LPS Dalam Bahaya Besar Karena Pemimpinnya Tidak Amanah

LEMBAGA Penjamin Simpanan (LPS) kembali dalam sorotan. Pasalnya dana iuran perbankan 95,17% digunakan untuk belanja Surat Berharga Negara (SBN).

Sampai akhir 2020, LPS diketahui memiliki aset tunai sebesar Rp140,16 triliun. Aset tunai tersebut berasal dari iuran industri perbankan berupa dana penjaminan.

Dari jumlah tersebut ternyata 95,17%-nya dibelanjakan SBN atau setara Rp133,39 triliun. Memang pada 2020 berhasil membukukan surplus bersih sebesar Rp19,36 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp17,73 triliun. Sebagian besar surplus itu dari return SBN.

"Pendapatan dari investasi naik sebesar 15,80% menjadi Rp8,84 triliun, atau naik sebesar Rp7,64 triliun dari tahun sebelumnya. Hal ini juga karena disertai efisiensi di sisi pengeluaran yang signifikan," demikian ungkap Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa.

Sepanjang tahun 2020 kemarin LPS mencatat kenaikan jumlah simpanan masyarakat di 109 bank umum sebesar 10,86% Year on Year (YoY).

"Jumlah rekening ini naik sebesar 16,12% (YoY) dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Simpanan yang dijamin LPS hingga Desember 2020 mencapai 350.023.911 rekening atau setara dengan 99,91%," katanya.

Sedangkan besaran nilai simpanan yang dijamin LPS adalah Rp2 miliar per nasabah per bank. Ini setara 35,1 kali PDB per kapita nasional tahun 2020 yang jauh di atas rata-rata negara berpendapatan menengah ke atas sebesar 6,29 kali PDB per kapita.

Sebelumnya Anggota Komisi XI DPR RI Fathan Subchi mengatakan peran LPS akan dirombak bersamaan pembahasan RUU Omnibus Law Sektor Keuangan yang akan dilakukan pada masa sidang Agustus dan September 2021. Regulasi baru tersebut akan menambah peran LPS menjadi bersifat pre early warning atau lebih awal dibandingkan sekadar menunggu muncul bank gagal.

Dia mencontohkan dalam kasus Bank Bukopin beberapa waktu lalu yang mengalami kendala likuiditas. Namun tidak dapat ditangani LPS karena kendala regulasi. Menurutnya kasus itu seharusnya itu sudah masuk ranah LPS dalam menyelamatkan dengan regulasi yang tepat.

"Jangan sampai bank terlanjur gagal lalu masyarakat sudah panik menguras simpanannya. Di LPS ada uang nganggur Rp135 Triliun tapi hanya untuk beli SBN dan tidak mampu menggerakkan sektor riil, pertumbuhan ekonomi, dan lapangan kerja. Dana di LPS harus bisa lebih dari sekedar menjamin simpanan di atas Rp2 miliar saja," jelasnya.

Masalah Besar

Persoalannya, kondisi krisis saat ini sungguh dahsyat, lebih dahsyat dibandingkan krisis 1998, dimana sektor riil lumpuh. Hal ini bisa dilihat pertumbuhan ekonomi yang mengalami kontraksi atau minus 2,07%, sedangkan pertumbuhan kredit mengalami kontraksi 2,41%.

Artinya, pertumbuhan ekonomi dan kredit yang minus, menunjukkan roda sektor riil mandeg. Kredit-kredit perbankan yang mengalir ke sektor riil bermasalah pengembaliannya akibat roda ekonomi melambat.

Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, per Desember 2020, rasio kredit bermasalah (non performing loan--NPL) bank secara umum sebesar 3,02%. Angka ini meningkat 49 basis poin dari periode yang sama tahun sebelumnya 2,53%.

Penyumbang pertumbuhan negatif tersebut terutama dari kredit di sektor perdagangan besar dan eceran terkontraksi 6,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year). Kemudian, laju kredit sektor real estate dan industri pengolahan juga minus masing-masing 3,5% yoy dan 4,1% yoy.

Sektor perdagangan serta industri pengolahan merupakan sektor-sektor yang terkena dampak pandemi paling signifikan bila dibandingkan dengan sektor lainnya seiring dengan pembatasan aktivitas ekonomi serta pelemahan daya beli masyarakat.

Dengan adanya kontraksi dari sektor yang berkontribusi besar tersebut, maka kinerja bank dalam mencetak laba bersih juga ikut terdampak. Per November 2020, rasio margin laba bersih (net interest margin/NIM) perbankan turun 4,41%. Pada November 2019, rasio NIM tercatat masih 4,89%.

Konsekuensi dari pertumbuhan kredit negatif adalah makin membengkaknya restrukturisasi kredit perbankan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, sejak diluncurkan 16 Maret 2020, sampai dengan akhir Desember 2020 program restrukturisasi kredit perbankan telah mencapai nilai Rp971 triliun diberikan kepada 7,6 juta debitur atau sekitar 18% dari total kredit perbankan.

Bayangkan, jika tak ada restrukturisasi kredit, tentu saja jumlah tersebut akan menjadi beban LPS yang hanya memiliki aset tunai Rp140,16 triliun. Apalagi 95,17% sudah dibelanjakan SBN. Sehingga kas keras yang siap cair jika ada bank bermasalah atau ditutup, tinggal Rp6,77 triliun.

Selama masa krisis ini saja ada dua bank yang collapse, yakni Bank Bukopin dan Bank Muamalat Indonesia. Untung saja Bukopin diselamatkan Kookmin Bank asal Korea sehingga bank kebanggaan koperasi itu telah berpindah kepemilikan oleh asing.

Sedangkan Bank Muamalat diselamatkan lewat merger bank-bank syariah milik negara menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI). Secara operasional eks Bank Muamalat juga sedang diampu oleh Islamic Development Bank yang disebut-sebut akan menyuntik dana sebesar kredit macet Bank Muamalat.

Pendek kata, likuiditas LPS yang bisa segera dicairkan kalau-kalau ada lagi bank bermasalah tersisa hanya Rp6,77 triliun. Setara aset Bank Century yang bermasalah.

Kabarnya sejumlah bank kecil saat ini sedang megap-megap karena nasabahnya menggeser simpanannya ke bank-bank menengah dan bank besar yang lebih aman.

Jika melihat sikap LPS yang membelanjakan 95,17% kasnya ke SBN, sungguh sangat membahayakan industri perbankan yang sudah tertatih-tatih membayar iuran ke LPS. Jika dan hanya jika di kemudian hari ada satu dua bank collapse, tentu akan membawa dampak berantai sehingga membutuhkan dana penjaminan yang besar. Dan LPS hanya menyisakan kas keras Rp6,77 triliun.

Untuk mencairkan dana sisanya yang dibenamkan ke dalam SBN--karena memang likuiditas APBN sedang kering sekering-keringnya--makan membutuhkan waktu administrasi yang panjang. Bisa dibayangkan keriuhan yang akan terjadi, kemarahan nasabah yang akan memuncak karena dananya tak segera dapat dicairkan.

Dan itu semua lantaran Purbaya Yudhi Sadewa dkk tidak amanah dalam mengelola dana LPS.

668

Related Post