Meledak dari Dalam

Bibit-bibit perpecahan di internal Kabinet Indonesia Maju tak bisa ditutup-tutupi lagi. Kegaduhannya terlihat semakin nyata. Antar-kementerian tidak ada koordinasi dan jalan sendiri-sendiri. Bahkan ada lima menteri keluar negeri saat pandemi, Presiden Jokowi tidak mengerti.

Gonjang-ganjing kabinet terkuak saat Menkopolhukam Mahfud MD menonjolkan sikapnya di medsos. Saat PPKM Darurat, ia mengaku lebih suka menonton sinetron. Mahfud kelihatan sekali menikmati cerita fiktif di sinetron ketimbang berperan serta dalam membantu kerja Kabinet Indonesia Maju arahan Joko Widodo. Mahfud tertarik memberi komentar karena alur cerita dalam sinetron Ikatan Cinta yang digemarinya itu tidak sesuai dengan kaidah hukum. Makanya, ia mengulas secara serius adegan hukum tontonan sentimentil itu. Maklum ia mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Mahfud menilai, sang penulis tidak memahami hukum ketika membuat skenario cerita yang banyak digandrungi emak-emak itu.

Entah mengapa Mahfud lebih suka mengomentari sinetron picisan imajinatif yang tidak ada gunanya sama sekali dalam perkembangan hukum di Indonesia. Mengapa Mahfud tidak tertarik mengomentari kejadian yang lebih serius, seperti kasus pembunuhan KM 50 Tol Jakarta- Cikampek. Pembunuhan sadis yang menyita perhatian internasional itu nyaris tak menyentuh hati Mahfud untuk sekadar berkomentar. Itu pelanggaran HAM berat, ada realita, bukan imajinasi, sinetron atau rekayasa.

Soal pembangkangan di medsos, bisa jadi Mahfud sedang menyentil Presiden Jokowi yang menunjuk Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan sebagai komandan PPKM Darurat dan dilanjutkan PPKM Level 4. Padahal, bisa jadi Mahfud ingin dilibatkan.

Gonjang-ganjing kabinet berikutnya adalah, sehari ditunjuk Jokowi, Luhut langsung membuat gaduh. Ia menantang siapa pun yang menganggap penanganan pandemi Covid-19 tak terkendali, akan ditunjukkan ke mukanya. Luhut mengimani penanganan pandemi terkendali. Belakangan Luhut meminta maaf atas pernyataan yang ceplas- ceplos itu. Maklum, ucapan Luhut kontradiktif dengan pernyataan Jokowi yang mengatakan penanggulangan belum terkendali.

Belum puas rasanya Luhut membikin onar. Luhut menyatakan bahwa sejak awal sesungguhnya ia meminta agar lockdown, tetapi ditolak presiden. Sebuah pengakuan yang sesungguhnya menelanjangi jeroan kabinet yang acak-kadut.

Kekacauan kabinet terjadi juga saat Jokowi mengaku kecewa di tengah kasus Covid-19 yang sedang tinggi-tingginya banyak menteri melakukan kunjungan kerja ke luar negeri. Jokowi menganggap para menteri tak punya sense of crisis.

Presiden menginstruksikan seluruh menteri dan kepala lembaga dilarang bepergian ke luar negeri, kecuali menteri luar negeri karena sesuai bidang tugasnya. Sisanya harus minta izin langsung kepada presiden.

Padahal, diketahui beberapa hari belakangan, para pembantu presiden melakukan lawatan kerja ke luar negeri di tengah angka kasus Covid-19 sedang tinggi. Mereka antara lain Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang melakukan kunjungan kerja ke Perancis pada akhir Juni lalu. Ada Menteri PPN dan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa yang menghadiri pertemuan G-20 di Italia pada akhir Juni lalu. Selanjutnya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kunjungan kerja selama dua hari ke Singapura pada 13-14 Juli 2021.

Terakhir, ada Menteri Perdagangan M Lutfi dan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang ke Amerika Serikat untuk memperkuat hubungan Indonesia-AS di bawah pemerintahan baru Presiden Joe Biden, sejak 9 hingga 18 Juli 2021.

Jika tiba-tiba presiden mengeluh, apakah para menteri nyelonong begitu saja ke luar negeri? Atau apakah pembangkangan massal sedang terjadi di internal kabinet?

Bohong, berdusta, berkhianat sepertinya sudah menjadi hal yang wajar dan strategi politik rezim ini. Menyimak ucapan, tindakan dan sikap Presiden Joko Widodo makin menarik. Menarik untuk ditelaah dan ditarik kesimpulan. Setelah ditelaah kesimpulannya adalah mencla-mencle.

