Islamophobia: Singapura Harus Dilawan!

UAS saat

USTAZ Abdul Somad (UAS) dilarang masuk Singapura. Bahkan, ketika bersama istri, anak dan keluarga, serta kerabatnya hendak berkunjung ke negara tersebut, ia harus mendapatkan perlakuan pahit. Sebelum dideportasi, UAS dimasukkan ke sebuah ruangan sempit, layaknya penjara oleh pihak Imigrasi Singapura.

UAS tidak mengerti diperlakukan seperti itu. Ia tak paham kenapa harus 'dipenjara' walau sebentar, dan akhirnya dikembalikan ke Indonesia dengan menggunakan kapal laut.

Meski diperlakukan tidak manusiawi, tetapi ustaz yang lantang menyuarakan perlawanan terhadap ketidak-adilan dan kesemena-menaan itu tetap tegar. Dia hanya meminta agar pemerintah Singapura menjelaskan alasan penolakan tersebut.

Tak lama setelah video tentang UAS dideportasi beredar di medsos (media sosial) maupun media mainstream, berbagai pendapat dan penjelasan pun riuh. Awalnya, pihak Singapura terkesan diam dan menutup-nutupi alasan penolakan itu.

Akan tetapi, karena desakan berbagai pihak, pemerintah Singapura pun akhirnya buka suara. UAS bukan dideportasi, tetapi dilarang masuk ke Singapura.

Kementerian Dalam Negeri Singapura (MHA) menyebutkankan, UAS menyebarkan ajaran ekstremis dan segregasi.

“Somad dikenal menyebarkan ajaran ekstremis dan segregasi, yang tidak dapat diterima di masyarakat multi-ras dan multi-agama Singapura. Misalnya, Somad telah mengkhotbahkan bahwa bom bunuh diri adalah sah dalam konteks konflik Israel-Palestina, dan dianggap sebagai operasi 'syahid'. Dia juga membuat komentar yang merendahkan anggota komunitas agama lain, seperti Kristen, dengan menggambarkan salib Kristen sebagai tempat tinggal 'jin (roh/setan) kafir'. Selain itu, Somad secara terbuka menyebut non-Muslim sebagai 'kafir',” tulis MHA di situs resminya.

UAS Batubara tiba di Terminal Feri Tanah Merah Singapura pada Senin, 16 Mei 2022 dari Batam dengan enam pendamping perjalanan.

Setelah diwawancara petugas Singapura, UAS dan rombongan ditolak masuk. Pada hari yang sama dikembalikan ke Indonesia dengan menggunakan kapal Feri ke Batam.

Masih menurut MHA, masuknya pengunjung ke Singapura tidak otomatis atau hak. Setiap kasus dinilai berdasarkan kemampuannya sendiri.

“Sementara Somad berusaha memasuki Singapura dengan pura-pura untuk kunjungan sosial. Pemerintah Singapura memandang serius siapa pun yang menganjurkan kekerasan dan/atau mendukung ajaran ekstremis dan segregasi. Somad dan teman perjalanannya ditolak masuk ke Singapura,” tutup MHA.

Penilaian UAS ekstrimis dan segregasi sangat tidak masuk akal. Tidak ada alasan apa pun yang bisa diletakkan kepadanya bahwa ia ekstrimis dan segregasi.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, ekstremis artinya: 1. orang yang ekstrem;  2. orang yang melampaui batas kebiasaan (hukum dan sebagainya) dalam membela atau menuntut sesuatu; 3. cap pejuang pada masa perang kemerdekaan melawan Belanda.

Sedangkan pengertian segregasi adalah pemisahan (suatu golongan dari golongan lainnya); pengasingan; pengucilan. Segragasi ras adalah bentuk rasisme institusional. (Pengertian menurut Wikipedia).

Jika mengacu pada pengertian tersebut, tidak ada alasan melarang UAS masuk ke Singapura. Kecuali karena negara tersebut masih dihinggapi penyakit Islamophobia atau ketakutan dan kebencian terhadap Islam dan Muslim.

Padahal, PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) sudah mengeluarkan Resolusi dan menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari anti-Islamofobia. Aneh, negara kecil Singapura memberlakukan WNI seperti itu hanya karena menyampaikan dakwah dan pemikirannya tentang kemajuan agama Islam.

Dari mana dasarnya Singapura menuduh ekstrimis? Apa dasarnya negara tersebut menuduh pria bermarga Batubara itu sebagai orang yang segregasi?

Jika ceramah dalam kaitan bom bunuh diri adalah sah dalam kaitan konflik Palestina-Israel, itu sah-sah saja dalam konteks mempertahankan negara yang sedang dijajah. Israel adalah penjajah yang ingin merampas tanah Palestina, terutama merebut Masjid Al-Aqsa yang wajib dipertahankan umat Islam.

Akan tetapi, alasan yang dibuat Singapura atas hal tersebut juga wajar. Sebab, Singapura merupakan perpanjangan tangan Israel di kawasan ASEAN.

Mengenai penyebutan kafir di luar agama Islam, itu juga wajar karena yang disampaikan UAS adalah Al-Qur'an. Ceramah dengan menyebutkan kafir di luar Islam juga disampaikan dalam konteks dakwah kepada umat Islam. Tujuannya, memperkuat aqidah umat Islam.

Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Luar Negeri harus mengambil sikap tegas. Setidaknya memerintahkan Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura, Suryo Pratomo mengirimkan surat protes keras, bukan sekedar mengirimkan nota diplomatik.

Sikap tegas pemerintah itu juga bisa berupa pemanggilan Dubes Singapura untuk Indonesia oleh Kemenlu. Tidak usah sampai memanggil Dubes RI untuk Singapura.

Sebab, yang ditolak masuk itu bukan sekedar ulama terkenal, tetapi seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak pernah terlibat kriminal, kegiatan ekstrimis dan segregasi yang dituduhkan kepadanya.

Hanya karena menyampaikan pandangan lewat dakwahnya, kok sudah dicap macam-macam. Negara wajib melindungi segenap WNI di manapun berada. (*)

793

Related Post