak mendapatkan obat dan pelayanan kesehatan secara maksimal. Coba tonton video seorang ibu yang dirawat di rumah sakit dengan napas tersengal-sengal meminta pulang karena tidak diberikan obat dan air minum. Miris menonton videonya.
Rumah sakit penuh pasien. Antrean yang mau dirawat sering terlihat di rumah sakit dan bahkan sampai mendirikan tenda darurat, tempat ranjang perawatan.
Wajar antre karena pasien tiba-tiba membludak. Di sisi lain, tenaga medis yang menangani atau melayani pasien sangat terbatas. Tenaga medis pun kelelahan. Tidak heran banyak tenaga medis yang gugur karena menjalankan tugas. Mereka adalah, "Pahlawan Kesehatan." Tidak sedikit juga tenaga medis yang mengundurkan diri.
Lebih memprihatinkan lagi ketika jenazah yang mau keluar dari rumah sakit ikut antre. Hal itu terjadi karena selain ambulans yang terbatas, juga tenaga penggali kubur yang kewalahan dan kelelahan.
Covid-19 pun seakan-akan dijadikan pembenaran atas kesalahan pengelolaan negara Pancasila ini. Misalnya, pertumbuhan ekonomi nyungsap, daya beli anjlok, PHK terjadi di mana-mana.
Jika ditanyakan penyebabnya kepada pemerintah, maka paduan suara keluar, "Karena Covid-19." Paduan suara itu pun diikuti oleh para buzzer yang mati-matian membela rezim. Buzzer yang tidak punya malu dan harga diri.
Padahal, jika kita merunut ke belakang, periode pertama pemerintahan Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla, perekonomian sudah tidak menggembirakan alias merosot. Saat kampanye, mereka menjanjikan pertumbuhan ekonomi tujuh persen per tahun. Kenyataannya, jauh panggang dari api. Jangankan tujuh persen, angka pertumbuhan 5,20 persen saja tidak pernah tercapai.
Di bidang politik pun carut-marut. Ada upaya memecah-belah partai secara terus-menerus dan sistematik. Ada yang terang-terangan mau membegal partai. Akan tetapi, upaya pembegalan yang dilakukan Kepala Staf Presiden, Moeldoko gagal total.
Presiden Joko Widodo masih terlihat asyik blusukan dengan gelar, "Petugas Partai." Terakhir ia mendatangi sebuah apotik di Bogor menanyakan dua obat dan vitamin yang ternyata sudah kosong. Padahal, sejumlah obat-obatan (tidak hanya yang digunakan untuk pasien Covid-19) sudah banyak dan sudah lama kosong. Rakyat sudan teriak obat-obatan kosong.
Blusukan yang dilakukan Jokowi itu menjadi bahan olok-olokan rakyat. Kelihatannya, karena petugas partai, ia masih lebih asyik dan suka blusukan serta pencitraan. Padahal, ia sudah menjadi Presiden Republik Indonesia yang mestinya merangkul anak-anak bangsa.
Persoalan bangsa ini tidak akan bisa diselesaikan dengan baik jika masing-masing elite menonjolkan egonya masing-masing. Butuh kenegarawanan. Butuh contoh nyata dari para elite, khususnya elite yang sedang memegang kekuasaan, terutama Jokowi.
Jika masih lebih asyik blusukan, pencitraan dan memarahi menterinya sendiri, Jokowi lebih baik berhenti. Wibawanya sudah tidak ada di mata para menterinya yang sering dimarahi. Apalagi di mata rakyat, Jokowi sudah tidak berguna.
Tanpa kesadaran bersama, tanpa keinginan bersama, kehidupan berbangsa dan bernegara kian hari semakin carut-marut. Dikhawatirkan, terjadi tsunami yang menghancurkan sendi-sendi berbangsa dan bertanah air. **