Jahatnya Jokowi Sekeluarga
Oleh Syafril Sjofyan | Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen APPTNI
Akhirnya palu Godam pemecatan Joko Widodo sekeluarga dari keanggotaan partai secara formal diumumkan oleh PDI Perjuangan. Walaupun telat. Apa fatsal. Karena baik sewaktu Pilpres & Pileg 2024 awal maupun sewaktu proses Pilkada yang baru ini berlangsung, Jokowi sekeluarga telah berseberangan dengan PDIP yang selama ini menaungi mereka. Bukan saja berseberangan Jokowi sekeluarga bersama antek-anteknya berusaha menghancurkan basis historis partainya tersebut.
Atas kelakuannya tersebut jangankan meminta maaf, sekadar ucapan berterima kasih pun tidak diucapkan oleh Jokowi. Padahal jika tidak diusung dan dicalonkan jadi Presiden oleh PDIP. Jokowi bukanlah siapa-siapa, bahkan seumur-umur Jokowi hanya akan menjadi tukang kayu.
Pada umumnya, pemecatan seorang anggota partai seperti Jokowi bisa terjadi karena perbedaan pandangan atau kebijakan antara individu tersebut dengan partai. Namun pemecatan Jokowi sekeluarga dipastikan bukan perbedaan, akan tetapi berupa kejahatan Jokowi tanpa moral karena ambisi kekuasaannya semata.
Jokowi bukan seorang Pancasilais dengan penekanan kekuasaan pada moral & etika. Jokowi seorang Machiavelis, yang menekankan bahwa penguasa harus pragmatis, dan menggunakan cara apa pun untuk meraih serta mempertahankan kekuasaan.
Fakta bagaimana Jokowi merekayasa untuk memperpanjang kekuasaannya menjadi 3 periode melalui ketua-ketua partai yang sudah berhasil “disandera”. Ditolak keras oleh masyarakat sipil dan oleh partainya PDI-P. Begitu juga keinginannya untuk memperpanjang masa jabatan presiden 2 tahun itupun digagalkan.
Kemudian Jokowi secara jahat. Melalui tindakan Nepotisme dengan adik iparnya yang jadi ketua MK melakukan pelanggaran etika berat merubah UU Pemilu sehingga meloloskan anaknya Gibran yang belum cukup umur menjadi calon wakil presiden.
Jokowi dengan para begundalnya melakukan pembegalan Parpol. Partai Demokrat “dibegal” namun gagal, tetapi SBY sebagai pemilik partai berhasil “dijinakan”. PPP “berhasil” dibegal, kemudian partai tersebut redup. Kemudian partai Golkar juga “berhasil” dibegal. Menjadikan orang “kepercayaannya” menjadi Ketua Umum tanpa melalui Munas yang seharusnya. PAN berhasil “dipecah” pendiri partainya Amien Rais disingkirkan, dan besannya menjadi Ketua Umum partai “dihadiahkan” jabatan Menteri, sampai sekarang menjadi “pendukung setia” Jokowi.
Secara singkat. Mari kita selisik kemunculan Jokowi menjadi Presiden. Patut dicatat tanpa dukungan PDI-P Jokowi bukanlah siapa-siapa. Jokowi sebagai Wali Kota Solo (2005-2012), pertama kali maju sebagai calon Wali Kota Solo melalui dukungan PDI-P. Popularitasnya diangkat sebagai pengusaha dan figur yang dekat dengan rakyat (wong cilik).
Kemudian Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta (2012-2014) diusung oleh PDI-P dan didukung oleh Partai Gerindra untuk maju dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dengan pencitraan mobil nasional ESEMKA yang disiarkan secara luas oleh media mainstream.
Konon cerita lain PDI-P mencalonkan Jokowi sebagai Presiden (2014) akibat desakan beberapa tokoh/ pemilik media mainstream. Para tokoh tersebut “mendatangi kediaman” Megawati dan “mendesak” agar Megawati tidak mencalonkan diri jadi Capres pada Pilpres 2014. Ketika itu Megawati “masih berkeinginan” untuk maju karena baru 2 tahun menjadi Presiden setelah Gusdur.
Para tokoh media tersebut “merayu” Megawati bahwa dia akan kalah melawan Prabowo lebih baik mencalonkan Jokowi. Mereka bersama oligarki ekonomi “mendukung” Jokowi. Oligarki ekonomi “punya kepentingan” karena Jokowi “dipandang gampang diatur”. Jokowi bukanlah pemilik/ pengurus partai.
