Mana Bupati-Walikota Yang Tidak Jual-Beli Jabatan?
BUPATI Nganjuk, di Jawa Timur, Novi Rahman Hidayat (NRH), terjaring dalam OTT KPK pada 10 Mei 2021. Tuduhan primernya adalah menjual jabatan. Tidak tanggung-tanggung. Hampir semua posisi yang berada di bawah pemerintah kabupaten (pemkab), diperjual-belikan.
Dalam operasi ini, KPK menyita uang tunai hampir 700 juta rupiah. Bersama NRH, KPK menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat jual-beli jabatan itu. Termasuk sejumlah camat.
KPK mengatakan, mereka menduga kuat NRH meletakkan tarif untuk posisi-posisi di lingkungan pemkab. Bahkan, sampai ke level perangkat desa-kelurahan. Untuk yang terendah ini, diperkirakan haganya antara 10-15 juta. Untuk jabatan yang lebih tinggi tarifnya bisa 150 juta. Atau lebih.
Nah, apakah jual-beli jabatan di lingkungan pemkab atau pemko (pemerintah kota) merupakan bentuk korupsi baru? Konyol sekali kalau ada yang mengatakan iya.
Sebaliknya, coba tunjukkan mana bupati atau walikota yang tidak memperjual-belikan jabatan? Kalau pun ada yang tidak mencari duit dari jual-beli jabatan, pastilah jumlahnya sedikit sekali.
Terus, apakah jual-beli jabatan hanya terjadi di jajaran pemerintahan dalam negeri saja? Kembali lagi kita bertanya, apakah Anda bisa tunjukkan bos-bos instansi apa pun yang bersih dari jual-beli jabatan.
Mari kita layangkan pertanyaan kepada para bos di Polri: ada atau tidak ada praktik jual-beli jabatan di Kepolisian? Kita hanya bertanya saja. Bukan menuduh. Ada atau tidak ada jual-beli jabatan di Polda, Polres, dlsb?
Pertanyaan yang sama mari kita layangkan ke Kejaksaaan Agung: ada atau tidak ada jual-beli jabatan di sana? Pertanyaan serupa juga ditujukan kepada semua Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia. Ada 34 kejaksaan tinggi. Mohon jawaban jujur dari Anda semua.
Jadi, dugaan jual-beli jabatan yang dilakukan NRH di pemkab Nganjuk kelihatannya hanya fenomena puncak gunung es (tip of iceberg). Kalau KPK serius mau membasmi jual-beli jabatan, coba saja Anda lakukan ‘surveillance’ (penguntitan) terhadap semua bupati-walikota. Rasanya kita berani jamin KPK bisa menjerat 100 atau 200 bupati-walikota dalam setahun.
Jual-beli jabatan juga ditengarai berlangsung di level kementerian. Belum lama ini, majalah Tempo mengungkap dugaan juel-beli jabatan eselon dan dirjen di Kementerian Desa.
Pernah pula terungkap praktik jual-beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag). Mantan ketum PPP, Muhammad Romahurmuziy (Romi), tertangkap tangan oleh KPK (Maret 2019) dalam kaitan ini. Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Romi karena terbukti menjadi pemeran jual-beli jabatan di kementerian yang waktu itu dipegang oleh Lukman Hakim Saifuddin.
Bagaimana dengan kementerian-kementerian lain? Wallahu a’lam. Yang jelas, sudah tertangkap dua menteri yang terlibat korupsi yaitu Juliari Batubara (ketika menjadi Mensos) dalam kasus Bansos dan Edhy Prabowo (semasa menjadi menteri kelautan) dalam kasus ekspor bibit lobster.
Kedua menteri ini memang tidak terlibat korupsi jual-beli jabatan. Namun, kasus korupsi yang mereka lakukan itu menunjukkan bahwa ada persoalan mentalitas di kalangan para pejabat pemerintah.
Artinya, secara umum korupsi apa saja kemungkinan besar akan dilakukan oleh seorang pejabat. Termasuk jual-beli jabatan. Dalam hal bupati-walikota, jual-beli jabatan adalah ‘tambang duit’ yang paling enak. Tidak terlalu besar risikonya.
Transaksi bisa diatur agar luput dari radar KPK atau penegak hukum lainnya. Jual-beli jabatan bisa dilakukan tanpa jejak. Misalnya, orang yang menagih duit upeti bisa dibuat ‘tanpa hubungan’ dengan si pejabat yang menjualbelikan jabatan.
Berdasarkan kemungkinan inilah, kita wajar bertanya: tunjukkan kepada rakyat mana bupati-walikota yang tidak menambang duit dari lelang jabatan.[AU]