Kalau Pembunuhan KM-50 Tak Diungkap, “Dark Forces” Akan Menjadi-jadi
by Asyari Usman
Medan FNN - Senin (28/12). Kartel-kartel narkoba sangat berkuasa di Meksiko. Mereka “boleh” membunuh siapa saja yang mereka inginkan. Tanpa bisa diungkap oleh penegak hukum. Mereka, kartel-kartel itu, bagaikan memiliki negara masing-masing di dalam wilayah Meksiko.
Dalam bentuk yang berbeda, Indonesia berkemungkinan akan menjadi ajang kesewenangan model kartel Meksiko itu. Bakal berlangsung pembunuhan di mana-mana. Sewenang-wenang. Tanpa bisa dibawa ke ranah hukum. Na’uzubillah, ‘God forbids’.
Kapan itu bisa terjadi? Jawabannya: kalau pembunuhan KM-50 tidak diungkap secara tuntas dan transparan, baik oleh instansi-instansi pemerintah maupun oleh tim pencari fakta independen (TPFI).
Pembunuhan 6 anggota FPI pada 7 Desember 2020 diakui oleh Polda Metro Jaya sebagai tindakan aparat kepolisian. Bisakah dipercaya? Wallahu a’lam. Terlalu sarat memori manusia Indonesia ini dengan rekayasa kasus dan rekayasa peradilan.
Kepolisian tampak gagap ketika menjelaskan kronologi pembunuhan KM-50. Polisi tak siap dan tak sigap menjelaskan kronologi “yang baik dan benar” –meminjam slogan pengajaran bahasa Indonesia. Sehingga, dari jam ke jam, dari hari ke hari, penjelasan itu tidak konsisten.
Intinya, tragedi pembunuhan KM-50 penuh dengan penjelasan yang meragukan akal sehat. Pada titik inilah pikiran menerawang ke situasi di Meksiko. Di negara yang terkenal dengan kartel-kartel narkoba yang sangat kuat itu, pembunuhan terhadap siapa pun bisa terjadi kapan pun dan di mana pun.
Kartel-kartel itu mempunyai “dark forces” atau “pasukan hitam” alias “pasukan siluman”. Yang beroperasi sesuka hati mereka tanpa bisa disentuh hukum. Sangat menakutkan.
Publik di negara ini wajar merasa gelisah. Gelisah terhadap kemungkinan pembunuhan sewenang-wenang ala kartel Meksiko akan teradopsi dan terbawa ke sini. Gelisah, jangan-jangan akan terjadi lagi pembunuhan yang tidak bisa atau ‘tidak boleh’ diungkap secara transparan.
Karena itu, pembunuhan KM-50 harus diusut terang-benderang. Cara yang terbaik adalah dengan membentuk TPFI. Tim ini akan melibatkan banyak pihak sehingga kecil kemungkinan bisa diarahkan untuk merugikan pihak tertentu.
Tetapi, sayangnya, Presiden Jokowi tidak setuju. Dia mempercayakan penyelidikan pembunuhan KM-50 kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Menurut Jokowi, masyarakat bisa mengadu ke Komnas HAM jika ada masalah. Sedangkan publik mendesak agar penyelidikan dilakukan oleh TPFI. Masyarakat tak percaya kalau pengusutan dilakukan oleh pihak yang tidak independen.
Sangat mengherankan mengapa Pak Jokowi tak setuju penyelidikan yang dipercaya oleh masyarakat? Tak mungkin rasanya Presiden menghadapi tekanan. Dan tak mungkin pula Presiden harus melindungi pihak tertentu.
Kembali ke “dark forces”, sangat lumrah “pasukan siluman” itu dimiliki oleh para penguasa yang memegang posisi kuat. Bisa juga “pasukan hitam” itu peliharaan oligarkhi yang punya kekuatan finansial besar. Itu tidak boleh terjadi di Indonesia. Namun, belakangan ini gelagat ke arah ini semakin jelas.
Misalnya, sudah sering beredar rekaman video yang menunjukkan orang-orang tertentu bisa mendapakan pengawalan dari berbagai satuan keamanan. Yang melibatkan anggota kepolisian dan militer. Ada kejadian orang sipil jogging di Bali dengan pengawalan patrol-patwal polisi. Tak lama kemudian, orang yang sama sedang wisata alam dengan pengawalan oknum tentara.
Ada pula pasangan selebriti yang berpacaran dengan pengawalan sejumlah prajurit. Sebelum itu, beredar pula video yang menunjukkan seorang warga sipil menggunakan mobil yang berplat militer.
Ini bisa dilihat sebagai “symptom” (gejala) menuju “pasukan siluman”. Jika dibiarkan, maka dalam waktu tak terlalu lama kita mungkin akan dilanda tindak kekerasan, pembunuhan sewenang-wenang, dlsb. Yang akan dilakukan oleh satuan-satuan bersenjata di bawah kendali berbagai pihak seperti ‘splinter group’ di berbagai instansi penegak hukum.
Bisa jadi nanti ada “pasukan siluman” bentukan lembaga intelijen. Atau yang dipelihara oleh para oligarkhi bisnis, bandar narkoba, mafioso impor, mafioso proyek, hingga para eksekutor bayaran (mercenary).
Jadi, para wakil rakyat yang masih lurus dan kekuatan sipil harus mencegah kemungkinan “dark forces” menjadikan pembunuhan 6 anggota FPI sebagai ujicoba reaksi publik. Mereka akan mengamati apakah tekanan publik akan berhasil, atau tidak, untuk membongkar pembunuhan itu secara transparan.
Kalau pembunuhan KM-50 tidak bisa diusut karena intimidasi, maka operasi “dark forces” bisa semakin menjadi-jadi di masa depan.
(Penulis wartawan senior fnn.co.id)