Membasuh Darah Jenderal Yani (Bagian 4)
Oleh Selamat Ginting
(Pengamat Komunikasi Politik dan Pertahanan)
Jakarta, FNN – “Cukup Bapakmu saja yang menjadi tumbal negara. Jadi anak-anak jangan ada lagi yang jadi tentara,” begitulah pesan yang diungkapkan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo kepada dua anak lelakinya, Untung Mufreni Yani (Untung), dan Irawan Sura Edi Yani (Edi).
Yayuk merupakan ibu delapan anak dari perkawinannya dengan pahlawan revolusi Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani. Yani adalah Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 1962-1965. Saat ini jabatan tersebut disebut Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Untung (67 tahun) merupakan anak ketujuh dan Edi (63 tahun) anak bungsu pasangan tersebut. Dalam peristiwa 1 Oktober 1965, Edi yang diminta pasukan Tjakrabirawa, pengawal Presiden Sukarno untuk membangunkan ayahnya sekitar pukul 04.00-an WIB. Ia tidak tahu kalau pasukan itu justru akan menculik dan membunuh ayahnya.
Anak-anak Yani tidak sampai hati melihat ibunya membasuh wajahnya dengan darah Jenderal Yani. Darahnya menggumpal di lantai dekat ruangan makan keluarga akibat tembakan membabi buta dari pasukan Tjakrabirawa.
Pesan dari ibunda dikemukakan oleh Untung kepada penulis dalam pertemuan keluarga besar Jenderal A Yani di Museum Sasmita Loka Jenderal A Yani, Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (9/11/2021).
“Kami sebenarnya ingin menjadi tentara seperti Bapak (Jenderal A Yani), tapi kami tidak ingin membantah pesan dari Ibu,” ujar Edi. “Takut kualat membantah petuah Ibu,” kata Untung, melengkapi.
Batal Jadi Tentara
Bukan hanya Untung dan Edi saja yang hadir, melainkan empat kakaknya. Anak pertama; Indriyah Ruliati Yani (Ruli), anak ketiga; Amelia Yani (Amel), anak kelima; Widna Ani Yani (Nanik), dan anak keenam; Reni Ina Yuniati (Yuni). Sementara anak kedua; Herliah Emmy Yani (Emmi) wafat tahun 2007, dan anak keempat; Elina Elastria (Elina/Juwita) berhalangan hadir.
Bahkan lanjut Untung, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo yang merupakan sahabat ayahnya, beberapa kali menawarkan dirinya dan Edi untuk mendaftar ke Akademi Militer (Akmil). “Om Sarwo akan memberikan rekomendasi, tapi kami tetap ingat petuah Ibu,” ungkap Untung.
Nanik (70 tahun) menceritakan almarhum ayahnya kerap menceritakan tentang para taruna Akmil di Magelang maupun Bandung yang gagah, pintar, dan calon patriot bangsa. Misalnya saat keluarga mengunjungi Jawa Tengah, yang tidak pernah dilupakan adalah cerita tentang taruna di Magelang.
“Sepertinya bapak ingin anak perempuannya menikah dengan tentara lulusan Akmil,” ujar Nanik sambil tersenyum, penuh arti. Namun, lanjut Nanik, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merenggut nyawa ayahnya (Jenderal A Yani), ibunya meminta agar anak-anaknya menjauh dari kehidupan tentara. “Kalau perlu tidak ada yang menikah dengan taruna, walau lulusan Akmil sekalipun,” ungkap Nanik.
Namun, takdir berkata lain. Dua anak perempuan pasangan Jenderal Yani dan Yayuk Riliyah, ternyata mendapatkan jodoh tentara lulusan Akmil. Anak pertama; Ruli suaminya adalah Brigadir Jenderal TNI (Purn) Soedarsono, lulusan Akmil 1965 dari Korps Infanteri. Satu kelas dengan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar.
“Kalau saya sudah kepalang tanggung. Karena waktu bapak masih hidup, calon suami saya masih taruna dan sudah pernah ke rumah. Juga sudah berkenalan dengan bapak dan ibu saya. Bahkan pada 30 September 1965, Mas Soedarsono sempat menemui Bapak,” ujar Ruli (76 tahun), mengenang masa lalunya.
Brigjen Soedarsono terakhir berdinas militer di Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) yang kini menjadi BIN. Ia juga sempat menjadi anggota DPR RI setelaj pensiun dari militer.
