Jokowi Sangat Takut Angka 212
WUIH, 212 kini menjadi angka kramat, tetapi bukan dikramatkan. Jokowi sangat takut dengan angka itu. Terdiri dari tiga angka, ia muncul dari peristiwa 2 Desember 2016. Angka tersebut muncul setelah aksi besar-besaran dilakukan oleh umat Islam, yang menuntut agar Basuki Tjahya Purnama alias Ahok yang kala itu Gubernur Daerah Ibu Kota Jakarta dipenjara karena menista agama AlQuran dan agama Islam.
Ahok akhirnya divonis dua tahun dan langsung dipenjara karena penistaan terhadap agama Islam. Ia pun mengakui kesalahanan melecehkan Surat Al-Maidah ayat 51, karena sama sekali tidak mengajukan banding.
Angka 212 sangat populer di kalangan rakyat Indonesia, khususnya umat Islam. Bahkan, tidak sedikit penganut agama lain mengagumi angka tersebut. Sebab, angka itu membuat inspirasi kepada semua pihak, betapa umat Islam sangat damai, sangat menghormati penganut agama lain.
Umat Islam sangat toleran. Buktinya, peserta aksi juga diikuti penganut agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Kaum wanitanya datang tanpa jilbab dan aksesoris Islam. Tetapi, mereka aman-aman saja. Tidak ada gangguan. Tidak hanya sampai itu, umat Islam juga pencinta lingkungan dan kebersihan.
Angka 212 semakin populer, setelah para tokoh agama Islam (kiai, habaib, ustaz) mampu mengajak jemaahnya melakukan aksi super damai. Oleh karena itu, aksi tersebut (sejak 2016) dan diperingati hampir tiap tahun – kecuali 2020 karena Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) turut mewabah di Indonesia, disambut antusias.
Bahkan, pada aksi 2018, banyak peserta baru (tidak ikut tahun 2016). Mereka ikut-ikutan, karena ingin mendulang suara pada Pemilihan Legislatif tahun 2019. Banyak caleg yang datang. Banyak pelajar dan mahasiswa datang, hanya sekedar rekreasi.
Jutaan umat turun ke jalan. Seputar Monas pada 2-12-2016 penuh dengan lautan manusia. Bahkan, para pendemo mengular ke bebapa ruas jalan lainnya. Tidak ada angka resmi yang bisa menghitung jumlahnya. Ada yang memperkirakan 1,5 juta orang, tiga juta orang dan bahkan tujuh juta orang.
Peristiwa 212 tahun 2016 bertepatan dengan hari Jum’at. Umat Islam pun shalat Jum’at di sekitar Monas dan sekitarnya. Hujan deras yang turun menjelang pelaksanaan shalat Jumat, sama sekali tidak mengurangi minat dan kekhusukan umat dalam melaksanakan ibadah wajib (bagi laki-laki) tersebut
Khutbah Jum’at yang disampaikan Imam Besar Front Pembela Islam, Habib Rizieq Syihab (HRS) merupakan pemompa semangat juang jemaah. Bahkan, tidak sedikit yang meneteskan air mata, saat alunan ayat suci Alqur’an yang dibawakan sang imam.
Jumlah tidak seberapa penting. Akan tetapi, yang paling penting adalah getaran dari aksi damai tersebut yang memaksa Presiden Joko Widodo harus hadir di tengah umat. Kenapa memaksa? Karena dalam aksi sebelumnya 4-11-2016, Jokowi memilih kabur ke Bandar Udara Sukarno-Hatta. Aksi yang dikenal dengan 411 itu juga ternoda oleh ulah provokator, sehingga terjadi kericuhan antara massa dengan polisi.
212 tahun 2016 adalah awal sejarah baru perjuangan umat. Aksi super damai itu, benar-benar damai. Begitu selesai acara, sampah di sekitar Monas pun bersih disapu dan dikumpulkan oleh jamaah sendiri yang membawa kantong plastik dari rumah masing-masing. Ranting pohon pun tidak ada yang patah. Jangankan ranting pohon, rumput yang tumbuh di sekitar Monas pun tidak ada yang rusak akibat diinjak.
Harap maklum. Begitu ada orang yang mau menginjak rumput, jemaah pun menegur dan memperingatkannya. Jika membandel, jemaah yang melihatnya pun menyorakinya, dan bahkan ada yang menarik tangan, supaya orang tersebut tidak menginjak rumput hijau yang indah dipandang mata itu.
Aksi damai, super damai! Itu bukan isapan jempol. Reuni Akbar 212 yang digelar tahun 2017 pun juga super damai. Padahal, jumlahnya jauh lebih banyak. Diperkirakan mencapai 13 juta orang. Walau dari pihak kepolisian memperekirakan hanya lima juta orang.
Upaya menggembosi acara pun terus dilakukan aparat kepolisian. Di setiap wilayah, ada penyekatan. Bahkan, ada ancaman terhadap pemilik armada bus yang mengangkut peserta aksi. Jika membandel, trayeknya akan dicabut. Oleh karena itu, tidak sedikit juga calon peserta yang “dipaksa” putar balik. Akan tetapi, tidak sedikit juga yang melakukan perlawanan.
