Ketika Jaksa Jadi Jubir Jokowi di Pengadilan

Lampiran dakwaan jaksa terhadap wartawan senior FNN Edy Mulyadi dalam kasus "JIn Buang Anak" setebal 996 halaman dan berkas dakwaan 300 halaman. (Foto Iriani Pinontoan/FNN)

SELASA , 10 Mei 2022 adalah sidang perdana terhadap wartawan senior FNN (Forum News Network), Edy Mulyadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia dijadikan terdakwa hanya karena ucapannya yang menyebutkan, "Tempat jin buang anak". Kalimat itu ditujukan ke sebuah tempat di Kalimantan Timur yang akan menjadi Ibu Kota Negara (IKN) baru.

Edy Mulyadi yang biasa kami panggil EM adalah wartawan senior FNN. Ia anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jaya. Dalam dirinya dan karyanya, melekat profesi wartawan. Dia sudah lama berkecimpung dalam dunia wartawan dan sudah beberapa kali pindah media, dan akhirnya berlabuh di FNN, sebuah media yang dengan misi, "Mengawal Tujuan Bernegara", yang merupakan salah satu intisari dari Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945.

Misi inilah yang membuat kami di FNN selalu melontarkan kritik yang sangat kritis dan pedas kepada penguasa, kapan dan siapa pun yang sedang dan akan berkuasa.

Sebagai media yang memiliki semangat juang yang tinggi, FNN akan senantiasi mengkritisi siapa pun yang menjadi presiden atau pemimpin di negara Pancasila ini. Kami tidak hanya mengkritisi pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, tetapi juga pemerintahan selanjutnya. Kritik sangat penting, apalagi di negara demokrasi. Checks and balances sangat penting dalam sebuah negara demokrasi.

Pers tidak perlu memuja-muji pemerintah yang berkuasa. Pemerintah harus siap menerima kritikan itu dengan lapang dada, baik yang datang dari pengamat, aktivis, ulama, jurnalis dan politisi oposisi. Bukan memusuhi mereka, apalagi memenjarakannya, seperti yang dialami EM, Habib Rizieq Shyhab, Munarman, Anton Permana, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan dan sederet nama lainnya yang dikriminalisasi penguasa hanya karena menyampaikan pandangannya yang sangat kritis terhadap pemerintahan Jokowi.

Kembali ke EM yang sudah ditahan sejak 31 Januari 2022, kami tegaskan lagi bahwa dia adalah wartawan senior FNN yang mengelola Channel YouTube Bang Edy Channel. Channel tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari FNN.co.id maupun produk jurnalistik lainnya yang satu kamar dengan FNN. 

Oleh karena itu, cukup banyak hal yang menggelikan dan patut dipertanyakan ketika mengikuti persidangan perdana terhadap EM. Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang membawa berkas dakwaan setebal 300 halaman ditambah lampiran hampir 1000 halaman (995 halaman) atau setebal bantal. Menguraikan banyak hal atas kritikan EM melalui channel FNN. Tidak hanya nama Jokowi yang dibela JPU, tetapi nama anak Jokowi pun disebut-sebut dalam dakwaan.

Atas tebalnya dakwaan JPU tersebut, tim pengacara Edy Mulyadi pun heran dan geleng-geleng kepala. "Baru kali ini saya melihat berkas dakwaan JPU setebal ini," kata Herman Kadir, yang menjadi koordinator Tim Pengacara Edy Mulyadi.

Hal yang sama juga disampaikan Juju Purwantoro dan Ahmad Yani. Mereka heran dengan dakwaan jaksa yang justru mengungkapkan video Bang Edy Channel lainnya yang sama sekali tidak ada kaitan dengan materi dakwaan, yaitu tentang, "Jin buang anak".

Andaikan seluruh berkas itu dibacakan Tim JPU, maka dapat dipastikan persidangan perdana paling cepat baru selesai Selasa tengah malam. Untungnya, majelis hakim adalah orang yang arif dan bijaksana. Mereka meminta agar JPU membacakan poin-poin penting saja. Karena "perintah" para hakim yang mulia, akhirnya sidang perdana berakhir sorenya. Sidang akan dilanjutkan kembali pada Selasa, 24 Mei 2022 guna mendengarkan eksepsi EM.

EM yang dilaporkan dan dijadikan tersangka karena ucapannya, "Jin buang anak", pun tidak mengerti atas dakwaan jaksa tersebut. Kita maklum, karena dakwaan JPU itu praktis lebih disebut, "Pembelaan jaksa terhadap Jokowi".

Sebab, yang dibacakan jaksa yang bersumber dari channel EM sebelumnya adalah merupakan kritikan terhadap pemerintah. Kritikan terhadap pembangunan IKN baru, kritik masalah utang yang semakin memberatkan keuangan negara, penggunaan dana Covid-19 yang tidak transparan dan kritikan lainnya yang sudah biasa berseliweran di media mainstream lainnya, apalagi di media sosial (medsos).

Apakah sebuah kritikan yang dimuat dan diunggah di media mainstream pantas dijadikan sebagai bahan dakwaan? Kalau pantas, berapa banyak wartawan dan sumber berita yang harus dipenjara. Berapa banyak pengamat lembaga survei yang harus berhadapan dengan hukum? Bisa-bisa, penjara akan penuh dengan pengamat, wartawan, lembaga survei, bahkan mahasiswa dan dosen.

Sebab, yang banyak yang diberitakan wartawan bersumber dari data yang disampaikan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), lembaga survei, dan pengamat.

Apa yang dialami EM merupakan petaka buruk bagi dunia pers. Sebab, suatu saat hal yang sama bisa menimpa wartawan lainnya. (*)

 

855

Related Post