Lain lagi cerita Nanik. Suaminya adalah Mayor Jenderal TNI (Purn) Judi Magio Jusuf. Lulusan Akmil 1973 dari Korps Infanteri. Teman satu kelas dengan Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono. Mayjen Judi M Jusuf terakhir dalam dinas militer sebagai Asisten Pengamanan KSAD. Jadi dua menantu Jenderal Yani memiliki keahlian di bidang intelijen.
“Saya terus terang ingat pesan Ibu, jangan menikah dengan tentara. Tapi Mas Judi yang desak terus. Akhirnya saya menyerah sambil minta maaf kepada Ibu,” ungkap Naik yang disambut gelak tawa saudara-saudaranya.
Sahabat Sarwo
Yuni (68 tahun) juga menceritakan bagaimana keluarganya tersobsesi kehidupan Angkatan Darat dengan segala suka dan dukanya. Setelah ayahnya gugur, banyak anggota masyarakat silih berganti mengunjungi rumah duka selama satu tahun.
“Om Sarwo (Sarwo Edhie Wibowo) juga kerap datang mengunjungi kami. Datang dikawal panser. Menanyakan keadaan kami. Ibu selama sekitar satu tahun terus berduka dan lebih banyak berada di dalam kamar,” kenang Yuni.
Sarwo Edhie merupakan teman satu kelas dengan Yani waktu pendidikan Shodanco (komandan kompi) bagi tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor, Oktober 1943. Yani sebelumnya sempat menjadi Sersan pada Dinas Topografi KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger), Belanda dan berdinas di Bandung. Sempat bertempur dengan Jepang di Ciater, sebagai pengalaman pertamanya dalam perang.
Ia sempat meringkuk beberapa bulan di kamp tawanan perang Jepang, setelah tentara Negeri Matahari Terbit itu menundukkan tentara Belanda di Indonesia, pada 1942. Para tentara Belanda dan pribumi yang menjadi tentara KNIL pun menjadi tawanan perang. Sampai akhirnya dibebaskan dan pemuda Yani menjadi pengangguran.
Yani dan Sarwo sempat berada dalam batalyon yang sama. Mayor Yani sebagai Komandan Batalyon 3 Resimen Magelang. Sedangkan Kapten Sarwo Edhie sebagai komandan kompi. Resimen ini berada di bawah Divisi V yang bermarkas di Purwokerto. Panglima Divisinya adalah Kolonel R Soedirman, kelak menjadi Panglima Besar.
Yani pula yang mempromosikan Sarwo menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) walau ditentang beberapa pihak. Kelak keputusan Yani justru benar dan Sarwo menjadi komandan penumpas PKI.
Tamu dan Trauma
Yuni menceritakan, selama sekitar satu tahun, nyaris tamu tiada henti mendatangi rumah duka. Untuk menerima kedatangan tamu, mereka membuat seragam tentara khas Angkatan Darat. “Kami minta brevet wing para (terjun payung militer) kepada Om Sarwo untuk melengkapi seragam agar terlihat lebih gagah. Om Sarwo memberikan enam wing untuk kami berenam,” ujar Yuni.
Jika para tamu datang, keenam anak Jenderal Yani menyambut dengan rasa hormat dengan berbaris rapi. Komandannya adalah Amelia yang punya bakat memimpin. Ia juga menjadi aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang mengritisi kepemimpinan Presiden Sukarno. Dalam lubuk hatinya sesungguhnya Amelia protes terhadap negara atas gugurnya ayahandanya sebagai kusuma bangsa.
“Dua kakak kami pada Desember 1965 melanjutkan pendidikan tinggi di Kota Bonn Jerman Barat. Sekaligus untuk melupakan trauma,” ujar Amel (72 tahun). Sehingga sebagai anak ketiga, Amelia menjadi yang tertua, ia memimpin adik-adiknya.
Belakangan, Amel juga melanjutkan pendidikan tinggi ke Inggris. Hal ini setelah mendapatkan saran dari psikolog setelah Amel juga sakit-sakitan akibat trauma tidak bisa melupakan peristiwa terbunuhnya ayahanda di depan mata anak-anaknya. Kemudian Amel bekerja untuk UNDP (United Nations Development Programme).