Tuduhan negatif pun dialamatkan kepada peserta. Mereka dibayar dan sebagainya. Siapa yang mampu membayar umat sebanyak itu? Apalagi, sebagian juga datang dengan menggunakan pesawat terbang. Bahkan, peserta dari Sumatera Barat mencarter burung besi itu, hanya karena ingin mengenang peristiwa tersebut.
Siapa peserta yang mau dibayar? Mereka merogoh isi kantong sendiri. Kaum ibu atau emak-emak, misalnya, mengumpulkan uang buat donasi (baik disumbangkan dalam bentuk uang tunai) maupun membeli makanan dan minuman yang siap dibagikan kepada peserta aksi.
Karena melimpahnya makanan dan minuman, maka jangan heran banyak yang “kekenyangan”. Siapa yang membayar itu semua? Dan siapa yang mau dibayar? Yang turun, mulai dari Direktur Utama Perusahaan, Direktur Rumah Sakit, manajer perusahaan dan karyawan. Pedagang pun meninggalkan usahanya karena ingin ikut aksi.
Tidak sedikit pengusaha ikut aksi demo. Mau tahu buktinya? Itu loh, jas hujan yang dipakaikan secara simbolis kepada peserta aksi dari Ciamis yang datang berjalan kaki dan kehujanan. Emang jumlah jas hujan itu Cuma 100 pasang? Oh, tidak! Jika dirupiahkan, nilainya sekitar Rp 50 juta. Itu sumbangan dari seorang pengusaha China mualaf.
Berbagai usaha menggembosi aksi 212 terus dilakukan. Aksi reuni 212 tahun 2021 ini tidak ketinggalan. Izin yang diajukan panitia untuk melaksanakan aksi di Monas, ditolak dengan alasan belum dibuka karena masih Covid-2021. Masuk akal.
Izin mengadakan kegiatan di Patung Kuda, ditolak polisi. Alasannya, sama masih suasana pandemi. Padahal, sudah berapa banyak yang melakukan aksi di tempat tersebut? Belum lama, buruh melakukan aksi juga.
Panitia tidak kehabisan akal. Mereka merencanakannya di Masjid Al-Zikra, Sentul, Bogor, Jawa Barat. Akan tetapi, menjelang hari H, datang surat dari pengurus masjid, yang menolak kegiatan aksi dilakukan di tempat tersebut.
Dugaan kuat, aparat keamanan menekan pihak keluarga supaya mengeluarkan surat penolakan. Andaikan, Arifin Ilham masih hidup, dia pasti menerimanya, karena ia aktif dalam kegiatan 212. Tidak hanya mengerahkan jemaahnya, tetapi juga memberikan dukungan materil, berupa makanan dan minuman.
Walau sudah ditekan habis-habisan, panitia acara terus berupaya melaksanakan kegiatan. Sekuat tenaga mereka lakukan. Akhirnya upaya mereka gagal. Kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat pun ditutup secara total mulai semalam pukul 24.00 sampai Kamis, 2 Desember 2021, pukul 21.00. Tetapi, penutupan tersebut tidak akan menyurutkan umat yang ingin melakukan aksi.
Tidak hanya menutup, 4.218 personil gabungan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (Polri) dan aparatur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersiaga guna mencegah aksi Reuni 212 di wilayah hukum Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Ancaman pun dikeluarkan polisi.
Kepala Biro Operasi Polda Metro Jaya Komisaris Besar (Kombes) Marsudianto mengatakan, pengamanan tersebut merupakan bentuk operasi kemanusiaan demi menyelamatkan warga dari penyebaran Covid-19. Kegiatan Reuni 212 bukan bertujuan menyampaikan pendapat di muka umum, layaknya aksi unjuk rasa. “Ini adalah kegiatan keramaian,” ujar Marsudianto.
Ia pun mengeluarkan jurus ancaman. Kegiatan Reuni 212 termasuk unsur tindak pidana Pasal 510 KUHP ayat 1, yakni mengadakan pesta umum dan keramaian umum. (1) Bila pawai itu diadakan untuk menyatakan keinginan-keinginan secara menakjubkan, maka yang bersalah diancam dengan pidana kurungan paling lama dua minggu atau pidana denda dua ribu dua ratus lima puluh rupiah.
Akan tetapi, umat tidak setakut Jokowi terhadap angka 212. Umat tidak gentar dengan ancaman yang dikeluarkan Marsudianto itu. Umat, hari ini tetap keluar dan melakukan aksi masing-masing. Nah, kalau sudah begitu, apakah polisi mau menangkap seluruh umat yang turun ke jalan?
Ayo, silahkan biar penjara penuh lagi selama dua pekan? Atau denda? Ya tidak apa-apa. Uang dikumpulkan saja. Lumayan buat mencicil utang Jokowi.
Rakyat sudah bosan menunggu uang Rp 11.000 triliun di kantongnya yang sampai sekarang masih ghaib. Apalagi harga racun kalajengking, yang kata Jokowi, mahal. Tetapi, tidak ada ajakan cara beternaknya. Ghaib lagi!