Oleh karena itu, tidak heran jika BEM UI menjuluki King of Lip Service. Tepat sekali Aliansi Mahasiswa UGM memberikan Jokowi gelar 'Juara Ketidaksesuaian Omongan dengan Kenyataan'. Tidak keliru julukan 'King of Silent' dan 'Queen of Ghosting' disematkan oleh BEM Unnes. Terbaru, BEM FISIP Unpad juga melontarkan kritik bernarasi “Kami bersama Jokowi, tapi boong”.

Pun demikian Jokowi tidak pernah merasa bersalah. Menjawab kritikan BEM UI, Jokowi malah mengakui bahwa sejak lama publik meremehkan dirinya, tetapi ia tanggapi dengan santai dan tenang. “Saya tahu, saya dikatakan plonga-plongo, klemar-klemer, dan muka bipang,” kata Jokowi.

Presiden tampaknya ingin menunjukkan dirinya sebagai orang pemaaf dan lurus serta tidak marah jika dilecehkan. Padahal, publik tidak butuh itu. Publik ingin tahu, kenapa dia hanya jualan lip service belaka. Presiden tidak menjawab substansial tuduhan mahasiswa BEM UI.

Tampaknya presiden lupa bahwa sebagai pemimpin ia tak cukup hanya mengakui kelemahan dirinya. Ia harus bisa menjawab kritikan dengan data dan fakta.

Agar lembaga kepresidenan punya wibawa, mustinya diusut siapa yang menuduh plonga-plongo dan pintar bersolek. Bawa ke ranah hukum. Bahwa kelak presiden mau mengampuninya, itu urusan nanti. Tegakkan dulu kehormatan lembaga negara, bukan malah menikmati pelecehan itu.

Yang penting sekarang presiden harus bisa menjawab tuduhan BEM UI. Sampaikan secara gamblang, logis, dan argumentatif mengapa presiden tidak seperti yang dituduhkan itu.

Buntut dari kritikan BEM UI terhadap Presiden menyeret Rektor UI Ari Kuncoro yang ternyata merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia, yang belakangan ternyata melanggar Statuta UI. Statuta UI melarang rektor, wakil rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan merangkap sebagai pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta.

Tidak lama kemudian presiden membela mati-matian Rektor UI. Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI. Dengan terbitnya PP tersebut, rektor kini bisa rangkap jabatan sebagai komisaris.

Pemerintah semakin ngaco dan semaunya saja. Ada pejabat melanggar aturan, kok, aturannya yang diubah. Sungguh tidak pantas menjadi pemimpin.

Akhirnya, setelah menuai banyak kritik dari sejumlah akademisi, pengamat, dan rakyat Indonesia, Ari Kuncoro mengundurkan diri jabatan Wakil Komisaris Utama PT BRI.

Namun, Ari Kuncoro seharusnya tidak hanya menanggalkan jabatan komisarisnya, tapi juga jabatan Rektor UI. Untuk menjaga moral, mestinya Ari Kuncoro mundur dari kedua jabatan tersebut karena sudah melakukan pelanggaran aturan. Bahkan, telah merevisi aturan yang menguntungkannya.

Apa yang terjadi pada presiden kita tak lain adalah monopoli kebenaran. Hampir mirip dengan sikap dan perilaku buzzer yang punya konsep kebenaran sendiri tentang rezim ini. Atau sama seperti masa penjajahan, Belanda melakukan monopoli perdagangan di mana pasar dikuasai oleh satu penjual. Rezim ini melakukan monopoli kebenaran yang mengakibatkan penentuan kebijakan dilakukan sesuai selera penguasa.

Mengapa isi kabinet terkesan gaduh tak berkesudahan? Sebab, Jokowi seakan sudah selesai tugasnya manakala sudah memberikan delegasi ke anak buahnya. Presiden berpikir tugasnya purna, manakala sudah bikin surat perintah. Dalam pikiran Jokowi, semuanya beres dengan Peraturan Pemerintah.

Presiden duga semuanya beres manakala hukum telah bekerja text book. Ia tidak melihat moral hukum yang sedang dijalankan oleh para penyidik, jaksa, dan hakim. Atas nama tidak mau mencampuri hukum, kepala negara tutup mata melihat praktik peradilan sesat. Atas nama tidak mau terlibat urusan korupsi, kepala negara pura-pura tidak melihat praktik KPK yang semakin tidak membawa amanat hati nurani rakyat. Naif.

Presiden tak cukup memberi penugasan. Ia harus memberikan arahan, strategi, dan evaluasi. Apa pun yang diluruskan oleh masyarakat selalu tidak dihiraukan. Rakyat dianggap musuh. Mirip cara kerja buzzer.

Kini para buzzer mulai sadar dan berani mengkritik rezim. Para pembantu Jokowi juga sudah banyak yang jengah. Tampaknya sebentar lagi meledak dari dalam.

787

Related Post