“Wah itu (Amelia) komandan galak memimpin adik-adiknya,” celetuk Untung, disambut gelak tawa kakak-kakaknya. “Harus galak supaya nurut semua,” jawab Amelia, tersenyum. Beruntung kedelapan anak dari Jenderal Yani mengenyam pendidikan tinggi semuanya. Awalnya di Universitas Indonesia (UI), kemudian melanjutkan ke luar negeri dan Kembali lagi ke UI. Bahasa Inggris menjadi menu wajib bagi keluarga ini. Bahkan ibunda mereka, Yayuk Ruliyah juga mengikuti kursus bahasa Inggris selama sekitar dua tahun.
“Bapak ingin agar ibu bisa berkomunikasi dengan para istri atase pertahanan asing di Indonesia. Sehingga ibu mengikuti kursus Bahasa Inggris,” kenang Amel. Sedangkan Jenderal Yani menguasai tiga bahasa asing, Inggris, Belanda, dan Jepang.
Misi dan Hukuman
Yani Sebagai tentara, Yani pernah mengenyam pendidikan militer di Amerika Serikat dan Inggris selama 1,5 tahun pada 1954-1956. Usai sebagai Komandan Operasi 17 Agustus 1958-1959, Yani menjadi bintang baru militer Indonesia. Ia juga pernah menjalankan program ‘Misi Yani’ ke Eropa Timur untuk membeli alat utama sistem senjata (alutsista) pada 1960. Alutsista itu untuk persiapan merebut Irian Barat dari tangan Belanda.
Misi rahasia Brigjen Yani ke sejumlah negara, termasuk Yusgoslavia. Belakangan Yugoslavia terpecah-belah pada tahun 1991 setelah runtuhnya rezim-rezim Komunis di Eropa Timur. Kroasia, dan Slovenia memilih merdeka. Kemudian diikuti pula oleh Bosnia dan Herzegovina pada 1992. Kelak nasib mengantarkan Amelia Yani menjadi Duta Besar RI di Bosnia dan Herzegovina pada 2016-2020.
Jika remaja Amel aktif di KAPPI sejak di SMA Santa Ursula, maka kakak-kakaknya memilih organisasi mahasiswa yang berbeda-beda. “Ruli di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan ikut resimen mahasiswa. Emmi di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia),” ungkap Amel.
Kini Ruli juga masih mengajar di Fakultas Psikologi di Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjadi) di Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Perguruan tinggi swasta (PTS) di bawah Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) milik Angkatan Darat. PTS yang menggunakan nama ayahandanya. Ia menjadi dosen istimewa dengan usia 76 tahun namun masih energik.
Sedangkan Emmi menikah dengan pengusaha Soebronto Laras. Sepulang dari Jerman, Emmi kembali melanjutkan pendidikan di UI. Kemudian berbisnis sebagai pemegang franchise sekaligus managing director restoran ayam goreng Church ‘s Texas Fried Chicken. Putri kedua Jenderal Yani ini meninggal pada awal Januari 2007, karena sakit komplikasi liver dan paru-paru yang dideritanya sejak lima bulan.
Jika Ruli dan Emmi melanjutkan kuliah di Jerman, lain lagi dengan adik-adiknya. Amel, Juwita serta Yuni melanjutkan kuliah di Inggris. Sedangkan Nanik melanjutkan kuliah di Prancis. Sementara dua adiknya yang lelaki, Untung dan Edi melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat.
Kedua anak lelaki Jenderal Yani dibantu oleh sahabat ayahnya Kolonel Benson. Teman sama-sama Yani waktu melajutkan sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Fort Leavenworth di Kansas. Benson juga sempat menjadi atase militer Amerika di Jakarta. “Kami sering berlatih bahasa Inggris walau masih ngawur-ngawuran di dalam mobil ketika mengikuti pesiar dengan bapak dan ibu ke puncak setiap Sabtu dan Minggu,” ujar Untung.
Amel menceritakan, perjalanan ke puncak hampir dilakukan setiap pekan. Ayahnya menyetir mobil sendiri didampingi ibunya di depan, Sedangkan di belakangnya khususnya anak keenam, ketujuh, dan kedelapan.
“Jadi Yuni, Untung dan Edi mendampingi bapak dan ibu satu mobil. Sementara yang lain berada dalam mobil lainnya berlima. Kemudian dikawal satu mobil ajudan dan pengawal serta mobil logistik,” ungkap Amel mengenang masa-masa indah bersama kedua orangtuanya.
Suatu ketika, kenang Yuni. Ia Bersama Untung dan Edi mencoba ikut-ikutan orang di kampung kawasan Cipayung, Puncak. Menghisap rokok dari daun kawung, namun tidak ada tembakaunya. Aksi ikut-ikutan itu diketahui ayahnya.