Mereka menggerakan para buzzer dan influencer untuk “memojokan” Megawati dan “memuji” elektabilitas Jokowi. Konon setelah itu Megawati dan alm. suaminya Taufik Kiemas “menyerah” tentu dengan “berat hati” mencalonkan Jokowi menjadi capres pada pileg 2014.
Hal ini yang menjelaskan kenapa Jokowi yang sudah menjadi Presiden tidak pernah diberi jabatan di Partai. Padahal didaerah jika ada yang berhasil jadi Walikota/Bupati atau Gubernur di beri jabatan pada kepengurusan partai.
Kemudian PDI-P kembali mendukung Jokowi sebagai calon presiden untuk Periode Kedua 2019-2024 PDI-P karena rekayasa dukungan melalui pencitraan media yang luar biasa, dianggap sebagai langkah strategis untuk memanfaatkan "coattail effect" atau efek ekor jas dari popularitas Jokowi, bagi PDI-P.
Sayangnya PDI-P “tidak belajar” bahwa data menunjukan selama proses mendukung Jokowi sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI, maupun Presiden periode pertama tidak mendapatkan manfaat "coattail effect" yang signifikan dari Jokowi. Selama 4 kali pileg 2004, 2009, 2014, 2019, PDI-P stag memperoleh kursi di DPR antara 19 – 21 %, tanpa ada kenaikan yang berarti.
Begitu juga dukungan PDI-P terhadap putranya Gibran Rakabuming Raka menjadi Walkota Solo karena dia putra sulung Presiden Joko Widodo dan merupakan kader PDI-P dan Bobby Nasution didukung karena dia menantu Presiden Jokowi sebagai Wali Kota Medan yang juga kader PDI-P. Pada hal pada hasil pileg tidak menaikan keterpilihan partainya di DPRD secara signifikan di kota tersebut.
Kota Solo adalah salah satu basis tradisional PDI-P dan memiliki nilai historis bagi partai PDI-P, dengan semula mengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wali Kota Solo pada Pilkada 2020, PDI-P ingin memastikan kontrol politik tetap di tangan mereka. Tetapi pada Pilkada 2024 basis mereka direbut oleh Jokowi termasuk Jawa Tengah.
Kota Medan adalah salah satu kota penting di Pulau Sumatera, tetapi secara tradisional bukan basis kuat PDI-P dengan mencalonkan Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan, PDI-P melihat peluang untuk memperluas pengaruh politik di Sumatera Utara. Sama seperti mertuanya Bobby menelikung partainya, pindah partai. Sekarang di Sumut PDI-P “pupus harapan”, ulah pengkhianatan kadernya sang menantu Jokowi.
Dukungan PDI-P terhadap Gibran dan Bobby pada awalnya untuk menjadi walikota didasarkan pada popularitas Jokowi sebagai Presiden. Strategi mempertahankan basis elektoral, serta perluasan pengaruh politik PDI-P di daerah strategis. Bagaikan membesarkan anak macan satu persatu keluarga Jokowi membelot dan berkhianat. merekalah kemudian menerkam dan menghancurkan basis dan harapan PDI-P.
Dari kajian tersebut betapa Jokowi sekeluarga menerapkan tujuan menghalalkan segala cara. Prinsip dasar dalam Machiavelisme bahwa tindakan seorang pemimpin harus dinilai berdasarkan hasil akhirnya, bukan berdasarkan moralitas atau etika. Jika tindakan "jahat" seperti kekerasan, tipu daya, atau manipulasi diperlukan untuk meraih kekuasaan, maka tindakan tersebut dibenarkan selama tujuan akhirnya adalah mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Jelas nya. PDI-P dengan ”keberanian” memecat Jokowi sekeluarga. Kini masih mempunyai hutang moral kepada rakyat Indonesia. Kader mbalelo telah merusak moral Pancasila. PDI-P berkewajiban menuntaskan sampai ke akar-akarnya. Agar cara-cara meraih kekuasaan ala machiavelisme tidak terulang lagi bagi generasi mendatang.
Jokowi harus diadili. Gibran yang terkait dugaan money laundring yang di tuntut oleh Ubaidillah Badrun seorang akademisi di KPK. Harus didukung dan didesak untuk diusut sampai kepengadilan. Serta kelahiran Gibran sebagai calon wapres melalui kejahatan konstitusi di MK serta perbuatan tindakan tercela tidak bermoral melalui akun Fufufafa, harus segera di makzulkan. Begitu juga dugaan KKN Bobby Nasution di pertambangan dan penggunaan jetpri kolabotasi dengan pengusaha. Harus diusut tuntas. (*)