“Waduh saya dihukum harus menghisap pipa cangklong rokok tapi tanpa rokok dan tembakau, sampai bibir pegal. Itulah hukuman dari bapak agar anak-anaknya tidak merokok,” ujar Yuni.
Akibat mengalami flu berkepanjangan, Brigjen Yani pada 1960 berhenti merokok. Karena itu ia tidak menginginkan anak-anaknya merokok sejak muda. “Hukuman dari bapak kepada anak laki-lakinya adalah menyentil telinga. Waduh sakit juga,” cerita Untung sambil terbahak-bahak.
Keenam anaknya mengakui ayahnya tidak galak. Justru ibunya yang lebih keras terhadap anak-anaknya. Mungkin Jenderal Yani menyadari jika dirinya tidak bisa selalu menemani anak-anaknya jika sedang melaksanakan tugas operasi, kunjungan kerja keliling Indonesia maupun luar negeri, serta sekolah militer di negara lain.
Istri Jenderal Jual Sembako
Banyak yang tidak tahu bagaimana janda Achmad Yani itu harus menerima kenyataan pahit. Bukan lagi menjadi istri pejabat negara, Panglima Angkatan Darat. Ia harus menghidupi keluarganya, karena pension janda jenderal bintang empat hanya menerima sekitar Rp150 ribu, sejak akhir 1965.
“Anak-anakku…. Kalian bukan lagi anak Menteri Panglima Angkatan Darat. Kini kalian adalah anak pedagang sembako. Begitu kira-kira pesan ibuku,” kata Ruli mengenang beratnya beban hidup keluarganya.
Setiap hari sejak Senin hingga Jumat dari pagi hingga malam hari, ibunya mesti masuk pasar keluar pasar. Banting tulang untuk membiayai hidup keluarganya. Termasuk membiayai sekolah anak-anaknya. Menjual semacam bahan sembilan pokok dan barang-barang lainnya. Termasuk jual beli tanah di Kawasan Jakarta. Laba dari berdagang itu antara lain untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Mereka tidak lagi menerima fasilitas sekelas menteri dan jenderal. Semua fasilitas negara ditarik, baik rumah maupun kendaraan. Hanya menyisakan satu ajudan untuk keselamatan ibundanya. Semua sisa-sisa harta dijual agar bisa membeli rumah yang berada persis di depan rumah tempat peristiwa terbunuhnya Jenderal Yani di Jalan Lembang.
“Ibu sulit melupakan rumah di Jalan Lembang ini. Karena darah bapak di lantai setelah ditembak pasukan Tjakrabirawa, langsung diusapkannya ke wajah dan tubuh ibu,” ungkap Amel.
Hidup Zig Zag
Ruli menceritakan, mungkin dia yang paling tahu bagaimana penderitaan sebagai anak kolong (tentara). Sebagai anak pertama, ia merasakan bagaimana ayahnya harus pindah ke sana kemari karena panggilan tugas. Termasuk tiba-tiba harus meninggalkan rumah dinas serta kendaraan dinas saat ayahnya harus sekolah ke Amerika dan Inggris.
“Ibuku yang biasa naik mobil dinas sebagai istri komandan, tiba-tiba harus naik sepeda membonceng kami ke sekolah dan membawakan makanan bekal untuk anak-anak di sekolah saat di Tegal.”
Begitulah pasang surut dan kehidupan zig zag begitu terasa. Tentunya yang utama kondisi setelah peristiwa G30S/PKI, Bagi Ruli dan adik-adiknya, paling menyakitkan dan tidak bisa dilupakan hingga saat ini adalah peristiwa dibunuhnya ayahanda.
Bagi keluarga besar, Jenderal Yani tentulah pahlawan luar biasa dengan segala plus minusnya sebagai manusia. Pahlawan revolusi itu mendapatkan tempat terhormat dalam panggung sejarah Indonesia. Peti jenazahnya di atas panser dikawal jenderal senior Letjen GPH Djatikusumo, KSAD pertama.
Hal ini menandakan penghormatan tertinggi TNI untuk segala bakti Yani “Een en militair” (seorang militer sampai ke tulang sumsumnya). Itulah pahlawan kusuma bangsa dari Jenar, Purworejo, Jawa Tengah. Jenderal yang memegang psinsip menolak Angkatan Kelima dan Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis), walau jabatan dan nyawa menjadi pertaruhannya.